logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Perempuan di Pasar Sore

Seperti yang kuniatkan tadi, bahwa usai bertugas aku akan langsung belanja.
Mengingat bahwa kini aku tidak tinggal sendirian lagi, harus ada kebutuhan yang perlu disiapkan. Terutama kebutuhan makan.
Jujur, untuk seorang laki-laki aku tidak pandai dalam hal memasak. Tidak pandai bukan berarti tidak bisa kan?
Untuk urusan makanku sendiri, aku lebih banyak makan di kantor. Jika makan di rumah, aku memilih membeli, dan memasak adalah pilihan terakhir.
Dan yang kumasak hanya mie instan, goreng telur dan yang paling berat adalah nasi goreng.
Saat kini rumahku bertambah satu penghuni, maka aku tetap menjadikan memasak pilihan terakhir. Hanya tambah satu orang, membeli makanan tidak akan membuat tabunganku habis.
Aku belanja kebutuhan makan yang bisa kumasak tentunya, seperti telur, mie instan yang utama, dan bumbu-bumbu lain, dan juga sayuran sepertinya perlu untuk tambahan saat membuat mie.
Jika kalian mengira aku berada di swalayan atau mall seperti di film-film, maka perkiraan kalian itu salah.
Di Trenggalek tidak ada mall. Ada swalayan tapi tidak menjual sayuran dan kebutuhan dapur yang lain. Paling mentok hanya ada yang serba instan.
Ingin barang yang lengkap, harus ke pasar. Murah, bisa ditawar juga. Hanya saja pasar di sini tidak sebersih pasar di Jakarta, yang memang disediakan khusus pemerintah.
Bukan aku mengatakan jika pasar disini tidak bersih, pahami lagi perkataanku yang diatas.
Laki-laki kok ke pasar? Aku kan tipe calon suami idaman.
"Mas e yang biasanya nilang di depan pom bensin itu kan ya?"
Perkataan ibu di depanku yang sedang memasukkan jajanan yang kubeli kedalam kantong plastik, membuatku menyunggingkan senyum.
"Loh hooh kan ya, aku hafal sekali wajahmu lho, lha wong paling muda sendiri paling bagus sendiri...."
Ibu penjual kue saja tau siapa diriku. Padahal aku tidak terlihat seperti polisi sekarang, seragam yang kukenakan kulapisi dengan jaket. Ini sengaja, karena aku tidak mau menjadi bahan tontonan jika aku menunjukkan terang-terangan profesiku.
Disisi lain, aku juga tidak berniat pamer kesana-kemari ,menunjukkan 'ini lho aku, polisi'.
Aku tidak ingin disegani diluar jam bertugas. Ingin menyamakan diri dan ingin disamakan juga dengan yang lain.
Usai berbincang dengan ibu penjual kue, aku memutuskan untuk pulang karena barang yang kubutuhkan sudah semuanya terbeli.
Keluar dari Pasar Sore, yang bukanya hanya pukul dua sore hingga menjelang Maghrib, rintikan gerimis kurasakan mendarat di rambutku.
Pantas saja, tadi geledek terdengar bergemuruh saat aku berada di dalam.
Berjalan dengan setengah berlari menuju area parkir yang letaknya lumayan jauh dari pasar, aku ingat jika jas hujan yang biasanya kuletakkan di jok motor, sudah kukeluarkan.
Hujan turun sangat deras bahkan sebelum aku sampai di tempat parkir. Terpaksa aku berhenti, memilih berteduh di depan toko kelontong yang sedang buka.
Sedikit terkejut ketika dengan tiba-tiba seorang ibu yang mungkin berusia tujuh puluhan, muncul dari balik etalase toko.
"Kulo nunut ngiyup teng mriki nggih Bu..."(saya numpang berteduh disini ya Bu....)
Izinku dengan menggunakan bahasa krama. Bahasa Jawa halus yang memang seharusnya digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua.
"Oalah, inggih mas...Monggo Monggo..." (Oalah, iya mas, silahkan silahkan ...)
Langit sangat gelap, geledek terus bergemuruh tapi untungnya tidak ada petir.
Aku duduk di kursi panjang tanpa senderan. Memilih area teraman yang tidak terkena hempasan air hujan akibat tiupan angin.
"Sepertinya hujannya bakal lama mas"
"Semoga saja tidak Bu..nanti rumah saya bisa kebanjiran kalo lama Bu..."
Ibu itu tergelak. Aku ikut tertawa, mataku mengekori langkah ibu yang kini berjalan keluar.
"Saya mau tutup toko aja deh mas, takut kebanjiran juga...hahaha,"
Tawaku kembali meledak, tapi masih kalah keras dengan suara rintikan air hujan.
Ibu itu pulang setelah kubantu menutup tokonya. Aku tergerak begitu saja kala melihat Ibu Wasinah -begitu nama yang dia sebutkan kepadaku tadi-, dengan susah payah menarik pintu toko yang terbuat dari besi. Sangat berat untuk seorang wanita seusianya.
"Saya harus pulang sekarang mas, suami saya nungguin di rumah " ujarnya kepadaku tadi sebelum dia pergi meninggalkan toko sembari menuntun sepeda ontelnya yang baru dia naiki setelah sampai ke jalan raya.
Hatiku mencelos melihat dia, wanita di penghujung usia, yang seharusnya sudah istirahat di rumah menikmati masa tuanya, tapi kini masih harus mencari nafkah.
Pemandangan seperti itu memang bukan hal yang baru lagi disini. Di kota yang masih tidak bisa menjamin kesejahteraan masyarakatnya.
Beruntung Bu Wasinah pulang dengan memakai jas hujan untuk menerjang hujan, aku tidak perlu khawatir berlebihan.
Mataku masih mengikuti kepergiannya, bahkan kini ibu tua dan sepedanya itu tidak lagi tampak, menghilang di belokan jalan.
Pandanganku teralihkan kala sosok perempuan tiba-tiba datang. Hanya satu detik mataku bertatapan dengan matanya, perempuan itu membalikkan badan, berdiri membelakangiku.
Gemas sekali berada diposisi ini, aku menggeser kursi, merubahnya menyerong. Setidaknya diposisi ini, aku sedikit bisa melihat bagian samping tubuhnya, tidak hanya punggung yang sudah dua kali ini kulihat.
Hatiku menghangat.
Batinku tentang 'jodohku sedang mendekat' sepertinya mulai menjadi realita.
"Yah basah...."
Perempuan dengan nama penggalan 'La' itu bersuara. Jemarinya berkali-kali mengusap bagian basah baju gamis yang dikenakannya.
Akibat mataku yang terus menatapnya, aku tidak menyadari bahwa baru saja ada seorang pengendara motor yang lewat di depan, yang mungkin tidak sengaja melewati genangan air hingga menyebabkan cipratan yang dengan tepat mengenai bajunya.
"Bisa geser sedikit Pak?"
Aku tergugu, perempuan manis ini sudah ada di sebelahku. Dengan segera aku menggeser pantatku, dengan senang hati berbagi kursi. Keberadaanku disadari.
Aku mengubah arah duduk, sedikit menyerong, agar bisa dengan leluasa memandangi wajahnya. Aku memang lancang.
Setidaknya kegiatanku ini tidak terlalu membuat dia terganggu, beda lagi jika aku tetap pada posisiku tadi, pasti akan kentara sekali karena aku harus benar-benar menolehkan kepala hanya untuk melihatnya.
Perempuan ini masih telihat sama seperti yang terakhirku lihat,masih cantik walaupun di pipi mulusnya ternoda air cipratan tadi.
Tangannya terulur melepas kacamata, mengelap lensa yang kotor, dengan ujung hijab kremnya yang kering.
Wajah polos tanpa kacamatanya, membuatku terpaku.
Bulu matanya yang ternyata panjang dan lentik, iris mata yang baru kusadari berwarna bukan hitam pekat, melainkan ada sedikit warna coklat terang walaupun tidak mendominasi.
Hidung yang sedikit mancung jika dilihat dari posisi seperti ini, bibir mungil nan tipis yang tidak pernah absen dari polesan gincu warna coral.
Masya Allah....
"Bapak kenal sama saya?"
Aku tertangkap basah mengamatinya diam-diam. Mataku kembali bertatapan dengan matanya yang kembali berkacamata.
Aku tersenyum, kembali melakukan hal bodoh yang lagi-lagi mendapat respon yang hanya bisa kuharapkan.
"Bapak orang yang sama pas kemarin beli bubur ayam kan?"
Dia menyadari bahwa yang disampingnya ini adalah orang yang sama diwaktu itu. Itu artinya, keberadaanku sudah tidak asing lagi baginya.
Aku tidak berniat menarik bibirku untuk tersenyum lagi, yang hanya akan membuatku canggung untuk yang kesekian kali.
Tapi seolah tanpa izin pada pemiliknya, bibirku dengan lancang kembali melengkung.
Mungkin sebutan 'bapak' yang ditujukan kepadaku, membuat senyum itu muncul tanpa kuniatkan.
Aku memang berusia kepala tiga, tapi sebutan 'bapak' membuatku tidak terima apalagi yang menyebut orang yang usianya mungkin tidak jauh dariku.
Bahkan, anak SMP yang jauh dibawahku saja enggan menyebutku 'bapak' atau 'om' -yang sepantasnya mereka sebut sesuai usiaku-, dan memilih untuk menyebutku 'mas'.
"Bapak bisu?" katanya lagi yang kali ini diiringi dengan gerakan tangan, menunjukkan gestur seperti yang biasa orang tuna wicara lakukan.
"Enggak,"
"Bapak kenal saya? Atau mungkin kita saling kenal, tapi saya lupa?"
"Enggak dan kita harus segera kenalan."
Jawaban yang tidak bisa kulontarkan dengan suara, yang hanya bisa kuucapkan dari hati ke hati, tapi tidak sampai ke hatinya.
"Saya enggak kenal kamu,"
Bibir perempuan ini bergerak mengucap kata 'oooo' dengan suara lirih yang hampir tidak kudengar.
Perempuan ini memutuskan kontak mata denganku. Memilih memaku tatapannya pada derasnya air hujan yang masih enggan reda.
Jungkir balik denganku, yang nyatanya mataku enggan berpaling dari sosok yang baru pertama kali bertemu saja sudah berhasil membuat hatiku berdesir.
Mataku turun mengamati dagunya yang membuatku gemas ingin menjawil, atau bahkan menggigit.
Tidak sengaja turun dan malah terfokus pada warna putih kulit leher yang sedikit terlihat dari celah hijabnya yang tersibak angin.
Mataku turun lagi ke area yang seharusnya tidak pantas kulihat ini. Bagaimana dua bagian yang sama sekali tidak menggunung itu bisa tercetak dari gamis yang dikenakannya, menampakkan samar-samar bra hitam yang menyembunyikan aset -yang jelas haram kulihat ini-, tapi masih saja tetap kulihat.
Laki-laki memang seperti ini, kalo lihat yang enak-enak pasti melek.
Entah terbuat dari bahan apa gamis warna krem yang nyatanya berubah terlihat tipis jika basah itu.
Sebelum setan menguasai fikiranku lebih jauh lagi, aku memutuskan untuk membuang muka.
Tapi jika aku hanya diam, sementara perempuan ini sama sekali tidak menyadari jika auratnya terlihat,-yang jika itu terjadi hingga dia pulang dan melewati orang-orang, pasti akan menjadi tontonan gratis-, aku sangat merasa berdosa.
Ingin aku memberitahunya, tapi bagaimana aku mengatakannya dengan sopan agar dia tidak malu begitu mengetahui bahwa yang selama ini berusaha dia tutupi malah terlihat olehku.
Tidak menginginkan kemungkinan terburuk, aku melepas jaket yang kukenakan -karena hanya ide itu yang terlintas dan yang bisa kulakukan-, mengulurkan kepadanya.
"Ada apa Pak?"
Aku bisa melihat keterkejutannya saat matanya itu menilik tubuhku yang terbalut seragam.
Dengan terpaksa karena kewajiban melindungi harga diri wanita dari mata pria yang jelalatan, lebih baik aku saja yang mendapat tatapan orang-orang.
"Pakai saja, udaranya dingin."
"Enggak usah Pak, enggak dingin banget kok,"
Bagaimana lagi aku harus merayunya. Apa langsung kukatakan dengan jelas saja biar dia mau memakai jaket yang kuulurkan.
'Mbak, kutangmu kelihatan....' Bisa digampar sendal aku jika beneran begitu.
"Pakai saja, saya akan sangat merasa bersalah jika malah saya yang pakai."
Aku meletakkan jaketku kepangkuannya. Memutuskan untuk segera pulang saja, jika tidak mau melihat dia menolak.
Dengan menenteng kresek belanjaanku, aku menerjang hujan, tidak peduli dengan tatapan orang orang yang mulai bergumam 'ada polisi hujan-hujanan'.
Biarpun air hujan yang dingin menusuk kulit, yang penting hatiku menghangat karena sepertinya jodohku memang sedang mendekat.
Melihat dari caranya membuka obrolan denganku, perempuan itu bukan perempuan bertipe cuek -seperti kisah cinta yang banyak ditulis di novel dengan genre 'teenlite'-, membuatku yakin bahwa dia akan sedikit mudah untuk kuperjuangkan menjadi calon istri idaman Umi.
Kita masih punya alasan untuk bertemu kan, selain karena takdir bahwa kita jodoh, jaketku pasti akan menjadi alasan pertemuan kita yang selanjutnya.
1000% yakin.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (481)

  • avatar
    AnisaAzka

    wihhhh hebat banget masyaallah

    23d

      0
  • avatar
    ElllPerdiii wel

    sangat lucu

    27/07

      0
  • avatar
    ImandaViola

    Bagus banget novela dan bacaan nya seru banget sumpah bakalan sering sering baca dong

    22/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด