logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 Yang Mengamuk

Arana merasa lapar usai membaca Al-Qur’an. Dia letakkan benda suci itu di meja hias. Dia tanggalkan mukena lalu dia pakai khimar lebar. Pelan-pelan dia membuka pintu, mengintip ruangan luar yang benderang namun sunyi.
Arana tahu kulkas pasti masih kosong seperti malam kemarin. Tapi dia tetap keluar dari kamarnya menuju dapur, menuangkan air dari ceret ke gelas untuk diminum. Berharap agar dengan minum rasa laparnya tandas.
Namun, yang ada rasa laparnya makin memberontak.
Arana mengernyit, menekan area perutnya yang sakit seolah dililit. Di saat itu juga dia merutuk diri sendiri lantaran lupa membeli obat sakit maag untuk jaga-jaga. Ya, Arana pengidap sakit maag. Perutnya bakalan sakit banget kalau telat makan. Bahkan dirinya pernah pingsan karena nggak sanggup menahan sakit melilit di lambungnya.
“Ash ....” Arana meringis, mencoba berdiri. Sakitnya makin kalut, meronta-ronta hingga membuatnya sedikit mual. Saat berjalan, tak sengaja tangannya yang menopang di pinggiran meja menyenggol gelas bekas yang dia minum tadi. Gelas itu kian jatuh, pecah berderai di lantai. Disusul Arana yang bersimpuh agak jauh dari pecahan kaca.
Dia peluk erat perutnya. Nyeri yang bertalu-talu mengundang air matanya untuk jatuh, juga membuatnya terbaring tak sadarkan diri.
**
Arana membuka mata. Dilihatnya sekeliling, termasuk selimut yang menutupi setengah badannya. Dia terlelap di kamarnya sendiri, iya. Tapi siapa yang membawanya ke sini? Arana masih ingat betul dirinya pingsan di dekat dapur karena maag yang menyerang lambungnya.
Gadis yang hijabnya masih melekat itu perlahan menduduki diri, bersandar pada sandaran kasur. Terkejut dia ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok jangkung ber-sweater hitam masuk membawa nampan berisi sepiring nasi—serta lauk-pauk—dan sebotol air mineral.
Sosok itu lalu duduk di pinggiran kasur, menatap Arana datar.
“Payah,” ujar Galih sembari meletakkan mineral botol ke atas nakas, tepat di samping Arana. Sementara nampan serta isinya tadi masih di pangkuannya.
Arana tak menggubris. Dia malah terfokuskan pada benda di pangkuan Galih.
Galih yang mengikuti arah tatapan Arana lantas mendesah sinis, menyodorkan nampan dan isinya ke Arana.
“Jangan harap gue yang suapin.”
Arana menerima nampan itu sambil membalas datar, “Nggak ngarep.”
Galih menyeringai.
“Gue beli itu di pecel-lele depan gerbang komplek. Ngantri. Butuh tenaga. Awas kalo nggak dihabisin.”
Alih-alih merasa Galih sedang memberinya perhatian, Arana lebih tertarik pada pertanyaan, “Kamu dah makan?”
Galih hanya mengangguk singkat. Dia lihat Arana yang makan dengan lahap tanpa peduli ada cowok ganteng yang memerhatikannya.
“Syukur dah lo pake cadar. Kalo enggak lo bakal malu-maluin makan di tempat umum.”
Sambil mengunyah Arana menatap suaminya, menaikkan kedua alis mata. “Emang aku bikin ilfil kalo makan, ya? Baru nyadar. Lagian kamu ngapain masih di sini?”
Galih diam sejenak, kemudian menggaruk keningnya seraya beranjak. “Iya juga.”
Galih berjalan menghampiri pintu, membukanya, kemudian keluar. Sebelum menutup pintu dia menyeringai saat Arana berkata, “Lain kali kalo siap berantem, telpon aku. Biar nggak gangguin suasana kamu sama pacarmu.”
**
Arana memarkirkan sepeda keranjangnya di parkiran khusus sepeda. Gadis itu lantas berjalan menyandang tasnya menuju kampus. Hari ini dia kembali masuk setelah cuti sehabis pernikahan.
Resa, sahabatnya, segera memeluk Arana begitu gadis bercadar itu sampai di pintu. Sahabatnya itu temeb, manis, tubuhnya pun mungil-mungil unyu. Busananya syar’i. Hanya saja dia nggak bercadar. Ada gingsul dan lesung pipi ketika dia tersenyum. Emang ayu khas pribumi.
“Afwan banget aku nggak bisa dateng ke acara resepsi kaamuu,” kata Resa sembari menempelkan kedua telapak tangan seolah memohon ampun.
Arana melipat tangan di dada, pura-pura ngambek.
“Aku kecewa.”
“Aaaa Rana jangan gitu, dong! Umi maksa aku pulang karna kakek aku sakit. Aku dilema tau, Na. Di sisi lain kamu nikahan. Di sisi lain kakek aku sakit. Terus aku musti gimanaaaaaaa?”
Mendengar sobatnya berteriak frustrasi, Arana segera tertawa, merangkul Resa seerat mungkin.
“Kamu tuh ya, serius mulu. Aku cuma bercanda, tau! Kamu datang nggak datang nggak ada bedanya, kok. Hidangan tetep abis.”
“Iih Arana!”
“Hehehe.”
“By the way, suami kamu orangnya gimana, sih? Aku kan belum pernah jumpa. Kamu juga nggak cerita-cerita. Eh tau-tau udah ngasih undangan aja,” ujar Resa setelah menempatkan posisi di tempat duduk. Begitu juga dengan Arana.
“Hehe.”
“Nyengir mulu ih.”
“Gimana, ya? Kamu liat sendiri aja deh. Nilai sendiri.”
“Lah. Ganteng, nggak?”
“Mmm.” Arana melihat loteng seolah sedang berpikir keras. “Tau, tuh.”
“Lah kok nggak tau? Romantis nggak, orangnya?”
Arana tiba-tiba teringat akan senyum sinis Galih, ucapannya, serta perlakuannya yang kurang moral. Arana hanya bisa meringis sebagai jawaban untuk Resa.
“Kamu bawa HP? Lihat foto wedding-nya, dong!”
Arana ketawa. “Lihat di ig aja, ya.”
“Udah kamu publish? Kok nggak ada di beranda aku?”
“Belum. Tahun depan.”
“Arana!”
**
Setelah belanja keperluan di pasar, Arana memilih pulang naik angkot. Angkot yang dia tumpangi berhenti sampai simpang gerbang komplek rumahnya. Begitu dia turun, dia lihat tenda pecel-lele di seberang jalan. Arana merasa lapar. Kalo pulang dulu baru masak, dia takut keburu maag duluan.
Akhirnya dia memutuskan untuk makan sejenak sebelum pulang ke rumah.
Arana jenjeng belanjaannya demi sampai ke seberang. Di sana dia hampiri koki untuk memesan makanan.
“Tinggal di mana Neng?” tanya Mas Koki.
“Di dalam komplek itu Mas,” jawab Arana sembari menunjuk seberang.
“Wah, kebetulan banget nih,” balas si Mas sambil menyiapkan beberapa lauk ke piring. “Tadi malam ada anak cowok yang belanja ke sini, orang komplek itu, Neng. Si cowok minta nasinya dibungkusin, nggak pake lama. Karna rame banget anak buah saya suruh dia ngantri. Eh tau-tau dia malah ngamuk, Neng, mecahin gelas saya. Udah gitu pas saya kasih pesanannya, dia ngasih duit seratus ribu. Trus langsung pergi gitu aja. Nah masalahnya gini, pesanan dia cuma lima belas ribu. Duit dia seratus ribu. Saya panggil dia buat balikin uangnya dia nggak nengok. Saya musti gimana, Neng?”
“Dia sering ke sini, nggak?”
“Lah kagak, Neng. Wong dia orang elit, mobil mewah. Tapi anak buah saya lumayan taulah tentang dia. Katanya dia baru nikah, Neng, sama cewek bercadar kayak Neng. Tapi saya nggak percayalah. Masak anak SMA gitu udah nikah aja.”
Arana ketawa mendengarnya. “Udah kuliah dia mah, Mas. Orang dia suami saya, kok.”
Si Mas yang berumur 40-an dengan tubuh kurus kecil itu kaget. Berseru, “Serius Neng?”
“Iya, Mas. Maafin dia ya, Mas. Dia emang agak ... tempramen, hehe.”
“Wah bagi saya kalo soal gelas ga masalah, Neng. Yang jadi masalah mah duitnya. Saya nggak mau itu jadi pertanyaan Tuhan di hari kiamat kelak. Uang itu bukan hak saya semuanya.”
Arana tersenyum di balik cadarnya. Ternyata masih ada orang di dunia ini yang memedulikan hari hisabnya.
“Ambil aja, Mas. Sedekah. Ntar saya bilang ke dia.”
“Wah kebanyakan, Neng.”
“Nggak papa, asal Mas balas ngasih ke orang lain, terutama ke orang susah. Sekalian buat ganti gelas yang pecah hehe.”
Si Mas menggeleng takjub. “Sebagai gantinya Neng makan gratis aja, ya. Kalo perlu saya kasih bonus ayamnya buat dibungkus.”
Arana terkekeh, “Alhamdulillah. Jadi saya orang susah yang pertama ya, Mas?”

หนังสือแสดงความคิดเห็น (110)

  • avatar

    Aku kecewa sama pembaca yg ngasih bintang satu atau sengaja mengurangi bintang. Kalian tahu nggak sih, kalau rating itu berarti banget untuk penulis. Dukung dengan kasih bintang 5 buat Author kesayanganku ini, please!

    03/01/2022

      4
  • avatar
    Nurlaila Djadi

    novel yang sangat menggugah isi hati dgn gendre yg religi. sangat bagus untuk di baca.

    03/01/2022

      1
  • avatar
    Halimah Sadiyah

    aku pengen SD 2 juta sama dia pengen selamat jalannya Angel

    13d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด