logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 Suara Dari Kamar

Kugenggam erat benda merah bundar itu. Entah apa yang akan kulakukan. Untuk saat ini harus tenang, sambil berpikir. Kusibak lemari pakaian, berusaha mencari baju dengan kancing yang senada. Siapa tahu aku lupa?
Lipatan demi lipatan, lembar demi lembar kubuka dan hamparkan di lantai. Tak ada satu pun yang sesuai. Jantungku mulai berdebar kencang. Ya Allah, pertanda apa ini?
Terdengar suara Mas Yoga di ruang tengah. Dia sudah pulang rupanya. Di tangan menenteng sebuah kantong plastik bening berisi beberapa bungkus rokok. Hanya itu saja yang ada dalam pikirannya. Tidakkah dia tahu kalau di dapur sudah tak ada beras dan bahan makanan?
Setelah meletakkan rokoknya, Mas Yoga menghampiriku ke kamar. Matanya memindai seisi ruangan yang tampak tak karuan. Hampir seluruh bagian lantai tertutupi baju yang aku periksa.
"Ngapain kamu?" Dahi Mas Yoga mengkerut.
"Mencari sesuatu," jawabku tanpa menoleh kepadanya.
"Sesuatu? Apa?" tanyanya.
Kutatap dia tajam-tajam tanpa menjawab.
"Apa sih? Dasar aneh!" ketusnya, lantas berlalu.
"Tunggu, Mas!" sergahku.
"Apa?" Mas Yoga tak sabaran.
"Aku mencari baju yang kancingnya sama dengan ini!" Kuacungkan benda kecil berwarna merah itu.
Matanya menyipit, meneliti benda yang kutunjukkan. Untuk sesaat, kulihat mimik wajahnya berubah, tapi langsung ia tutupi.
Mas Yoga menggendikkan bahu. "Mana kutahu."
"Ini Diah temukan di kasur. Diah tak punya baju yang kancingnya seperti ini. Baju mas juga bukan. Lantas, ini punya siapa, Mas?" tanyaku panjang lebar.
"Ya mana Mas tahu! Sudahlah, Diah! Cuma kancing baju aja. Bisa jadi itu punyamu, tapi kamu lupa." Suamiku langsung berlalu dengan sedikit tergesa.
"Siapa yang datang ke rumah selama Diah gak ada, Mas?" tanyaku lagi. Langkah Mas Yoga terhenti. Ia berbalik menatapku.
"Apa maksudmu?"
"Maksud Diah, tak mungkin kancing ini ada di sana dengan sendirinya. Kancing ini tidak punya kaki!" Aku berdiri mendekat.
"Ck, sudah dibilang tidak tahu! Gak usah cari masalah!" hardik Mas Yoga. Ia jelas-jelas menyembunyikan sesuatu.
🌷
"Mas, tadi ke warung beli beras tidak?" tanyaku setelah merapikan kembali pakaian yang tadi kubongkar. Kancing baju misterius tadi kusimpan, entah untuk apa.
"Gak," jawabnya singkat. Mata dan tangannya terfokus ke benda pipih yang sedari tadi ia pijit-pijit. Kelihatannya asyik sekali.
"Beras habis, lho Mas. Bahan makanan juga gak ada. Uang Mas masih ada tidak?" pancingku.
Mas Yoga menoleh lalu menatapku sinis.
"Kamu tuh, ya. Suami baru dapat uang sedikit aja, langsung ditanya ini itu. Uangnya tinggal dua puluh ribu!"
Aku terbelalak. Tinggal dua puluh ribu? Bukannya tadi katanya dapat uang dua ratus ribu?
"Lah, emangnya Mas beli apa aja? Kok tinggal segitu?"
"Ck, ya beli makan. Beli rokok!" jawabnya ketus.
"Terus, beli berasnya gimana Mas? Masa kita gak makan?" tanyaku penuh penekanan.
"Tau, ah! Gak makan ya sudah! Lagian, masa kamu belum gajian, sih?" sungutnya.
"Ooh, gitu? Gak makan, ya sudah? Beli beras tunggu Diah gajian, Mas?" Kuulangi pertanyaannya dengan nada menyindir. Suamiku ini memang tebal muka. Jangankan teringat untuk membayar kontrakan, membeli beras saja harus dari keringatku.
"Maumu apa, sih? Kalau gak mau beli, ya sudah!" sentaknya, lantas berlalu meninggalkanku.
Aku mengusap dada yang seketika terasa mendidih. Harus bagaimana lagi aku menghadapi Mas Yoga? Bicara baik-baik pun seakan tak ada guna.
Kuputuskan untuk ke warung dengan berbekal uang lima puluh ribu. Aku harus bisa mengirit pengeluaran. Makan seadanya saja, asalkan tidak lapar.
🌷
Malamnya, kusajikan dua mangkuk mie kuah yang dilengkapi telur. Mas Yoga asyik menikmati rokoknya sambil menatap layar ponsel tanpa berkedip.
"Mas, ayo makan dulu," ajakku sambil mendekat. Ia menoleh sekilas.
"Makan apa?"
"Diah bikin mie kuah, pake telur, kesukaan Mas," jawabku.
"Hah, mie lagi, mie lagi! Tadi siang juga makan bakso pakai mie. Sekarang malah dimasakin mie. Kamu makan aja sendiri, Mas gak selera!" ujarnya ketus.
Kesabaranku habis. Darahku mendidih sampai ke ubun-ubun. Dengan langkah cepat aku menuju ke dapur. Kuraih semangkuk mie panas yang terhidang di meja. Kubawa ke ruang tengah, lalu ....
Prang!
Kubanting mangkuk itu ke samping kursi tempat Mas Yoga duduk dengan sekuat tenaga. Mie dan kuah serta pecahan kaca berserakan di mana-mana.
"Diah!" teriak Mas Yoga sambil bangkit dari kursi. Celananya terkena sedikit percikan.
"Sudah cukup aku bersabar, Mas! Lima bulan aku banting tulang menafkahimu. Sadar diri! Lelaki malas sepertimu tak pantas protes soal makanan yang aku hidangkan!" Aku berteriak tak kalah lantang.
Mata Mas Yoga menatapku nyalang.
"Tidak punya sopan santun kamu!" desisnya sambil menunjuk ke arahku.
"Sopan santun? Kalau aku tak punya sopan santun, kamu tak punya harga diri! Hanya bisa menumpang hidup dari keringat seorang wanita!" Aku membalas tatapannya dengan garang. Kali ini aku takkan lagi lunak pada laki-laki tak tahu malu itu.
"Jaga mulutmu, atau–!"
"Atau apa, hah? Apa?" tantangku.
"Mau kutampar mulutmu itu!" ancam Mas Yoga sambil maju mendekat. Tangannya terangkat.
"Silahkan kalau berani! Kamu pikir aku tak berani membalas? Jangan pikir aku lemah. Menghidupimu selama lima bulan saja aku sanggup, apalagi cuma membalas sebuah tamparan!" ucapku pedas dan sengit.
Dada Mas Yoga naik turun. Napasnya memburu, senada dengan napasku. Jika ia api, maka aku pun sama. Kobaran amarah terasa sangat besar di antara kami. Tangannya menggantung di udara. Lihat saja, kalau dia berani menyentuhku seujung jari saja, dia akan tahu akibatnya.
"Jangan harap besok akan ada makanan yang terhidang di meja! Jangan harap akan ada rokok gratis! Jangan harap!" sambungku berapi-api, "dan satu lagi, siapkan uang kontrakan hari Senin. Aku takkan lagi membiarkanmu seenaknya berleha-leha sementara aku banting tulang. Kalau tidak sanggup membayar, aku akan pulang ke rumah Mas Azka!" ancamku lantas berlalu ke kamar.
Mas Yoga terpaku diam di tempatnya, mungkin tak menyangka aku akan semarah ini.
Kubanting pintu kamar dengan kasar, lalu kukunci dari dalam. Malam ini, terserah dia mau tidur di mana!
🌷
Pagi harinya, kulihat Mas Yoga tertidur di lantai beralaskan tikar. Namun rasa kasihan di hatiku sudah hilang. Pecahan mangkuk semalam masih berserakan. Aku tak berselera untuk membersihkannya. Biarlah, aku tak peduli.
Setelah mandi dan berganti pakaian, kulajukan motor ke rumah Angel. Sesuai perkataanku semalam, tak ada makanan atau apa pun yang aku tinggalkan di rumah. Jika dia masih mau makan, biarlah berusaha sendiri. Apa gunanya tubuh sehat dan gagah itu kalau tidak dipakai untuk bekerja?
Merasa lapar, kusinggahi warung lontong langgananku dulu, saat masih gadis. Sudah rindu rasanya untuk mencicipi makanan berkuah santan dengan sayur dan tetelan daging yang lezat. Jauh di lubuk hatiku, masih teringat Mas Yoga. Hanya saja, teringat dengan perlakuannya, aku menjadi muak. Setelah sepiring lontong tandas, kulanjutkan perjalanan.
Tak seperti biasa, hari ini sebuah mobil terparkir manis di halaman rumah Angel. Kulihat Bu Widya dan sang cucu sudah duduk di teras dengan berpakaian rapi. Mereka tampak sedang menunggu sesuatu. Saat melihatku datang, Bu Widya langsung berdiri.
"Assalamu'alaikum!" ucapku setelah turun dari motor.
"Wa'alaikumsalam, Mbak Diah! Mari duduk dulu!" jawabnya sedikit terburu-buru.
"Ada apa, Bu?" tanyaku penasaran.
"Maaf sebelumnya Mbak Diah, saya baru sekitar lima belas menit yang lalu ditelpon. Putra saya, papanya Angel, ternyata sudah di bandara menunggu untuk dijemput. Padahal, kemarin katanya akan sampai sore," jawab Bu Widya panjang lebar.
Aku menggangguk. "Oh, begitu ... jadi, Angel tidak les hari ini, Bu?"
"Iya, Mbak Diah. Tadinya saya mau mengabari, tapi saya yakin Mbak Diah sudah di jalan. Sekalian saja saya tunggu. Takut Mbak Diah tidak konsentrasi kalau ditelpon saat sedang di atas motor." Bu Widya memang sangat pengertian.
"Ya sudah, tidak apa-apa, Bu. Kalau begitu saya pamit dulu, ya! Angel, Bu Guru pulang. Besok kita belajar lagi!" pamitku sambil mengusap rambutnya yang dikuncir dua.
"Oke, Bu Guru! Hari ini Angel jemput Papa dulu. Angel sudah kangen!" ucapnya riang. Aku tersenyum.
"Kalau begitu, saya pulang, Bu. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam! Hati-hati di jalan Mbak Diah!" sahut Bu Widya.
Aku mengangguk lalu melambaikan tangan.
🌷
Sebenarnya aku belum ingin pulang. Perasaanku masih tidak karuan. Kulajukan motor perlahan, berharap tak segera sampai ke rumah. Apa aku harus ke tempat Mas Azka lagi? Tapi, tak enak juga karena kemarin sudah menginap.
Saat sudah di gang menuju rumah, tiba-tiba motor terasa oleng. Kalau tak sigap mengerem dan menurunkan kaki, mungkin aku sudah terjatuh. Untung saja gang dalam keadaan sepi, kalau tidak, entahlah.
Aku lantas turun untuk memastikan apa yang terjadi. Ternyata ban depan bocor, dengan sebuah paku berukuran sedang menancap. Ya Allah, nasibku hari ini. Karena di gang tidak ada bengkel, akhirnya kuputuskan untuk mendorong motor sampai ke rumah.
Sepuluh menit kemudian, aku sampai. Keringat bercucuran setelah menuntun motor yang lumayan berat. Pintu pagar tertutup rapat, begitu juga dengan pintu rumah. Yakin Mas Yoga tak ada di rumah, kuputar gagang pintu tanpa mengucap salam. Ternyata tak dikunci.
Baru selangkah masuk, samar-samar aku mendengar suara dari kamar yang tertutup. Jantungku langsung berdebar kencang. Suara wanita? Astaga. Kupelankan langkah sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Pecahan mangkuk dan sisa mie samalam sudah tidak ada. Bersih dan licin.
Sekarang aku sudah sampai di depan kamar. Setelah menajamkan pendengaran, suara itu semakin terdengar jelas. Kutempelken telinga kiri di pintu kamar. Tawa Mas Yoga terdengar lirih, diikuti cekikikan seorang wanita. Aku tak kenal suara itu. Tanganku mengepal erat. Berani-beraninya!
🌷🌷🌷

หนังสือแสดงความคิดเห็น (58)

  • avatar
    rianasue

    Best ceritanya

    12/08

      0
  • avatar
    Yono Saputra

    Sangat bagus

    11/08

      0
  • avatar
    1User

    tooo

    16/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด