logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 2 Tak Tahu Malu

Seminggu sudah umur pernikahan Galih dan Arana. Namun, mereka belum pernah saling menyentuh. Jangankan menyentuh, ngomong aja bisa dihitung per katanya. Bahkan di depan ortu mereka tetep begitu.
Kali ini mereka dipindahkan ke salah satu rumah minimalis namun elit di kawasan sebuah kompleks. Rumah itu sebenarnya sudah dihuni oleh Galih sejak kuliah karena dekat dengan kampus. Mereka disuruh tinggal di sana supaya mereka dapat mengubah sikap sesama pasangan agar nggak kaku begitu.
Secara kan kalo tinggal berdua dalam satu rumah, mereka pasti saling membutuhkan.
“Ini rumah ada tiga kamar. Satu di bawah dua di atas. Berhubung kamar gue yang di atas, jadi lo di bawah aja,” ujar Galih sembari menaiki jenjang tanpa menoleh sedikit pun ke arah gadis bercadar di belakangnya yang termangu.
Kalau di rumah mertuanya, Galih tidur di kasur dan Arana tidur di sofa. Mungkin kali ini lebih baik; tidur di kamar yang berbeda.
Arana membuang napas. Dia seret kopernya ke salah satu kamar lalu membuka pintunya. Serta-merta aroma mint menyeruak menyambut kehadirannya.
Bersih. Ruangan 5x4 itu sejuk. Kasur berukuran menengahnya dirapikan. Ada meja hias juga lemari besar di samping jendela. Serta terdapat AC di sudut dinding.
Arana masuk, menutup pintu pelan-pelan. Dia daratkan bokongnya ke tepian kasur. Baru saja duduk, eh, ketukan pintu dari luar menuntutnya untuk segera berdiri.
Tapi belum sempat Arana membuka pintu, Galih sudah masuk duluan. Membuat Arana kembali duduk seperti semula.
“Ini.” Galih menaruh kartu ATM di samping Arana. “Sandinya 185559.”
Kening Arana mengerut. “Buat apa?”
Galih balas mendengus. “Masih nanya. Buat biaya kuliah lo lah. Kan emang niat lo nikah sama gue supaya bisa ngelanjutin kuliah.”
Arana membuang napas, sabar.
“Aku bisa biayain sendiri.” Arana menyerahkan kembali kartu ATM tadi. “Makasih.”
Galih memijit pangkal hidungnya lalu bilang, “Nggak usah buat gue tambah jijik. Gue ngasih ya lo terima. Udah. Cara lo basa-basi gue nggak suka.”
Semilir angin yang masuk melalui jendela kian melintasi relung Arana. Menitipkan paku-paku kecil, membuat paku-paku itu mengendap dalam dadanya hingga membuatnya sakit.
Dengan mata yang mulai panas, Arana lantas membalas, “Kalo nggak suka kenapa aku dinikahin? Padahal ada banyak cara bagi kamu buat lari dari perjodohan ini, 'kan?” Mata Arana menatap Galih nyalang. Benar, sampai sekarang dia belum tahu alasan kenapa Galih fine aja nikahin Arana, walau Arana tahu betul Galih sungguh nggak sudi dengan perjodohan itu.
Galih mengangkat bahunya tak acuh. Menanggapi luka di wajah Arana dengan mengatakan, “Gue nggak mau ambil risiko perusahaan Papa dialihkan ke orang lain, bukan ke anaknya. Secara itu ancaman kalo gue nggak mau nikahin cewek 'sholeha' kayak lo.”
Setelah berkata demikian, Galih langsung keluar dari kamar dan menutup pintu sekasar mungkin hanya untuk membuat Arana kaget.
**
Gadis itu menatap nanar kulkas di depannya. Isinya kosong melompong. Sementara perutnya yang dari tadi belum diisi melolong minta makan. Gimana nih? Mau makan apa dia malam ini? Mana ada warung di wilayah komplek elit begini?
Arana menutup pintu kulkas lalu duduk di kursi makan. Dia garuk pipinya. Sesekali melirik jenjang di samping, bertanya-tanya sedang apa suaminya di atas sana. Sejak Galih keluar dari kamar Arana, cowok itu nggak muncul-muncul. Mungkin sedang sibuk. Sibuk main HP.
Apa dia udah makan?
Arana menepis kasar pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benaknya itu. Namun belum sedetik dia menepis, pertanyaan itu lantas menyahutnya secara nyata.
"Udah makan?"
Refleks Arana menoleh pada cowok yang tiba-tiba berdiri di seberang meja. Melihat cowok itu meneguk segelas air sambil berdiri, ingin Arana menegur. Tapi dia memilih memendam itu karena nggak ingin memancing debat.
"Belum," jawab Arana menatap jemarinya yang saling berkait.
"Isi kulkas kosong. Nyokap sengaja ngosongin, nggak tau kenapa."
Arana diam, nggak membalas.
"Laper?"
Arana menatap wajah Galih. "Kamu?"
"Iya. Kita makan di luar aja, besok baru belanja. Siap-siap sana."
Walau sedikit ragu, Arana tetap bangkit dan melesat. Sampai di kamar dia hanya mengenakan niqab karena busana syar'i-nya sudah melekat. Usai menyandang dompet untuk menyimpan ponsel dan melirik dirinya di cermin, Arana lantas keluar menghampiri Galih yang sudah menunggu di dalam mobil.
Setelah memastikan pintu utama terkunci, Arana segera masuk dan duduk di samping Galih. Selama perjalanan mereka hanya diam, menatap kosong kelap-kelip lampu kota sejauh mata memandang.
Sesekali Arana mengibas asap rokok Galih dengan tangannya sambil berdecak kesal. Bukan tanpa sebab dia membenci rokok. Asapnya sungguh membuat napasnya tersendat-sendat. Sementara manusia yang merokok di sampingnya mengambil sikap bodo amat dan tak peduli.
Tak lama kemudian, mobil terparkir di halaman restoran elit dan nyaman dengan menu sederhana; masakan Padang. Nuansanya seperti kafe, tapi lebih luas. Sebagian dinding dan tiang penopangnya terbuat dari kayu jati. Catnya dominan cokelat. Sarat pengunjung, baik dewasa maupun anak-anak.
Galih dan Arana memilih posisi duduk di dekat dinding, di meja khusus dua orang. Seorang waitress datang menghampiri begitu mereka duduk di tempat masing-masing. Saat tahu pelanggannya adalah Galih, waitress dengan rambut kucir kuda itu lantas membungkuk hormat sambil tersenyum hangat.
Sayangnya, Arana yang lagi sibuk mengusai dompetnya tak melihat pemandangan itu.
Pelayan cewek itu membungkuk hormat karena dia tahu siapa Galih; putra tunggal pemilik restoran elit tempat cewek itu bekerja.
Iya, restoran ini mertuanya Arana yang punya. Dan Arana tak tahu menahu tentang itu.
"Ambil aja porsi ayam bakar dua. Minumnya air lemon. Cepet, jangan lemot.”
Arana mendengus pelan. Tuh cowok nggak ada sopan-sopannya, emang. Nggak dengan ortunya, dengan dia, dengan orang lain, bagi cowok itu sama aja. Membuat Arana penasaran dengan siapa Galih bisa berlaku lemah-lembut.
Makanan dihidangkan. Arana merasa harus mencuci bersih tangannya, sebab makan ayam susah kalau menggunakan sendok. Dia beranjak. Ketika berbalik, Arana tak sengaja menyenggol lengan cewek yang kebetulan sedang memegang segelas jus alpukat, hendak berjalan melewatinya. Dalam sekejap air jus dari gelas itu mengenai pakaian cewek berkaus ketat itu. Bercak jus juga mengenai rambut blonde kuningnya. Sementara gelasnya kian berderai menghantam lantai.
"Gina!?"
Arana yang masih mematung karena kaget spontan menahan napas. Keningnya mengernyit melihat bagaimana Galih meraih tisu lalu mengelap daerah dada dan leher cewek itu tanpa rasa malu di depan banyak orang, bahkan di depan istrinya sendiri.
"Kamu nggak papa?" Suara lembut Galih bertanya pada cewek itu. Ah, ternyata dia bisa berlemah-lembut juga ... meski pada orang yang salah.
"Nggak kok nggak papa." Cewek yang dipanggil Gina oleh Galih itu tersenyum, menepis pelan tangan Galih dari lehernya.
"Ngapain di sini? Kok nggak ngabarin?"
"Makan sama temen. Pas ngambil jus eh nggak sengaja liat kamu. Samperin deh, tapi nggak sengaja kesenggol sama kakak ini."
Arana membuang napas saat cewek bercelana di atas dengkul itu memandangnya remeh.
"Lo kenapa berdiri segala, sih? Nggak liat apa orang lewat?" bentak Galih, mengundang tatapan banyak pengunjung yang lagi makan.
Arana mengernyit. "Kamu siapa?" tanyanya pada Gina, mengabaikan pertanyaan Galih. Mengabaikan tatapan orang-orang. Mengabaikan pilu bersahut-sahut di ulu hatinya. Entahlah, rasanya sesak sekali.
"Pacar gue.”

หนังสือแสดงความคิดเห็น (110)

  • avatar

    Aku kecewa sama pembaca yg ngasih bintang satu atau sengaja mengurangi bintang. Kalian tahu nggak sih, kalau rating itu berarti banget untuk penulis. Dukung dengan kasih bintang 5 buat Author kesayanganku ini, please!

    03/01/2022

      4
  • avatar
    Nurlaila Djadi

    novel yang sangat menggugah isi hati dgn gendre yg religi. sangat bagus untuk di baca.

    03/01/2022

      1
  • avatar
    Halimah Sadiyah

    aku pengen SD 2 juta sama dia pengen selamat jalannya Angel

    14d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด