logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

❝ Bantuan Kemustahilan ❞ || 38

Awan itu sungguh tidak wajar, ia seperti hendak mengincar apa saja yang ada. Kemudian mengambil habis energinya, dan meninggalkan sambarannya dalam keadaaan tidak berdaya.
Awan itu berbalik, benar ia mendekati Anila.
"Hati-hati, Na!"
Hujan dan angin menerpa tubuh Anila. Meski demikian, hal tersebut justru malah membuat Anila tampan sangat elegan dengan sikapnya yang begitu tenang.
Aldrich hanya mampu membatu doa, dengan sebuah harapan, agar suatu saat, semoga ia-lah yang akan di posisi Anila, dengan berani menghadapi bencana demi melindunginya.
Ia berharap memiliki kekuatan luar biasa juga, supaya ketika terjadi hal seperti ini, ia dapat menjadi hero-nya. Tapi apalah daya? Ia hanya manusia biasa yang tidak memiliki kemampuan lebih selain daripada cinta dan kesetiaan.
DAR!
Petir besar menyambar, membuat ruang padang itu seperti dijepret kamera foto. Petir itu menghanguskan anak pohon oak hingga tumbang.
Aldrich semakin membelalakkan matanya.

"Menghilang, Na! Ke atas pohon itu!" ujar Aldrich mengacaukan bayangan rencananya.
Anila langsung saja menurut. Awan itu berbalik arah, seperti terbang melamban mendekati Anila yang tampak jelas di awangan ujung pohon laksana terbang.
Dapat diucap berkat ide Aldrich, ia sekarang tahu apa yang harus dilakukan.
"Semoga saja, rencana kali ini berhasil," gumamnya penuh keyakinan.
Ia berpikir akan mengunci awan-awan itu di dalam pohon oak terbesar yang rimbun. Anila sebenarnya ragu ini akan berhasil, tetapi, tidak ada salahnya mencoba juga, kan?
Ia mulai membuka jalan bermacam jalan tikus atau tupai untuk memasukkan awan-awan itu.
"Al! Alihkan perhatian!" pekiknya.
"Ya!" tanpa banyak celoteh lagi, Aldrich langsung berteriak.
"Hey! Bodoh! Di sini!" teriaknya sekencang mungkin.
Awan itu seperti cepat mengalihkan pandangannya, mencari siapa yang berteriak.
Saat awan itu berhenti mengeluarkan petir, dan lengah. Saat itu pula lah, Anila melompat dari ujung pohon itu.
"Hya! Tepat!"
Ya! Ia mendarat pada bagian atas awan itu. Anila tahu ia tidak belajar atau memiliki ilmu peringan tubuh. Jadi, walaupun tubuhnya berangsur terbang ia harus gesit dalam melakukannya.
"Hyaaa....." Anila beringsut kebelakang, dengan mengedepankan tangannya, bermacam menyibak semak. Angin dihasilkan darinya mendorong jauh awan itu tepat di atas pohon. Pohon itu tampak sangat lemah, bukan karena kekuatannya menghilang, tapi karena ia lengah.
"Yap!" Selanjutnya Anila kembali menghilang, untuk mempertahankan posisinya sesaat.
ia harus sangat cepat, sebelum kekuatannya habis.
Ia muncul di atas awan itu, dan mendorongnya sesegera mungkin, sebelum awan itu kembali siap.
Ia mengerahkan kekuatan terbaiknya untuk itu.
Wushhhhh!!
Hanya butuh waktu beberapa detik. Seperti balon yang dikempiskan... awan itu tertelan sang pohon. Ia beringsut mengecil dan menghilang.
"Sekarang aku harus menguncinya, tapi dengan apa? Aku tidak sanggup menahannya lebih lama lagi, aku sudah melemah," pikir Anila gusar
"Al! Tolong bantu aku, lemparkan sesuatu kemari, semacam logam atau benda apa saja yang mampu menahan awan ini!" teriaknya.
Aldrich mendengarnya. Ia menyeringai sekitar. benda apa yang anila maksud? Di sana tidak ada apa-pun, jangankan benda.
Seandainya ada pun, ya, merekalah benda itu, pakaian atau apa yang mereka kenakan. Tetapi... itu tidak mungkin ia lakukan, sedang ia juga harus cepat, hujan semakin deras.
Setelah lelah mencari ke sekitar, Aldrich mengamati tubuhnya sendiri. Pandangannya terhenti pada sebuah lencana pada sakunya.
"Logam? Ah! Tapi ini tidak mungkin!!"
"Cepatlah, Al! Lemparkan apa saja!" Anila berteriak semakin parau. Tangannya masih menyatu menutup lubang, pohon itu juga tiada habisnya bergetar seakan diguncang gempa bumi.
"Tidak, tidak boleh ini, harus yang lainnya!" Aldrich berpikir keras.
"Benda apa, Na? Logam? Besi kecil atau besar?!" Aldrich sengaja mengulur waktu.
"Aku mohon, apa pun! Ayolah! Apa saja! Cepatt!"
Aldrich mengamati lencana itu lekat untuk terakhir kalinya, ia tidak dapat membiarkan Anila kesulitan lebih lama lagi.
Saat akan ia lempar, sebuah tulisan 'Prince Mereya' kembali bergulir, berganti dengan tulisan 'Permainan akan segera berakhir'.
sekejab lantas kembali normal.
Terlalu lama berpikir membuat Anila benar-benar kehilangan kekuatannya, awan itu telah memberontak dan melancarkan petir di menghancurkan pohon itu.
Jelaskan itu bukan tandingannya, petir besar menyambar.
Dar!!
Anila terpental jatuh ke tanah, pohon itu menjadi bulan bulanan sang petir, hancur berkeping-keping.
Jiwa Anila sebenarnya ingin menyerah, tetapi, otaknya menolak keras untuk itu.
"Anila!" Aldrich memekik keras, hendak berlari menghampirinya.
Sebelumnya sampai awan itu sudah mendahului langkahnya. Jika dapat di perumpamakan sebagai manusia, awan itu seperti sedang berkacak pinggang, dan menyeringai senang mendapatkannya tidak berdaya. Awan itu dengan segera mungkin kembali mengeluarkan petir yang teramat dahsyat melesat pada tubuh Anila.
Dirinya hanya mampu menatap nanar rombongan awan hitam di atas kepalanya. Satu kata yang ia ingat saat semburat kilat petir itu muncul hendak menyambarnya.
"Gata..." ujarnya lirih sembari menutup mata erat-erat. Ia berusaha berlindung di balik tangannya.
Aldrich berlari gesit. Ia tidak dapat mengerahkan kemampuan untuk menghentikan, jadi, ia berpikir akan membantu melindungi Anila saja dengan mengorbankan tubuhnya.
Aldrich meringkuk tepat di atas tubuh Anila. Ia sudah ikhlash, jika harus tiada dalam keadaan demikian rupa.
Namun, manusia selalu saja begitu. Berpikiran banyak hal seakan mereka penulis skenario takdir. Mereka tidak tahu apa-apa, bahkan kesempatan sekecil atom sekalipun, jika Tuhan tidak berkehendak demikian, maka, ya tidak akan terjadi.
Cahaya kuning memancar dari dalam sakunya, cahaya itu timbul dari lencana yang batal ia lemparkan.
Tap!
Jatuh sebuah buku bertuliskan 'Mereya' di hadapan Anila.
Aldrich merasa sedikit ganjil. Ia kembali berserah melihat sihir yang terjadi.
Benar! Keajaiban tercipta.
Bersamaan dengan jatuhnya buku itu ke tanah, waktu laksana dihentikan, tidak ada air hujan atau angin, bahkan daun jatuh dan rumput bergoyang.
Semuanya terjadi begitu cepat, sepersekian detik waktu berlalu.
Wuushh!!
Ketika Aldrich dan Anila membuka mata mereka.
Semuanya benar. Itu bukan mimpi. Badai itu telah berakhir! Terhisap kedalam buku diary itu. Menyisakan uap dan abu yang mengepul tipis di hadapannya.
"Buku diaryku..." Anila antusias mengambilnya dari tanah.
Aldrich ikut menatap ke bawah, berjongkok.
"Bukankah ini buku diarymu, Na?" Aldrich mengerutkan keningnya penuh tanya.
"Hmm..."
"Mustahil!" desah aldrich lirih.
"Kok bisa berada di sini, ya?"
"Aku merasakan ada cahaya sebelum buku ini hadir, apa kau tahu dari mana asalnya?"
Aldrich langsung mengalihkan bola matanya. Sekarang ia sedang mencari hal untuk dijadikan alasan, ia tampak sangat kebingungan untuk berbohong kali, sebab, ini berhadapan dengan wajah Anila langsung.
"Ee... aku tidak melihatnya! Aku rasa tidak ada!"
"Berbohong," desis Anila pelan.
"Hah?"
"Tidak ada?"
"Sungguh aku tidak tahu apa-apa."
"Jika tidak tahu biasa saja, tidak usah gugup begitu, haha."
Anila justru tahu lebih dulu bahwa ada sebenarnya pasti ada sesuatu. Karena beberapa kali peragai Aldrich tampak berbeda.
Sungguh pun ia dapat merasakan bahwa apa yang dikatakannya sekarang bukan sebuah fakta.
"Bodoh! Sejak kapan kau pandai menutupi suatu hal? Dan pikirkan! Yang kau jadikan percobaan pertamamu itu siapa? Bodoh!"
Aldrich salah tingkah, "Anila pasti dapat mersakannya..." makinya sendiri, di dalam hati. Ia harus segera mencari cara untuk mengalihkan perhatian Anila agar tidak membahas hal itu lebih panjang lagi.
Aldrich memutar badannya, menatap ke belakang. Anila sedang disibukkan berpikir, sembari mengecek perhalaman buku itu.
Benar saja itu memang bukunya, semuanya masih sama, berisi tulisannya.
"Na, lihat- danau! Apakah itu danau--"
"Ya! Danau terakhir!" sergah Anila.
Mereka bersegera bangkit, berjalan ke arah sebuah danau yang berjarak tidak jauh dari mereka.
Tanpa bercakap lagi, mereka telah sampai dan menghadap danau itu sekarang.
"Sungguh indah."
"Musim semi"
Ya! mereka dapat melihat secara jelas, bayangan air dalam danau itu mengambarkan banyak hal indah, bermacam sebvuah video yang diputar pada proyektor.
"Masuk!"
Mereka meloncat bersamaan.
Kali ini tanpa basah, bahkan malah kebalikannya, baju dan rambut mereka yang tadi kuyup seketika menjadi kering.
Mereka tiba, berdiri ajeg di sebuah tempat bermacam desa dengan pemandangan yang luar biasa memesona.
"Waw..." berkali-kali mereka ternganga, menyaksikan segalanya tanpa suara, bergeleng dan menengadah menikmati setiap jengkal keagungan musim semi yang baru pertama kali mereka lihat secara langsung. Bagaimana cara bunga-bunga bermekaran, dan cara daun tumbuh dari rantingnya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (72)

  • avatar
    NurallyAbi

    mantapppppppp bosquhhhh

    3d

      0
  • avatar
    RaihanMuhammad

    bagus

    12/06

      0
  • avatar
    AzfarNares

    bagussss sekali saya sukaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasaaaawwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaqaaaaaaaaaaqaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa sekaliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

    22/05

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด