logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 Meminta Restu Ibu

'Pekerjaan beresiko? Gaji besar? Ah, aku tidak boleh berpikir aneh-aneh tentang pekerjaan yang ditawarkan Bagas,' batinnya.
***
Saat ini Reyhan sedang berada di depan pintu rumah. Waktu menunjukkan pukul 11.00 pm. Lelaki manis itu meminta sahabatnya mengantar sampai ujung jalan saja tidak sampai rumahnya. 
Sebab, lelaki bertumbuh tinggi itu takut. Jika ibunya atau adiknya tahu, dia diantar dengan mobil sedan mewah ke pemukimannya yang kumuh. Pasti, nanti mereka berdua akan bertanya-tanya. Itulah yang ingin dihindari Reyhan. Bukan karena Reyhan malu atau minder pada teman SMAnya itu, jika keadaannya kini yang makin terpuruk. Ia malah bersyukur dengan kehidupannya yang sekarang. Tenang dan damai selalu ia rasakan di dalam hatinya.
Derit pintu menyadarkannya. Sejak tadi Reyhan hanya melamun di depan pintu memikirkan tawaran pekerjaan dari Bagas. Lelaki itu masih bingung dengan semua yang dijanjikan Bagas. Bila dia mau bekerjasama dengan temannya itu.
"Kak Rey!" Perempuan berambut sebahu, berdiri di depan, setelah ia membuka pintu.  Perempuan bernama Raisa itu memanggil nama kakaknya dengan suara pelan.
"Loh, kamu belum tidur dek? Bukannya ini sudah larut malam, besok kan kamu masuk sekolah. Ditambah lagi untuk apa kamu keluar rumah?" tanya Reyhan bertubi-tubi. Tidak dibiarkannya adiknya mengeluarkan satu patah kata pun.
"Bagaimana Raisa bisa tidur. Bila kakak tersayang Raisa belum pulang ke rumah. Raisa tadi sedang keluar, karena ingin mencari angin, sembari menunggu Ka Rey pulang," cerocos gadis itu tersenyum manis. 
"Makasih dek kamu sudah perhatian sama kakak, lain kali kalau kakak pulang larut malam jangan ditunggu ya." Reyhan mengusap-ngusap rambut adiknya itu dengan lembut. Sembari tersenyum.
Raisa hanya mengangguk dan melirik sebuah plastik yang dijinjing kakaknya. Perempuan itu ingin bertanya apa yang dibawa kakaknya, tapi rasanya malu mengucapkannya. 
"Ini makanan untuk kamu dan Ibu. Kakak minta tolong bawakan ini ke dalam," Reyhan yang menyadari adiknya sedang memperhatikan kantong plastik brand salah satu resto tersebut segera menyerahkannya.
"Hore! Makasih kakakku yang tampan," ucap Raisa. Melangkah pergi ke dalam. "Akhirnya malam ini bisa makan enak juga," lirih Raisa.
Beberapa menit setelah itu, Reyhan juga ikut masuk kedalam tidak lupa, ia menaruh sepasang sepatunya.
***
Setelah membersihkan diri. Reyhan kemudian merebahkan tubuhnya di kasur tipis miliknya. Kedua tangan lelaki itu disilangkannya, ia jadikan sebagai bantal. 
Matanya tidak bisa menutup sama sekali malam ini. Reyhan terus menatap langit-langit kamarnya yang banyak bolongannya. Jika hujan pasti ia sudah dihajar habis-habisan oleh tetesan air yang menjatuhkan diri.
'Aku bingung….' lirih Reyhan bicara sendirian.
"Apa aku terima saja kerjaan dari Bagas? Tapi, aku rasanya gak tega ninggalin Ibu dan Raisa di rumah ini. 
***
Sebelumnya, saat di resto.
"Pekerjaan beresiko? gaji besar? Kamu gak lagi ngajakin aku bisnis haram kan Gas?" tebak Reyhan asal. "Kalau Iya, aku gak akan mau nerimanya," kata Reyhan.
"Bukan, bukan kayak yang terlintas dipikiranmu Rey, ini halal kok!" Bagas kemudian mengambil sesuatu dalam tas hitam yang ada di sampingnya. Lalu, mengeluarkan beberapa lembar kertas. "Coba baca dulu, siapa tahu kamu berminat."
Reyhan membaca dan mengamati beberapa lembar kertas itu perlahan.
"Rey, kayaknya aku harus kembali ke rumah tuanku. Kamu boleh memikirkannya sampai satu minggu kedepan. Setelah itu aku butuh kejelasanmu Rey,"  ucapnya.
"Aku harap kamu terima tawaran dari tuanku. Pastinya ini sangat menguntungkan untuk kamu dan keluarga! Dijamin kalian akan hidup layak. Atasanku orangnya sangat baik, dia pasti akan menjadikanmu tangan kanannya jika kamu benar-benar menjaga anaknya sepenuh jiwa." Bagas tersenyum. "Kabari aku jika kamu bersedia, ini nomor ponselku." Dia memberikan kartu nama pada Reyhan.
"Tapi Gas… aku enggak punya ponsel bagaimana caranya menghubungi kamu?" Reyhan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Ia sedikit malu mengatakan hal itu, di era modern seperti ini. Pasti semua orang memiliki benda pipih pintar itu. Namun tidak dengannya, untuk makan saja harus berpikir keras.
"Ini pakailah, ponsel ini jarang kugunakan. Jadi kamu gak perlu khawatir." Lelaki itu menyerahkan ponsel yang ada di kantung celananya dengan sigap. "Ayo kita pergi dari sini, makanan Ibu dan adikmu sudah pelayan bungkuskan." Bagas mengamati jam tangannya, dan beranjak dari tempat duduknya.
Mereka pun pergi dari tempat itu.
***
Pagi telah tiba, matahari telah menampakan sinarnya.
[Digubuk Reyhan]
Reyhan, Ibu dan adiknya kini telah duduk di lantai beralaskan tikar. Mereka bertiga kini menikmati makanan yang dibawa Reyhan sisa malam tadi. Baru saja, dihangatkan oleh Raisa.
Setelah beberapa menit kemudian.
Mereka telah selesai menyantap makanannya. Raisa lalu beranjak mengumpulkan piring mereka semua, kebiasan itu selalu dilakukakan Raisa setelah mereka selesai makan, lalu mencucinya.
Kemudian, Raisa pamit pada Ibu dan kakaknya untuk berangkat sekolah. Kebetulan, sekolah gadis muda itu jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Ia hanya berjalan kaki menuju sekolahnya.
"Bu, Kak, Raisa pamit. Assalamualaikum." Anak gadis itu menyalami mereka berdua secara bergantian.
"Wa'alaikumsalam, hati-hati ya dek! Ini uang saku dari kakak untuk kamu." Reyhan menyerahkan selembar uang dua puluh ribu pada adiknya.
"Asyik, terimakasih kak, Raisa berlari keluar rumah dengan perasaan gembira."
Setelah kepergian Raisa. Hanya tersisa Ibu dan Reyhan berdua.
"Nak, banyak sekali kamu kasih Raisa uang jajan, biasanya juga paling banyak lima ribu. kamu dapat uang dari mana? Kamu baru saja gajian ya, Nak?" tanya Maria--- Ibu dari Rayhan dan Raisa. "Ditambah banyak sekali makanan yang kamu beli," sambung Ibu Maria lagi.
Reyhan menghela napasnya sejenak, lalu memberanikan diri membicarakan perihal yang dialaminya kemarin. Karena sejak tadi malam ia tidak sempat bertegur sapa dengan Ibunya. Perempuan paruh baya itu sudah terlelap tidur.
Reyhan ceritakan dari awal. Mulai ia dipecat oleh pak Gerald. Hingga ditawari Bagas pekerjaan. Ibu Reyhan telah lama mengenal Bagas. Karena lelaki itu sering ke rumah kontrakan mereka dulu sewaktu SMA.
"Bagaimana Bu, apa Ibu setuju jika Reyhan bekerja di kota yang jauh dari kampung ini?" tanya Reyhan mengusap lembut tangan Ibunya." Reyhan ingin sekali membahagiakan Ibu dan Raisa, tapi… bila Ibu keberatan-"
"Pergilah Nak, do'a Ibu menyertaimu. Di sini Ibu akan baik-baik saja bersama Raisa," potong Maria. Wajah wanita paruh baya itu terlihat pucat. Ia tersenyum ke arah anak lelakinya serta membelai rambut Reyhan dengan lembut.
"Makasih Bu, Reyhan janji akan selalu mengirimkan uang ke sini untuk keperluan Ibu dan Raisa."
Maria hanya mengangguk. Suasana kembali hening. Anak dan Ibu itu lalu, menikmati hari-hari bersama sebelum kerinduan itu hadir. Karena terpisahkan jarak dan waktu. 
***
Sementara itu,
Di pemakaman.
Aletta berjongkok di samping kuburan Ibunya. Ia menyirami air dan menaburkan bunga di atas gundukan tanah ibunya. Aletta yang berbalut pakaian serba hitam, serta kerudung panjang dibiarkannya menutupi rambut indahnya. Tertunduk pilu menatap kubur Ibunya.
"Ibu, Aletta datang. Apa kabar Bu? Aletta harap Ibu baik. Gak seperti Letta sekarang ini. Aletta merindukan Ibu. walaupun... Aletta tidak pernah melihat wajah Ibu. Tapi, Letta yakin Ibu cantik sekali, seperti Aletta," ucap perempuan itu mencoba menghibur dirinya. Ia tersenyum getir. "Maafkan Aletta bu, yang gak berkunjung sesering dulu. Tapi, ibu gak usah khawatir, Letta selalu mendo'akan Ibu dalam salat Letta." Gadis itu mengecup nisan Ibunya.
"Bu, Apa Ibu tahu? Letta saat ini sedang kecewa dengan seorang pria. Emmm… Ibu jangan mengira itu adalah pasangan Letta. Tapi, Ibu harus tahu dia adalah belahan jiwa Ibu. Dia, adalah Ayah Bu. Lelaki itu mengingkari janjinya pada anak tercinta Ibu. Aletta yakin jika Ibu di sini, pasti Ibu habis-habisan akan memarahinya. Karena selalu mengutamakan pekerjaan ketimbang Letta, anaknya sendiri," cerocos Letta. Dia terus saja bicara dipemakaman Ibunya dengan menggebu-gebu. Dia lepaskan semua unek-unek dalam hatinya. Disaksikan Zulfa yang telah berdiri di belakangnya. Perempuan itu hanya diam, tidak bermaksud bicara apapun. Ia hanya menunggui Aletta dengan sabar.
"Bi, ayo kita pulang," ucap Aletta menggantungkan kembali kerudungnya yang tadi terjatuh dipundaknya. Perempuan itu beranjak dan melangkah pergi menuju mobil sedan yang tidak jauh dari pemakaman.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (91)

  • avatar
    Momz Brio

    bagus cerita nya

    22/07

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus ceritanya gk muter2👍

    29/04

      0
  • avatar
    Ade Priatna

    terimakasih

    17/06/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด