logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 SOSOK YANG TEPAT

Meskipun Alvin tidak mengetahui jika makanan yang dinikmati adalah hasil karyanya, tetapi Adinda tetap merasa bahagia. Apalagi setiap kali Tari memberi laporan jika makanan tersebut selalu habis tidak tersisa. Hal yang membuat Adinda semakin merasa semangat untuk memasak, dan mengeksplor berbagai resep. Setelah berhasil menyusup secara sembunyi-sembunyi melalui masakan, Adinda mulai memikirkan cara lain.
“Bi!” panggil Adinda pada ART yang sedang melangkah ke arah kamar Alvin.
“Ya, Mbak Dinda. Ada yang bisa saya bantu?” jawab wanita berusia sekitar empat puluh tahunan bernama Sri itu.
“Emm, Bibi mau bersihin kamar Mas Alvin?” tanya Adinda hati-hati. Ini hari Minggu dan Alvin baru saja keluar dari kamar untuk berolah raga.
“Eh, iya, Mbak.” Bi Sri terlihat kebingungan juga ada aura waspada yang wanita itu tunjukkan.
“Boleh saya saja, Bi?” Adinda meminta sapu dan juga peralatan untuk membersihkan kamar milik Alvin pada Bi Sri. Namun, wanita itu tentu saja melarangnya. Bukan hanya karena sungkan pada Adinda, tetapi juga takut pada Alvin yang pasti akan murka.
“Ngak papa, Bi. Biar saya aja.” Adinda nekad melakukan ini karena ia butuh ide untuk bisa mendekati Alvin. Entah mengapa ia yakin setelah berhasil masuk ke kamar itu, Adinda akan mendapatkan pencerahan.
“Tapi Mbak—“
“Udah nggak papa, Bi. Adinda ini kan istrinya Alvin.” Marlina yang mendengar keributan segera mendekat dan membantu Adinda untuk menjalankan rencananya.
“Tapi Bu, nanti Mas Alvin marah.” Bi Sri masih berusaha menolak karena ia yakin Alvin akan sangat murka saat tempat pribadinya terusik oleh sosok asing, meskipun statusnya sudah menjadi istri.
“Nanti bilang saja saya yang nyuruh!” ujar Marlina sembari menoleh ke arah Adinda. “Sudah, kamu masuk sana!”
Adinda tersenyum, dan segera masuk ke kamar Alvin. Namun, saat ia baru ingin menyapu lantai, seseorang menyentak lengannya, sehingga sapu di tangannya terlempar ke lantai.
“Siapa yang nyuruh kamu masuk ke tempat ini?” bisik Alvin dengan suara dingin, sembari menoleh ke arah ranjang, di mana Sofia masih memejamkan mata.
Adinda yang sudah siap dengan situasi seperti ini, hanya tersenyum lembut meski jantungnya sebenarnya berlomba dengan cepat.
“Saya hanya mau bantu Mas Alvin,” jawab wanita itu sembari berdiri menghadap Alvin. Mengabaikan rasa takut jika sampai laki-laki di depannya ini kalap dan memukulnya.
Alvin mendengkus sinis. “Membantu apa? Menyakiti istri saya?”
Adinda ikut menoleh saat Alvin mengedik ke arah ranjang. Ada tatapan miris yang kini Adinda tunjukkan saat melihat kondisi yang ada di sana.
“Saya nggak akan pernah menyakiti hati Mbak Sofia,” ujar Adinda tenang meski kini hatinya diliputi rasa takut karena Alvin sudah mengepalkan tangannya. Mungkin tinju itu bisa melayang ke arahnya jika Alvin tidak lagi bisa menahan emosinya.
“Saya ingin membantu Mas Alvin merawat Mbak Sofia. Apakah boleh?”
Mata Alvin memicing curiga, lalu memindai penampilan Adinda yang memang seringnya mengenakan drees sepanjang lutut. Penampilan wanita ini tidak jauh berbeda dengan Sofia yang selalu terlihat anggun dan lemah lembut. Laki-laki itu melempar pandang saat merasa konyol karena sudah menyamakan dua wanita yang jelas berbeda ini.
“Bagaimana saya bisa percaya sama kamu?” Tatapan itu masih setajam biasa, dan mungkin karena sudah terbiasa menghadapinya Adinda mulai menurunkan rasa takutnya.
“Mas Alvin bisa memasang CCTV di kamar ini. Jadi Mas Bisa memantau apa saja yang saya lakukan.”
“Apa yang bisa kamu kerjakan? Sementara kamu sendiri bisa lihat bagaimana kondisi istri saya saat ini?”
Adinda kembali menoleh ke arah ranjang dan ia tahu meski ini akan terdengar gila, tetapi ia harus mengikuti rencana yang sudah tersusun rapi di dalam kepalanmya
“Saya … bisa membantu merawat Mbak Sofia seperti yang Mas Alvin lakukan setiap hari.”
Alvin diam, terlihat seperti tengah menimbang dan berpikir.
“Menyuapinya, mengelap badannya, atau apa pun itu. Mungkin juga mendengar ceritanya?” imbuh Adinda saat yakin diamnya Alvin adalah peluang bagus untuknya.
Alvin tertawa saat itu juga. Tentu saja bukan jenis tawa yang akan membuat orang senang.
“Kamu? Mau ajak dia bicara? Kamu sedang melucu atau bagaimana?” geram Alvin sembari menyeret kasar tangan Adinda ke luar kamar. Lalu menutup pelan pintu itu sebelum Adinda kembali masuk dengan kurang ajar.
“Kamu pikir saya akan terpedaya? Hemm?”
“Bukan—“
“Saya melarang kamu mendekati Sofia!” potong Alvin cepat dengan nada tegas. “Jangan usik saya, apalagi dia! Kita sudah sepakat untuk hidup masing-masing tanpa gangguan, bukan?”
“Tapi saya hanya ingin membantu.” Adinda tentu saja tidak akan menyerah begitu saja.
“Kalau begitu tetap diam di tempat kamu. Itu sudah sangat membantu.” Alvin kembali masuk ke kamarnya, meningalkan Adinda yang hanya bisa menghela napas di tempatnya. Ini belum berakhir, ia yakin kesempatan lain akan datang dan dia bisa membuat Alvin mau membuka tempat untuk dirinya.
*
“Ajak Adinda! Biar dia kenal juga sama Almira,” bujuk Marlina sebelum Alvin berangkat ke bandara untuk menjemput kepulangan adiknya dari Jogja. Gadis berusia duapuluh dua tahun itu akan menghabiskan libur kuliahnya di Jakarta.
“Memangnya di rumah nggak bisa kenalan? Setiap hari nanti juga ketemu,” ketus Alvin sembari mengenakan sepatunya lalu segera pamit. Namun, langkahnya terhenti saat ibunya kembali berseru.
“Alvin! Tapi Adindanya udah siap!”
Alvin sempat menoleh ke arah Adinda yang sedang mengenakan sepatunya dengan cepat, dan dengan cepat pula masuk ke dalam mobil tanpa tahu malu.
“Siapa yang suruh kamu ikut?” tanya Alvin dengan nada kesal. Ternyata wanita ini tidak selemah lembut yang terlihat.
“Saya janji bakalan diam sepanjang jalan. Saya cuma pengin ketemu Almira aja kok.”
Adinda segera memasang sabuk pengaman, tidak peduli dengan tatapan tajam yang Alvin lesatkan untuknya. Tentu saja bukan hal mudah untuk bersikap seperti yang ia lakukan sekarang ini. Adinda paling tidak nyaman saat berada satu ruang dengan orang yang tidak menyukainya. Ia lebih memilih menghindar dari pada mencari ribut. Namun, posisinya saat ini tidak memungkinkannya untuk melakukan semua itu. Ia harus menebalkan muka demi Marlina yang sudah membayarnya. Dan beruntungnya, Alvin tidak lagi mendebat. Laki-laki itu memilih melajukan mobilnya dalam diam.
*
“Wah! Mbak Dinda, ya? Ya ampun akhirnya kita ketemu!”
Adinda merasa lega karena ternyata ketakutan yang sejak tadi merajainya tidak terbukti. Gadis bernama Almira yang sudah sah menjadi adik iparnya ini menyambut pertemuan pertama mereka dengan begitu senang. Padahal, sepanjang perjalanan tadi ia berpikir aka nada banyak hal buruk yang bisa saja terjadi. Terutama jika Almira akan memihak pada Alvin dan mematahkan semangatnya.
“Maaf ya, Mbak … Mira nggak bisa pulang pas acara nikahan Mbak sama Mas.” Gadis dengan rambut lurus melewati bahu itu menatap Adinda, lalu menoleh ke arah Alvin dan memeluk kakak laki-lakinya.
“Kangen juga ih, sama Mas aku yang paling ganteng ini.” Almira mendongak, dan mendapati wajah Alvin yang selalu saja datar semenjak hari itu. Jujur, ia sangat merindukan kakaknya yang ramah dan penyayang seperti dulu.
“Baru inget kalau di sini ada orang yang lebih penting?” sinis Alvin sembari merebut koper di tangan adiknya, lalu melangkah terlebih dulu.
“Mbak—“ Kalimat itu terhenti oleh senyum yang Adinda berikan.
“Aku nggak papa, sudah mulai terbiasa,” jawab Adinda dengan senyuman lebar. Hal yang membuat bibir Almira kembali tertarik juga.
“Kayaknya, ibu memang nggak salah milih orang. Mbak yang terbaik! Aku yakin!” ujar Almira semangat.
Adinda memberikan senyum masam. “Tolong jangan terlalu berharap, aku takut mengecewakan,” ujarnya dengan ringisan canggung.
“Tapi, aku bakalan berusaha dengan sangat keras untuk bisa membuat Alvin luluh dan kembali seperti dulu,” lanjut wanita itu sebelum sorot kecewa muncul di mata Almira yang sejak tadi terus berpendar cerah.
*
Kondisi rumah menjadi sedikit ramai karena Almira terus berceloteh tentang banyak hal. Meski sudah tidak lagi gadis remaja, tetapi Almira masih bersikap seperti anak kecil. Mungkin karena dia anak bungsu dan jarang pulang ke rumah. Atau bisa jadi karena memang kepribadiannya yang seperti itu.
“Masak Bu, ada yang mau nyium aku kemarin. Idih, mana orangnya—“
“Kamu bisa diem nggak!” Bentakan itu diiringi dengan gebrakan meja yang membuat beberapa sendok jatuh menimbulkan denting ribut.
Semua yang ada di meja sontak terdiam dan memusatkan pandang pada tempat yang sama. Yaitu Alvin yang terlihat marah dan menatap tajam adiknya.
“Kenapa nggak kamu habiskan makanan kamu dulu! Baru kamu ceritakan hal-hal konyol seperti itu!” Setelahnya Alvin berdiri, dan meninggalkan makanannya yang nyaris masih utuh.
“Sudah … kalian habiskan makanan kalian dulu.” Marlina mencoba menyudahi suasana tidak menyenangkan ini. Namun, Almira malah ikut berdiri dan meningggalkan meja makan.
“Bu!” cegah Adinda saat melihat ibu mertuanya bangkit dari duduknya.
“Boleh Dinda saja yang ngobrol sama Mira?” Marlina langsung mengangguk dan mempersilahkan Adinda untuk menyusul Almira yang ternyata sudah duduk di teras samping rumah.
“Kamu lagi ngapain?” tanya Adinda ikut duduk di undakan tangga menuju taman. Tempat pertama yang menjadi favorit Adinda untuk merenung saat malam pertamanya berlalu hari itu.
“Kok Mas Alvin makin menjadi gitu si, Mbak? Mbak Dinda belum bisa jinakin dia?”
Adinda tertawa lirih mendengar kosakata yang Almira gunakan. Sepertinya ia harus menyiapkan hati untuk segala hal baru yang ada di depannya.
“Semuanya butuh proses kan, Mir. Dan aku sedang berada di proses itu.”
Almira tampak mengembuskan napas kasar. “Memang tadi aku salah, ya, Mbak?”
Adinda tidak langsung menjawab, melainkan menoleh ke arah Almira yang kini juga menatapnya. “Nggak papa kalau aku jawab jujur?”
Gadis itu mengangguk yakin, “Nggak papa dong. Aku terima krisan kon Mbak.”
Adinda kembali tertawa kecil. “Kalau menurut Mbak, kata-kata Mas Alvin memang ada benarnya.”
“Yang mana?”
“Yang soal semua hal nggak bisa kamu ceritakan.”
Almira tampak mmengerutkan kening untuk berpikir, lalu kembali menoleh ke arah Adinda. “Yang soal ada cowok nyium aku?”
Adinda menggangguk dengan senyuman tulus. “Pergaulan jaman sekarang sama dulu itu beda, Mir. Kamu nggak lihat betapa syoknya ibu pas denger pengakuan kamu tadi?”
Almira mengerjab, dan tidak menyangkal jika ibunya memang sering marah selepas ia bercerita tentang hal-hal semacam itu.
“Tapi, aku kadang bingung harus cerita sama siapa,” keluh Almira dengan bibir mengerucut.
“Memang kamu ngak punya temen?”
“Punya, si. Tapi ya … seringnya tanggapan mereka malah begitu, kayak yang nggak seneng kalau aku ada yang deketin.”
“Kalau begitu, mulai sekarang kamu bisa cerita apa pun ke Mbak Dinda.”
Mata Almira sontak melebar dengan raut senang. “Yang bener, Mbak?”
Adinda mengangguk dan memeluk Almira dari samping. Sudah lama ia membayangkan seandainya memiliki saudara perempuan, tentu akan sangat menyenangkan.
“Makasih, ya, Mbak! Aku seneng banget Mas Alvin nikah sama Mbak!” ujar Almira sembari membalas pelukan Adinda.
Adinda mengangguk dan keduanya melanjutkan obrolan ke banyak hal. Tanpa menyadari jika sejak tadi ada sosok yang terus mengintai dari balik jendela. Bibir itu mengdengkus kesal, mengingkari perasaan kagum yang menyelubung perlahan ke dalam hatinya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (29)

  • avatar
    NoviantoNanang

    kaf8

    21/06/2022

      0
  • avatar
    BabagGahahag

    Next

    20/06/2022

      0
  • avatar
    AjaRina

    mantap

    28/04/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด