logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bagian 6

Naya termenung seorang diri di depan ruang ICU. Meski sempat droup pasca operasi, namun sang ayah sudah di pindahkan ke ruangan itu sejak sore tadi, dan saat ini ia hanya tepaku di lorong rumah sakit yang sepi. Andini tidak bisa menginap karena sore tadi penyakit anemia mamanya kambuh sehingga memaksa ia untuk pulang.
Naya menatap lorong rumah sakit yang tampak sepi seiring dengan putaran jarum jam yang menanjak naik menuju tengah malam. Pikirannya kembali mengelana pada masa lalu, dimana ia masih punya keluarga lengkap dengan orang-orang yang menyayangi dirinya.
Andaikan sang bunda tidak kecelakaan waktu itu apakah hidupnya masih sesempurna dulu? Mungkin saat ini ia sudah menjadi seorang dokter seperti keinginan sang bunda, namun kejadian hari itu mangubah segalanya, tak hanya kehilangan sosok Bunda, tapi sejak saat itulah ia juga telah mengubur semua impiannya dalam-dalam, meski tak dapat dipungkiri ada kalanya ia masih mempelajari dunia kedokteran sebagai dalih untuk mencari kesibukan, nyatanya impian itu masih ada, tertanam dalam sanubarinya. Dan saat ini, melihat keadaan sang ayah, tak dapat dipungkiri bahwa semua keputusan yang diambil tiga tahun lalu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Harusnya aku masuk fakultas kedokteran seperti keinginan Bunda.
Namun semuanya hanya tinggal penyesalan yang menumpuk, karena pada kenyataannya semua sudah terlanjur terjadi.
“Sendirian?” Naya berjengit kaget begitu suara itu terdengar, dan ketika mendongak matanya langsung bertatapan dengan mata itu, manik hitam yang menenangkan.
“Boleh saya duduk?” Naya tidak menjawab, namun ia menggeser tubuhnya dan memberi ruang kepada dokter itu untuk duduk di sebelahnya.
“Everything will be fine. Believe it.” Naya tersenyum getir menanggapi perkataan itu. Semuanya akan baik-baik saja. Sebaris kata memuakkan yang menghancurkan hidupnya. Di balik kata teduh yang menenangkan itu, Naya tahu ada bara api yang bisa meledak kapan saja dan akan kembali meruntuhkan pertahanannya.
“Ada kalanya kita memang harus bersabar pada waktu, kita memang butuh untuk terluka dan kecewa supaya bisa lebih tegar menjalani hidup ini. anggap saja itu merupakan suatu langkah awal bagi kita untuk mendewasakan diri.” Dokter itu terdiam untuk beberapa saat, dan ketika dia yakin tidak ada tanggapan dari gadis yang duduk di sebelahnya ia kembali melanjutkan. “Selama saya mampu saya akan mengusahakan yang terbaik untuk pasien saya.”
“Bagaimana kalau usaha itu gagal? Dan saya kembali harus terluka?” tanpa bisa dicegah kata itu meluncur begitu saja, melengking di tengah koridor yang sepi. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba suaranya naik beberapa oktaf. Ia hanya benci mendengar dokter itu mengoceh panjang lebar, memberi kesan seakan ia tak pernah bisa dewasa menjalani kehidupan, seakan dirinya adalah mahluk paling menyedihkan di dunia ini.
Ia benci dianggap lemah. Seberapa besar luka yang ia terima sebisa mungkin ia masih bisa menjaga sikapnya, karena melihat tatapan penuh iba yang dilemparkan orang lain adalah hal yang paling dibenci dalam hidupnya. Cukup sekali ia teledor melampaui batas, menumpahkan tangis di hadapan orang asing yang baru ia temui, orang asing yang kini tampak menatapnya dengan senyum menenangkan meski beberapa saat lalu ia sempat membentaknya.
“Saya memang tidak pernah tau bagaimana berada di posisi kamu, tapi melihat kamu malam itu cukup membuat saya mengerti bahwa kamu telah melewati banyak hal dalam hidupmu,” Naya mendongak dan langsung bertatapan dengan senyum pria itu, ia kira dokter itu marah dengan sikapnya barusan. Dokter itu masih tersenyum lebar dengan tatapannya yang menenangkan membuat sebersit rasa bersalah mulai menyusup di hatinya.
“Dokter, saya....”
“Iqbal. Call me Iqbal, just Iqbal.” Naya mengangguk pelan. “Terima kasih... Iqbal.” Meski merasa canggung ia tetap mengucapkan nama itu, membuat senyum dokter itu semakin mengembang lebar.
“So, we are friend, shall we?” Naya tampak ingin menggeleng dan menolak tawaran itu sebelum pria ia kembali menyahut. “of course we are. I didn’t accept refusal.”
“Curang!” desis Naya yang hanya dibalas tawa pelan oleh pria itu, namun perlahan tawa itu menular kepadanya membuat seberkas senyum tipis terbit di bibirnya. Dan malam itu Naya tahu, bahwa ada seseorang yang peduli terhadap dirinya selain Andini dan tante Dewi.
@@@
Naya baru saja datang dari kantin rumah sakit ketika melihat seseorang tak asing yang berjalan tak jauh di depannya menarik perhatiaanya.
“Dokter Iqbal!” Naya menutup mulutnya begitu meyadari apa yang ia lakukan, suaranya melengking di lorong rumah sakit membuat beberapa orang yang lewat menatap aneh ke arahnya, namun tak ayal ia tetap berlari kecil ke arah dokter tampan yang juga menatapnya dengan senyum khasnya.
“Maaf tadi saya refleks saja,” ujarnya begitu berhasil berdiri di samping pria itu.
“Tidak apa-apa, but just call me Iqbal. Saya rasa tidak terlalu tua untuk kamu panggil begitu.” Naya tersenyum kikuk, ini kali kedua dokter itu meminta hal yang sama.
“Iya, Iqbal.” Meski masih sedikit canggung kata itu tetap keluar dari bibirnya. “Mau ke ruangan Ayah kamu?” suara Iqbal kembali menginterupsi suasana canggung yang sempat tercipta. Ia hanya mengangguk sebagai jawaban. “Kalau begitu ayo, saya sekalian mau mengecek keadaan Ayah kamu.”
Sepanjang perjalanan yang tersisa hanya diisi kecanggungan oleh keduanya. Meski beberapa kali Iqbal mencoba mengajak dirinya berbicara tapi ia hanya membalas sekenanya, menghindari perkataan yang mengharuskan ia menyebut nama dokter itu. Tidak ada yang aneh sebenarnya, dokter itu hanya meminta ia memanggil dengan nama kecilnya namun entah mengapa hal itu lebih sulit bagi Naya dari pada harus mengerjakan tugas mata kuliah Prose yang paling dibencinya.
Mengingat mata kuliah itu mendadak ia teringat pada kewajibannya di kampus. Sebagai mahasiswa tingkat akhir seharusnya ia sudah berkutat dengan skripsi dan menjadi penunggu kampus untuk menemui dosen pembimbing, namun ia malah terdampar di sini, bersiap menghadapi segala kenyataan yang akan kembali mengubah kehidupannya.
Memikirkan hal itu tanpa sadar membuat sebuah desahan pelan meluncur dari bibirnya, membuat Iqbal yang masih berdiri di sampingnya menoleh dengan dahi berkerut. “are you ok?” Naya mendongak dengan raut wajah bingung, namun detik setelahnya ia menyadari bahwa ia telah melakukan sesuatu yang menyebabkan orang disebalahnya kini menatap dirinya dengan raut khawatir.
“Yeah, I’am still being here, and gonna be fine as long as my Father still breathe and stay beside me.” Pria itu mendesah pelan mendengar jawabannya, entah apa yang salah.
“You can’t be like that Naya, you must be happy althought there is something happen for your father. Kamu tidak bisa menggantung hidup kamu seperti itu, akan ada hal baru yang perlu kamu hadapi dan mengharuskan kamu berdiri tegak dengan kedua kakimu sendiri.”
Obrolan mereka terhenti ketika dari sudut matanya Naya dapat melihat Andini sudah berdiri di depan kamar sang ayah.
“Saya masuk dulu,” Naya hanya mengangguk dan memilih berdiri di samping Andini membiarkan dokter itu menghilang di balik pintu.
“Sejak kapan kalian sedekat itu?” Naya mendongak mendapat pertanyaan itu, dahinya sedikit berkerut mencerna pertanyaan sahabatnya. “I mean you and him.” Lanjutnya sambil menunjuk pintu di depannya dengan dagu.
“We met in lobby after I breakfast. Dan karena tujuan kita sama akhirnya bareng.” Andini mengangguk dengan tak yakin. “but I’am not sure, I belive there was something that had happened between you.” Naya sedikit gelagapan mendengar tuduhan yang dilontarkan Andini.
“Kita teman, itu aja.” Andini mengedikkan bahu pelan. “Of course you are, make a friend.” balas Andini dengan senyum misterius yang membuat Naya melotot.
“Jangan mulai Andini!” ketus Naya tajam yang dibalas tawa renyah dari Andini.
“Just kidding Naya, why you so serious?” Naya hanya diam tak mau kembali menanggapi perkataan Andini yang sudah membuat dirinya emosi sepagian ini.
@@@
Sejauh ini semuanya masih baik-baik saja, kondisi ayahnya masih stabil meski tidak terlalu menunjukkan perkembangan yang berarti. ayahnya masih tetap bertahan dalam lelapnya meski sudah memasuki hari kelima pasca operasi itu. Iqbal yang menangani hal itu hanya berkata untuk senantiasa bersabar menunggu sebuah keajaiban.
Naya bisa sedikit tenang dengan harapan bahwa kondisi sang Ayah akan segera pulih setelah semua ini, ia semakin percaya bahwa harapan itu masih ada. Hidupnya mulai kembali normal, menjalani rangkaian aktifitas kampus dan terkadang harus gantian jaga antara dirinya, Andini, dan juga tante Dewi. Serta jangan lupkan sosok Iqbal yang terkadang menemaninya ngobrol sepanjang malam jika laki-laki itu sedang kebagian shif malam, membuat Andini semakin gencar menggodanya di setiap kesempatan.
Namun rupanya semua orang terlalu cepat membuat kesimpulan karena tepat hari ketujuh pasca operasi itu, ketenangan yang tadinya sempat tercipta kembali tergoncang ketika siang itu Naya mendapat telpon dari Andini bahwa sang ayah tiba-tiba kritis.
Tanpa memedulikan sosok dosen pembimbing yang masih mengoceh panjang lebar dan memberikan oretan sana-sini di atas kertas laporan yang susah payah ia buat terlupakan seketika, ia bergegas pamit dengan gumaman tak jelas dan langsung melesat pergi tanpa memedulikan sang dosen yang masih menatapnya dengan dahi berkerut.
Setelah melewati berbagai hal selama perjalanan di sinilah akhirnya ia berakhir, di depan kamar rawat inap sang ayah sambil meremas tangannya pelan menunggu Iqbal yang masih berada di dalam ruangan bersama beberapa suster.
“Gue nggak tau apa-apa ketika bergantian jaga sama nyokap, tiba-tiba alat itu kembali berbunyi dengan menampilkan.... entahlah gue nggak ngerti apa yang terjadi, yang gue inget cuma menekan tombol di sebelah ranjang.”
Naya masih diam tak bergeming mendengar ocehan Andini, pikirannya kalut, untuk saat ini tidak ada yang bisa menenangkan dirinya selain kabar yang akan dibawa Iqbal setelah ini.
Dan tanpa diminta permikiran itu kembali muncul dibenaknya, sebuah pemikiran yang sudah nyaris terlupa selama beberapa hari ini. perlahan namun pasti harapan yang selama beberapa hari ini ia coba bangun pelan-pelan mulai runtuh. Bayangan sang bunda yang pucat pasi di tempat yang sama dua belas tahun yang lalu kembali menyeruak di benaknya, apakah sang ayah juga akan menjadi seperti itu? Pergi tanpa pamit bahkan meski sebuah kata selama tinggal?
Ia menggeleng pelan mencoba mengusir semua pemikiran buruk itu meski tak bisa dipungkiri kini tubuhnya kembali bergetar hebat.
Ia mendongak ketika seseorang meremas tangannya yang bergetar dan detik selanjutnya ia sudah berhadapan dengan wajah Andini yang menatapnya dengan wajah khawatir yang tak bisa disembunyikan. “Ayah pasti baik-baik saja.” Meski tak yakin namun ia mengaminkan kata itu dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya baik-baik saja.
Baru saja di mulai kembali tenggelam dalam pemikirannya ketika pintu di depannya perlahan terbuka menampilkan raut wajah lelah Iqbal yang sangat kentara. Naya dan Andini spontan berdiri mendekat. “Bagaimana kondisinya?”
Iqbal tak segera menjawab, namun tatapannya yang mengisyaratkan ia untuk bersabar cukup membuat bahu Naya merosot seketika. Badai yang sesungguhnya akan segera datang. “Ayah kamu mengalami mati otak, perlahan-lahan semua organ di dalam tubuhnya akan berhenti bekerja dan ia juga akan berhenti bernapas.”
Kalimat itu bagai sebuah beton yang menimpa ulu hatinya. Sungguh ia tak pernah memperkirakan semua ini, perlahan pertahanan yang coba ia bangun selama ini hancur seketika. Air matanya luruh bersama sesak yang sudah ia simpan selama ini.
“Ayah...”
Hanya kata itu yang terdengar, meski ada beberapa makian yang jelas ingin ia lontarkan namun semua itu hilang bersama sakit yang ia rasa, tertelan diantara isak tangisnya yang tertahan. Ia ingin marah entah kepada siapa, dirinya tak pernah memimpikan akhir yang seperti ini. ia masih berharap keajaban itu kembali. Setidaknya meski sang ayah harus pergi ia masih bisa mendengar suaranya untuk yang terakhir kalinya.
“Dokter, kondisi vital pasien semakin melemah.” seorang suster melongokkan kepalanya dari arah pintu membuat ketiganya menoleh seketika.
“Kita harus cepat,” bisik Iqbal lirih entah kepada siapa, namun detik selanjutnya ia telah menarik Naya masuk ke dalam diikuti Andini di belakangnya.
Begitu memasuki ruangan hal pertama yang dilihat Naya adalah tubuh ringkih sang Ayah yang dililit berbagai alat medis yang tidak ia mengerti, namun detik selanjutnya katika ia bertatapan denga wajah pucat sang ayah tangisnya kembali pecah. Dulu di tempat yang sama bunda juga meninggalkan dirinya dengan cara seperti ini, tanpa pemberitahuan atau setidaknya sedikit kata perpisahan.
“Ayah...” ia berlari berhamburan memeluk tubuh kaku yang kini terasa dingin itu, pelukannya terasa hambar, tangan kuat yang dulu selalu mendekatnya tiap kali ia menangis kini hanya terdiam tanpa ada pergerakan untuk membalas pelukannya. tak ada lagi kata manis menenangkan ketika ia menangis, ia merindukan semuanya, merindukan dekap hangat sang Ayah ketika ia kedinginan, atau usapan lembut di kepalanya setiap kali ia susah untuk tidur.
Tahun-tahun pertamanya tanpa Bunda, sang Ayah selalu berusaha menenangkan dirinya tiap malam ketika ketakutan itu hadir, memberi ia kehangatan lewat dekap hangatnya yang menenangkan, namun hari ini siapa yang bisa menenangkan dirinya? Mencoba menghapus air matanya? Atau mungkin merayunya untuk berhenti menangis dengan kata-kata manis yang dia lontarkan.
Naya sayang Ayah....
Kata itu hanya mampu disuarakan oleh hatinya, ia belum sempat mengatakan hal ini selama sepuluh terakhir ini, sejak sang Ayah dinyatakan menderita gangguan kejiawaan dua tahun setelah kepergian sang Bunda, ia hanya mampu menunggu, menanti saat Ayahnya kembali dan ia akan meneriakkan kata itu sambil menjemput dekap hangat tubuhnya. Namun semua itu hanya mimpi, kini penantian itu telah selesai, berakhir dengan cara yang tak pernah ia inginkan.
“Iqbal, beri aku waktu sepuluh menit, atau mungkin satu menit. Kamu dokter kan? Kamu pasti bisa. Biarkan aku bicara sama Ayah, biarkan aku bisa menatap dia dalam keadaan sadar. Bantu aku Iqbal, tolong.”
Andini maju dan segera mendekap tubuh Naya yang sudah berlutut di depan dokter itu, ia menggeleng pelan dan mendekap tubuh Naya dengan erat. Iqbal ikut berjongkok di depan Naya yang masih terus terisak “Nay...”
“Kamu pasti bisa Bal, kamu sendiri yang bilang akan membuat Ayah saya sadar.” Teriaknya kalap bahkan tak memedulikan Andini yang semakin memeluknya erat dengan isakan yang semakin menyayat.
“Maafkan saya.” Hanya itu yang terdengar ketika Iqbal kembali berdiri seiring dengan alat itu yang berbunyi panjang sebagai bukti bahwa semua itu benar-benar sudah berakhir.
“Waktu kematian 13:20, pasien Wahab Abdullah, meninggal dunia.” suara Iqbal tergetar ketika kalimat itu terlontar.
Cukup dengan kata itu sudah menjadi bukti bahwa semuanya sudah hilang.
“Bohong!!!” teriaknya kalap, ia semakin terisak dan terus berontak berusaha melepaskan diri dari dari dekapan Andini. “Ayah pasti kembali, dia nggak mungkin ninggalin Naya, dia nggak mungkin...” suaranya semakin lemah seiring dengan isakannya yang semakin terdengar.
“Ya ampun Naya...” suara tante Dewi yang masih berdiri di ambang pintu terdengar dan detik selanjutnya ia juga telah berlari berhamburan memeluk Naya bergabung dengan Andini berusaha menenangkan gadis itu.
“Tante, Ayah nggak akan pergi kan?” wanita paruh baya itu semakin mendekap erat tubuh bergetar Naya yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri itu. “Sabar Nduk... ikhlaskan Ayah kamu, ia sudah tenang di alam sana.”
Naya kembali menggeleng dengan kuat. “Naya masih kangen Ayah, Naya pengen bilang kalau Naya sayang Ayah.”
“Ayah kamu tau kok kalau Naya sangat menyayangi Ayahnya,” Naya kembali menggeleng. “Naya nggak pernah merawat Ayah, Naya hanya menitipkan Ayah di rumah sakit, pasti Ayah marah karena Naya nggak mau jagain Ayah makanya ia ninggalin Naya, Naya salah tante, pasti Ayah nggak bisa maafin Naya.”
“Naya anak baik, buktinya selama ini Naya yang bekerja keras buat biaya perawatan Ayah.”
“Nggak!!! Pokonya Naya mau Ayah, Naya kangen Ayah....”
Iqbal menyuruh suster yang ada di ruangan untuk keluar dan memberi privasi kepada mereka, namun dirinya masih berdiri di tampat itu, sama sekali tak bergeser dari tempatnya. Tatapannya tajam dangan tangan terkepal, ia gagal menjaga gadis itu, ia tak bisa menepati janjinya sendiri untuk bisa membuat gadis itu tidak menangis. Hatinya teriris tajam mendengar jeritan pilu dari gadis yang entah sejak kapan mulai sedikit menghuni hatinya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (74)

  • avatar
    muhammaddian

    aku mau diamond epep

    21/06

      0
  • avatar
    widyareny

    sangat menarik

    05/06

      0
  • avatar

    hebat

    04/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด