logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Pembagian Rapor

Di sekolah ....
Setiap pembagian rapor, pihak sekolah mewajibkan wali murid untuk hadir. Tujuannya bukan hanya sekedar untuk mengambil rapor saja, melainkan untuk memberikan informasi kepada wali/orang tua murid mengenai perkembangan anaknya selama di sekolah. Di saat yang lain datang ke sekolah menerima rapor dengan wali/orang tuanya. Aku justru datang sendirian tanpa ditemani siapapun. Akhirnya, wali kelasku memberikan surat pemberitahuan untuk orang tuaku agar segera menemuinya. 
"Serralova Larisa Agustin." Bu Jihan memanggil sembari mencari keberadaanku. 
"Iya, Bu." Segera aku menghampiri wali kelasku dan duduk di depan mejanya. 
"Serra sendirian? Mana orang tuamu?" tanya Bu Jihan. 
"Ayah ga bisa dateng, Bu, baru pulang dari Jakarta mungkin besok," jelasku.
"Lalu ibumu mana?" Bu Jihan masih penasaran kenapa tak satupun dari orang tuaku yang datang. 
"Eumm... Ibu ga bisa dateng juga, sibuk." Aku mencoba meyakinkan bu Jihan. 
"Ya udah kalau begitu rapor ibu tahan dulu, ya," ucap Bu Jihan sambil mengembalikan raporku ke tumpukkan rapor lain. 
"Yah, kok ditahan sih, Bu? Terus nanti kalau Ibu aku nanya gimana?" ku tanyakan sambil memasang raut sedih. 
"Serra, nilai kamu di semester awal ini turun drastis dibandingkan dengan nilai kamu sewaktu kelas tujuh. Padahal di kelas tujuh kamu mendapat rangking dua, tapi kenapa di kelas delapan tidak masuk 10 besarpun? Malah ibu tidak menyangka kalau nilaimu sekarang seperti ini." Beliau dengan tenang mencoba menjelaskan alasannya menahan raporku. 
"Sekarang ibu kasih surat undangan untuk orang tuamu, ibu harap orang tuamu bisa segera datang ke sini menemui ibu," jelasnya lagi. 
"Baik, Bu, nanti aku sampaikan." Aku hanya menunduk sedih dan kembali ke tempat duduk, lalu memasukkan surat yang Bu Jihan berikan kepadaku ke dalam tas. Setelah itu, aku kembali ke depan dan berpamitan, "Aku boleh pulang, Bu?" tanyaku.
"Boleh, jangan lupa pesan ibu, ya?" Beliau tersenyum dan mengingatkanku lagi untuk memberikan surat tersebut kepada orang tuaku. 
"Iya,Bu, assalamu'alaikum." Aku pamit dengan raut wajah yang tidak mengenakan. 
"Wa'alaikumsalam, hati-hati," jawab Bu Jihan dengan nada pelan. 
Aku pulang hanya membawa sepucuk surat dan perasaan was-was. Sepertinya aku sudah punya 'feeling' bahwa sesampainya di rumah Ibu akan memarahiku karena tidak membawa rapor. Bukan hanya itu, sepertinya Ibu juga akan memukuliku lagi karena hampir semua nilai pelajaranku turun. Saat menuju gerbang sekolah, suara seseorang mengagetkanku. 
"Woy ... Serra!" Anggi berlari dari arah belakang dan menepuk pundakku. 
"Astaghfirullah  ... kamu ngagetin aja sih, Nggi!" teriakku. 
Anggi adalah teman sebangku di kelas tujuh kemarin. Siapa sangka, kita bertemu lagi di kelas unggulan sekarang. Ya, kita akhirnya duduk bersebelahan lagi. Gadis berkacamata dan berkerudung lebar itu adalah tetanggaku juga. Rumahnya tepat di seberang rumahku. Kita bertetangga sudah sejak lama. Namun, aku baru dekat dengannya setelah kita bertemu di satu sekolah yang sama. Dia juga anak yang berprestasi. Di kelas tujuh, dia selalu mendapat rangking saty selama dua semester berturut turut. Hebatnya lagi, meski sekarang kita bersaing ketat dengan anak-anak lain di kelas unggulan, dia mampu mempertahankan rangkingnya. 
"Aku dari tadi manggil kamu tau, tapi kamu ga nengok-nengok," ucap Anggi sambil membereskan tas selempangnya yang berwarna pink muda. 
"Ya mana aku tau, Anggi! Aku gak denger!" Aku balas dengan teriakan keras di telinganya. 
Dia merangkulku dan kita pulang bersama. Jarak sekolah dengan rumah tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit dari rumah. Bahkan, kami tidak perlu naik kendaraan menuju ke sekolah maupun saat pulang ke rumah masing-masing. Dari gerbang sekolah, kita menuju ke arah kanan jalan. Sambil menikmati perjalanan pulang, kita berdua berceloteh sesekali tertawa dan saling bercanda. Sekolahku terletak di gang menuju Perumahan Antabaru Endah. 
"Eh, Ra. Kamu kenapa sih akhir-akhir ini sering ngelamun di kelas? Nilai kamu pake turun lagi," tanya Anggi heran.
"Yang bener aja, Ra. Masa kamu ga dapet rangking." Anggi sepertinya mulai merasa aneh denganku. Tatapannya berbeda saat dia menanyakan hal tersebut.
"Tau ah, aku juga bingung," jawabku dengan singkat. 
"Aku tuh tau kamu, Ra. Kamu itu rajin dan ga mudah nyerah gitu aja. Bahkan saat kamu bilang mau masuk ke kelas unggulan ternyata bisa membuktikannya, 'kan?" tanyanya lagi. 
"Aaaa.... "
"Kamu lagi ada masalah apa sih Ra sebenarnya?" Belum selesai aku menjelaskan, dia memotong jawabanku. 
"Ah, udah lah, aku lagi males cerita," pungkasku. 
"Kalau kamu lagi ada masalah dan butuh buat curhat, aku siap dengerin kok, Ra. Meskipun aku mungkin ga bisa bantuin kamu. Tapi yang pasti, jangan lupa curhat sama Allah juga, karena Dia yang Maha penolong atas segala permasalahan," jelasnya lagi. 
"Iya, Anggi. Makasih banyak, ya. Kapan-kapan aku cerita," tuturku sambil sesekali menghela napas. 
Sesampainya di ujung jalan gang sekolah. Kami menuju ke arah kanan jalan. Di sanalah letak rumah kami dan hanya berjarak beberapa rumah saja dari gang sekolah. Karena rumah kami berdekatan, kami pun menuju ke arah yang sama.
Rumahku dan rumah Anggi berada di jalan utama Kiara Condong Kecamatan Buah Batu, Bandung Kidul. Sementara itu, sekolah kami—SMP Negeri 18 Bandung— berada di Jalan SMP 18 Kecamatan Buah Batu.
Sesampainya di depan pagar rumahku, kita berhenti dan berpisah. Anggi menyebrang Jalan dan aku langsung membuka pagar. Kami selalu berangkat dan pulang dari sekolah bersama. Biasanya, Anggi lah yang menyusulku ke rumah. 
Sesampainya di dalam rumah, aku sempat ragu untuk menyampaikan surat tersebut pada Ibu. Setelah ku pikir, mungkin lebih baik Ibu mengetahuinya dariku langsung. Benar saja, Ibu memang sangat marah. Perasaanku tidak salah kalau akhirnya akan seperti ini. Ibu memukulku lagi dan lagi tanpa mau tau alasan di balik nilaiku. Ayah yang mengetahui hal ini setelah beliau pulang dari Jakarta tentu kecewa dengan sikap Ibu yang sangat keras. Namun, beliau mencoba tenang menghadapi dan menasihatinya tanpa menyakiti hati. Aku pun meminta maaf pada kedua orang tuaku atas nilai yang aku peroleh sekarang. Aku berjanji akan lebih serius belajar dan tidak akan mengulangi kejadian yang sama di semester depan. 
***
Suasana pagi nan indah, semilir angin berembus membelai dedaunan. Tak tertinggal, burung berterbangan sembari bersiul menyambut indahnya pagi. Dari ufuk timur, surya yang penuh pesona kembali terbit. Kulirik kalender yang terletak di meja kamar. Hari ini, tepat empat hari setelah pembagian rapor di sekolah, dan Ayah akan segera menemui wali kelasku. Aku merasa gugup hari ini, apa yang akan dikatakan Bu Jihan pada Ayah tentangku? 
"Serra, Nak. Kamu udah siap belum? Ayah nunggu di depan, ya." Suara ayah mengagetkanku. 
"Iya... tunggu sebentar lagi, Ayah," jawabku. 
Segera ku ambil sisir dan kuikat rambutku dengan karet pita berwarna pink agar senada dengan tas dan sepatu yang aku kenakan. Kaus kaki putih yang panjangnya selutut sengaja ku pilih untuk menutupi memar bekas pukulan sapu lidi Ibu. Hari ini, aku dan Ayah akan menemui Bu Jihan di sekolah. 
Di depan rumah, Ayah sudah menungguku dengan sepeda motornya. 
"Kita gak jalan aja, Yah?" tanyaku. 
"Pake motor aja, biar cepet, yuk naik," Jawab Ayah sambil menyalakan starter motor. 
Aku pun segera naik. Motor melaju dengan sangat pelan. Hanya kecepatan 20-40km/jam. Ayah memang sangat hati-hati ketika mengendarai motor. Apalagi saat membonceng anak-anak nya atau Ibu. 
"Ayah, gimana sih, yang bener aja ini kita naik motor apa naik sepeda sih, Yah?" Aku mulai menggerutu. 
"Naik sepeda motor, emang kenapa?" Rupanya ayah mendengar ku. 
"Sama sepeda juga cepetan naik sepeda tau, Yah. Tadi kita jalan kaki aja kalau gitu. Kalau aku lagi buru-buru buat ujian pasti udah telat deh, Yah." Aku memperjelas pertanyaan Ayah. 
Ku rapihkan poni yang terkibas angin. Ayah hanya tersenyum mendengar celotehanku. Sementara itu, aku merasa kesal dan memasang wajah cemberut. Sesekali Ayah membunyikan klakson dan melambaikan tangan sebagai bentuk sapaan kepada tetangga atau kepada siapapun yang Ayah kenal di jalan. 
Sesampainya di sekolah, Ayah memarkirkan motor matic nya di parkiran depan. Tampak Pak Maman tukang kebun sekolah sedang merapihkan bunga-bunga yang berjejer di teras depan pintu masuk ruang tunggu khusus tamu. Beliau ini sudah sangat berumur, tapi tenaganya tidak kalah dengan yang muda. Umurnya sekitar 70 tahunan. Namun, ketika bekerja beliau sangat semangat. 
"Lho, Neng Serra, 'kan? kok berangkat, Neng? 'Kan udah libur," sapa Pak Maman. 
"Iya ini Pak, mau ketemu wali kelasnya Serra. Bapak sehat?" Ayah menjabat tangan Pak Maman. 
"Alhamdulillah,Pak." Pak Maman pun tersenyum. 
"Ya udah kita masuk dulu ya, Pak," ucapku. 
Tampak Pak Maman melambaikan tangan, lalu kami memasuki lorong sekolah yang panjangnya sekitar tujuh meter. Di samping kanan dan kiri tembok lorong, berjejer rapi hasil karya siswa. Ada beberapa lukisan dan tulisan lain seperti puisi, cerpen, komik dan kata-kata mutiara. Papan pengumuman pun penuh dengan surat pemberitahuan. Dari lorong sekolah, kami menuju ke arah kanan. Setelah menyusuri ke lima ruang kelas sembilan, mulai tampak ruang guru di depan sana. Bu Jihan sepertinya sudah menunggu kami.
Di depan kantor, kami berhenti. Tampak meja dan kursi guru terlihat lebih tertata memenuhi ruangan. Tepat di depan pintu masuk, sofa berwarna biru muda senada dengan meja dan cat dinding. Vas bunga menghiasi meja tamu yang bersebelahan dengan tisu. Tempat minum botol air mineral pun tertata rapi. 
"Assalamu'alaikum...." Secara bersamaan, aku dan Ayah memberikan salam sambil menengok mencari Bu Jihan. 
"Wa'alaikumsalam, silakan masuk." Bu Jihan menghampiri kami dari arah kiri. 
"Silakan duduk, Pak." 
"Serra, ayo masuk." Beliau menyambut kami dengan sangat ramah. 
"Aku boleh tunggu di luar aja, Bu?" pungkasku. 
"Oh, boleh... gak papa kalau Serra mau nunggu di luar. Di dalem juga gak papa," jelas bu Jihan. 
"Terimakasih, Bu." Aku tersenyum sambil memberikan salam. 
Di depan kelas 9A, aku duduk dan menunggu. Sementara itu, kutengok Ayah duduk di sofa panjang dan Bu Jihan duduk disofa kecil. Meskipun tidak begitu jelas, tapi aku sedikit mendengar percakapan di antara mereka. Jika kulihat sepintas raut wajah ayah, sepertinya beliau menyimpan rasa sedih setelah mendengar apa yang dikatakan Bu Jihan tentangku. 
"Jadi begini, Pak. Nilai Serra saat masih kelas 7 sangat jauh berbeda dengan sekarang. Saya sebagai wali kelasnya merasa bertanya-tanya kenapa sampai sejauh ini perbandingannya." Bu Jihan memulai percakapan. 
"Iya, saya selaku orang tua Serra minta maaf atas penurunan nilai ini. Mungkin karena akhir-akhir ini kami kurang memantau anak kami. Beberapa bulan ini saya merantau ke Jakarta dan di rumah hanya beberapa hari saja dalam seminggu," ucap Ayah. 
"Serra ini terbilang anak yang rajin dan cerdas, Pak. Saya masih ingat saat dia kelas 7 sering mengikuti lomba Sains dan Bahasa Inggris. Rasanya aneh melihat nilainya yang sekarang. Bahkan hampir semua pelajaran harus remedial. Saya harap bapak lebih memperhatikan Serra lagi selama di rumah," tegas Bu Jihan. 
"Selama di sekolah, apakah sikap Serra baik-baik saja, Bu?" tanya Ayah. 
"Alhamdulillah tidak ada masalah, Pak. Namun, setelah saya pantau sepertinya Serra kurang suka bergaul dengan banyak teman. Padahal sejauh ini saya melihat dia dan teman-temannya baik-baik saja." Sambil merapikan jilbab sebahunya, beliau menjelaskan lagi dengan pelan. 
"Nah, dan ini capaian nilai Serra selama satu semester ini. Silahkan, Pak." Bu Jihan mengambil rapor dan menyerahkannya kepada Ayah. 
"Baiklah, Bu Jihan. Terimakasih banyak karena sudah memberikan perhatiannya kepada anak saya. Mohon bimbingan dan nasihatnya selama Serra di sekolah." Diambilnya rapor yang ada di meja dan bersiap-siap untuk pamit. 
Hanya beberapa menit mereka berbincang, kulihat Ayah dan Bu Jihan ke luar dari kantor. Aku pun mendekat ikut berpamitan dengan wali kelasku. Kucium tangannya sambil tersenyum. Beliau membalas senyum sembari membelai kepalaku. 
"Hati-hati di jalan, Serra. Belajar yang rajin ya di rumah." Wali kelasku ini memang sangat ramah dan hangat kepada siswa. 
"Ia, Bu," jawabku. 
Ayah menjabat tangan Bu Jihan, lalu pamit pulang. Kami meninggalkan ruang guru. Kembali menyusuri kelas dan lorong sekolah. Ayah merangkul pundakku dan hanya tersenyum  tanpa mengatakan apapun. Aku bisa merasakan perasaannya saat ini.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (234)

  • avatar
    e******s@gmail.com

    sangat seru dan menginspirasi

    11/06/2022

      0
  • avatar
    Wan Wan

    aduh, urusan mental ini selalunya dalem banget. jadi ikut terhanyut 😿 love yang banyak buat author mwah walaupun bikin sedih dari awal blurbnya 🙂🧡🧡🧡🧡🧡🧡

    19/05/2022

      0
  • avatar
    AmaliaRedyta

    Wah, bagus ini ceeitanya. Semangat update babnya, kak!

    31/03/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด