logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

My Mom

Huft ...
Akhirnya ia mengambil risiko dianggap sok akrab. Membuka pintu mobil lalu duduk di sebelah Ardian.
Cahaya merasakan sensasi aneh ketika memasuki mobil tersebut. Ia mengendus udara di sekitarnya diam-diam.
Bau orang kaya ...
...
Oke, sedikit lebai, Cahaya …, batinnya sambil tertawa dalam hati. Itu kan hanya pewangi mobil yang menyebar lewat AC.
"Pasang seatbelt-nya," kata Ardian sambil lalu, membuat Cahaya tersadar. Ia segera memasang sabuk pengaman dan mengencangkannya. Mobil itu perlahan menjauhi Rumah Sakit.
Cahaya mencuri-curi pandang ke sebelahnya. Berusaha mencari kata. Tangannya bergerak mencari liontin mutiara kembar, lalu memainkannya.
"Baru pulang, Kak?" tanyanya berbasa-basi. Merasa janggal dengan kesunyian yang tercipta di antara mereka.
Sebenarnya tidak terlalu sunyi karena suara penyiar radio samar-samar terdengar membacakan request lagu dari pendengarnya.
“Iya,“ sahut Ardian singkat. Kelihatan lelah. Membuat Cahaya tidak enak hati.
“Maaf ya, Kak. Jadi menyusahkan.“
“Tidak apa-apa.“ Cahaya geli sendiri ketika merasakan nada formal di suara lelaki itu.
“PF sedang ramai ya, Kak.“
“Iya.“
“Aku juga bekerja di sana.“
“Oh ya? “ Ardian melirik sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan lengang di depannya.
“Bagian apa?“
“Jadi badut Kepi.“
“Oh.“ Sepi beberapa saat.
Baiklah, kalau kau ingin tertawa silakan saja, gerutu gadis itu dalam hati.
Sebenarnya Cahaya ingin berbohong dengan menyebutkan bagian lain yang lebih terhormat. Sebagai staf keuangan, misalnya.
Cahaya tahu, lelaki ini pasti sedang tertawa geli dalam hati atau mungkin melecehkan. Membayangkan gadis secantik dia di balik kostum kepiting warna oranye.
Pikiran tadi mengentaknya. Berdentam-dentam dalam kepala. Ardian membayangkan gadis secantik dia? Gadis secantik dia? Gadis secantik Cahaya? Ia menganggap Cahaya cantik? Gadis secantik?
Ha-ha-ha. Ia tertawa sarkas dalam hati. Melirik lelaki di sebelahnya yang masih serius menekuri jalan.
Cahaya melirik lagi. Penasaran.

Memang apa sih yang dicari lelaki ini? Satu koper uang yang terjatuh? Mengapa tampangnya begitu serius memperhatikan jalan.
Cahaya mengembuskan napas. Tercenung sambil memalingkan wajah ke jendela. Suara lembut penyiar radio perlahan membuainya.
“Sudah lama?“
Gadis itu tergeragap, lalu menegakkan tubuh kembali. Heran, sempat-sempatnya ia ketiduran dalam mobil bagus begini.
“Kenapa, Kak?“ Pura-pura membersihkan tenggorokan sambil memperbaiki poni.
“Sudah lama bekerja di sana?“
“Oh." Cahaya mengernyit. Nampak berpikir keras.
"Dua bulan.“
Tidak ada sahutan.
Cahaya ingin mengganti kata terakhirnya jadi 'tahun', tapi ia takut Ardian penasaran lalu mengeceknya langsung di file karyawan.
“Berhenti di gang itu saja, Kak." Lelaki di sebelahnya menaikkan alis.
“Rumah kamu yang mana?“ Cahaya tertawa, memerhatikan sederetan ruko yang berjejer di sebelah jalan kecil yang ditunjuknya.
“Rumah aku masih masuk ke dalam lagi. Berhenti di depan itu saja, Kak. Di depan minimarket.“ Ardian tidak menghentikan mobilnya. Malah berbelok memasuki jalan sempit tersebut. Membuat Cahaya tidak enak hati.
“Nanti keluarnya susah lho, Kak. Jalanannya sempit, cuma muat satu mobil. Takut kesenggol, nanti lecet mobilnya. Di lapangan sana Kak Ardian putar balik saja. Rumahku sudah dekat kok.“ Ardian hanya tersenyum.
“Tidak apa-apa. Kalau lecet tinggal bawa ke bengkel, seperti di parkiran waktu itu. Dari sini lurus saja?“ Cahaya tercekat seakan kehabisan oksigen.
O-oww ...
Bagaimana kalau sekarang lelaki tampan ini minta ganti rugi karena kejadian tersebut? Matilah kau, Cahaya. Mati!
“Iya. Lurus saja sampai mentok,“ sahut Cahaya pura-pura lupa kejadian di parkiran. Ardian menghentikan mobilnya setelah menemukan jalan buntu.
Nah kan, kamu pasti bingung bagaimana cara memutar balik mobilmu nanti. Rasakan. Cahaya bersorak dalam hati.
“Rumah aku masih masuk gang, Kak. Turun di sini saja.“
Ardian memarkir mobilnya di dekat tukang nasi goreng. Mematikan mesin mobil, membuka seatbelt dan keluar. Membukakan pintu untuk Cahaya dan membantunya keluar dari mobil. Juga menuntunnya berjalan. Beberapa orang memerhatikan mereka.
Ardian mengantar Cahaya ke sebuah rumah kecil yang bagian depannya dijadikan warung sembako. Seorang perempuan berdaster lusuh keluar dari warung dan langsung menyambut.
“Ya ampun, Cahaya. Kamu kenapa?!“ Perempuan itu menarik tangan Cahaya, hendak melihat luka-luka di tangannya, membuat gadis itu meringis.
“Kamu kecelakaan? Jatuh di mana? Apa yang sakit?“
Nawan menyentuh kedua pipi Cahaya.
Menggoyang-goyangkan kepala anak gadisnya.
“Aya baik-baik saja, Bu,“ jawab Cahaya jemu sambil memutar bola mata.
Tingkah Ibunya ini pasti karena ada seorang lelaki tampan di sana yang sedang memerhatikan mereka. Lalu Nawan teringat sesuatu. Ia melepaskan wajah Cahaya begitu saja.
“Motor kamu mana? Motornya rusak?“ tanya ibunya.
Cahaya menarik ujung bibirnya. Mencebik sebal. Sekarang ibunya terlihat lebih khawatir pada sebuah motor ketimbang putri semata wayangnya.
“Nanti diantar kemari, Bu.“ Sebuah suara bariton memecah percakapan mereka. Nawan terdiam memandang lelaki itu. Membuat Ardian dan Cahaya jengah.
“Mas ini…“ sekarang ibunya seolah sedang bertingkah macam di film india. Di mana tokoh perempuannya terkesima saat bertemu pertama kali dengan jagoan lelaki.
“Kakaknya Varel, Bu.“ Cahaya takut ibunya berpikir macam-macam tentang Ardian.
Perkataan Cahaya membuat Nawan tersadar akan sesuatu.
“Lho, Varelnya mana?“
“Ada di rumah sakit, Bu. Tadi jatuh waktu naik motor sama Aya.“
Gadis itu melonjak kaget ketika sang ibu berteriak.
“Ya ampun! kamu ini.“ Cahaya mengaduh ketika Nawan memukuli. Mencari perlindungan di balik tubuh Ardian.
“Makanya hati-hati kalau bawa motor. Bikin celaka anak orang.“ Cahaya sudah ingin menjawab ketika Ardian berdehem.
“Sebenarnya …“ ucap Ardian berusaha melerai dan menjelaskan bahwa ini semua akibat ulah adiknya.
“Iya, Aya tidak sengaja, Bu. “ Cahaya memotong kata-kata Ardian.
“Lagi pula Varel baik-baik saja kok,“ sambungnya lagi tanpa rasa bersalah. Lalu ia menoleh pada sang pengantar.
“Kak Ardian, terima kasih ya sudah repot-repot mengantar." Cahaya mencoba mengusir dengan halus. Tapi ia mengaduh ketika kepalanya di pukul.

"Ibu tidak pernah mengajar kamu untuk mengusir tamu!" hardik Nawan tidak senang. Lalu ia memasang wajah manis pada pengantar anaknya.
"Sebentar, Mas. Ibu buatkan minum dulu.“
“Tidak usah, Bu. Sudah malam.“ Ardian merogoh saku di balik jasnya. Mata Nawan langsung berbinar. Apa yang akan diberikan lelaki ini? Uang cash? Cek? Cincin berlian?
“Ini obat kamu, Aya.“
Sepasang mata berubah kecewa saat mendengar ucapan tersebut.
“Mari, Bu.“ Ardian mengangguk sopan sebelum pergi.
Nawan memandangi kepergian Ardian seperti mak si Malin yang sedang melepas anaknya pergi merantau.
“Di mana dia parkir motornya?“ tanya Nawan begitu lelaki itu menghilang di belokan gang.
“Dia bawa mobil. Parkir dekat tukang nasi goreng.“
Cahaya menunjuk lewat mulutnya. Tidak memerhatikan mata sang ibu yang membulat lebar.
“Dia bawa mobil?" tanya Nawan menggebu.
"Mobilnya apa? Mercy? Atau Mercedes?“ cecarnya lagi.
“Meneketehe,“ sahut Cahaya asal yang dibalas ibunya dengan tatapan cengo.
“Mana Aya tahu. Memang Aya pernah kerja di showroom mobil?“ Nawan mendelik sebal. Lalu tersenyum kembali.
“Tampan sekali," ucapnya sambil membereskan barang dagangan. Hendak menutup warung.
“Ibu, dia itu kakaknya Varel.“ Cahaya meringis sambil membantu sang ibu. Memasukkan chiki-chiki dan juga kerat minuman ke dalam warung.
“Lho memang kenapa kalau kakaknya Varel?“ Nawan tampak berpikir keras, lalu menepuk dahi.
"Ya ampun, Ibu lupa kalau kalian sudah pacaran."
Cahaya hampir tersedak, tapi ibunya pura-pura terkejut.
"Belum?" Nawan bertanya tidak percaya, lalu melanjutkan dengan santai.
"Ah, mungkin dia hanya belum mengatakan perasaannya, Aya. Tapi ia harus bergerak cepat. Kalau tidak, kakaknya yang tampan itu akan menyalip." Cahaya mengerucutkan bibir. Setengah bersungut.
"Ibu mengatakan itu seakan punya anak paling cantik sedunia," tukas Cahaya yang mendadak merasa rendah diri.
Nawan memeluk sang anak.
"Apa yang kamu pikirkan, Cahaya? Anak ibu ini memang cantik."
Gadis itu sudah ingin terharu ketika sang ibu melanjutkan, "Lagi pula, Ardian atau Varel tidak masalah bagi ibu. Kalau kamu menikah dengan salah satu dari mereka, ibu akan tetap kaya raya."
Nawan tertawa jumawa usai mengucapkannya.
Cahaya mendecih sebal. Sinyal ibunya memang kuat kalau sudah menyangkut uang.
Nawan mulai memasang papan penutup warung. Mulutnya masih asyik mengoceh, “Tapi entah kenapa, ibu lebih senang dengan lelaki ini. Menurut ibu, Varel terlalu kekanakan. Terkesan lemah.“ Cahaya mencibir. Mengambil alih pekerjaan Nawan. Setengah meringis ketika bergerak.
“Coba katakan itu di depan orangnya.” Cahaya menaikkan sudut bibir. Memasang papan penutup yang terakhir.
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (42)

  • avatar
    BotakGopal

    trimakaih

    6d

      0
  • avatar
    YaomiYaomi

    good

    8d

      0
  • avatar
    GUNAWANHENDRA

    bgus

    22d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด