logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 Emak Ingin Menantu

Sajadah yang biasanya kusampirkan di bahu, kini mendadak menjadi kain penghalau rasa dingin yang kubalutkan dipunggung. Jika tau udara subuh akan sedingin ini, maka aku tadi akan melapisi baju koko yang kukenakan dengan jaket.
Aku berjalan menyusuri jalan pulang, sekembalinya dari masjid tak jauh dari rumah, sendirian tentunya.
Karena beberapa tetangga sudah lebih dulu kembali, mungkin kini mereka sudah kembali bergumul dengan selimut dan juga (istrinya). Untuk kata terakhir, akan disetel otomatis, bisa dibaca untuk yang berpasangan, dan otomatis menghilang jika yang baca adalah jomblo.
Keningku mengerut, kala mendapati sebuah mobil SUV hitam terparkir di halaman rumah. Kakiku terus melangkah sementara fikiranku mengira-ngira.
Bukankah terlalu pagi untuk bertamu. Bahkan matahari saja belum waktunya menggeliat bangun.
Mendapati sebaris plat yang sangat kuhafal, tidak perlu menebak-nebak lagi siapa tamu tak diundang di subuh buta ini.
Melihat seorang wanita bergamis bunga-bunga warna toska yang duduk dikursi teras, membenarkan bahwa sebaris plat nomor mobil SUV itu adalah milik Umi.
"Udah lama Mi?" Aku mencium tangan Umi, yang kemudian Umi mencium keningku, kebiasaan sedari kecil yang tetap Umi lakukan, walaupun kini usiaku sudah menginjak angka tiga puluh.
Aku langsung membuka pintu rumah yang kukunci, langsung menyilahkan Umi masuk.
Diluar sangat dingin, tidak peduli jika Umi baru saja datang, atau malah telah lama menunggu di luar, yang tentunya rasa dingin sudah menjalar ke tubuhnya.
"Umi mampir gak kasih tau kamu dulu Le..." Umi baru bersuara kala menghenyakkan tubuhnya ke sofa ruang tamu.
"Kok subuh-subuh banget Mi," Aku melepas kopyah hitam, meletakkannya di meja kecil di samping sofa tunggal yang kududuki.
Wanita yang kusebut Umi itu tersenyum, membuat garis kerutan di pipinya terlihat.
"Umi mau ke Ponorogo" katanya dengan mata berbinar.
Ingin menanyakan lebih lanjut, tentang alasannya pergi ke kota tetangga, bibirku yang akan mengeluarkan suara mengatup kembali saat dengan cepat Umi berkata lagi, "Ke acara nikahan. Kamu ingatkan Azhar, yang dulu pas masih kecil sering kamu gendong, walaupun badan kamu gak jauh kecil dari dia? Nanti siang akadnya."
Kali ini berderet-deret kalimat itu terlontar dengan nada sedikit menggebu, binar mata Umi sedikit lebih mentereng dari yang tadi.
Aku tentu saja mengingat siapa itu Azhar, anak teman Umi, yang usianya tiga tahun dibawahku.
Umi seharusnya tidak akan memaksaku untuk ikut ke acara nikahan itu. Yang jelas ujungnya jika aku berada disana, akan ditodong pertanyaan 'kapan nikah'.
Merasakan jika pembicaraan ini akan menuju hal berbau sesuatu yang tentunya akan membuat hatiku sedikit mencelos, aku memutuskan melontarkan pertanyaan lain. "Abi gak ikut Mi? Kok tumben, biasanya dia yang paling semangat kalo ke luar kota,"
Berdasarkan penelusuran mataku, yang tidak melihat Umi diiringi Abi, menjadi pilihan dari pertanyaan yang kulontarkan.
Bukan berarti tidak ada Abi, lalu Umi kesini menyetir mobil besar itu sendiri. Keluarga kami memiliki sopir pribadi, memberi pekerjaan tambahan untuk seorang pria paruh baya yang pernah membantu Abi dulu.
Pak Amri, panggilan kami ke dia, sudah sepuluh tahun bekerja di keluarga kami. Keadaan ekonomi yang dirundungnya, menjadi alasan lain Abi memperkerjakan dia selain karena sebuah balas budi.
Walaupun sebenarnya keluarga kami tidak sering membutuhkan jasanya, kecuali jika bepergian ke luar kota yang nyatanya tidak sering kami lakukan.
Tidak melihat penampakan Pak Amri, memunculkan dugaanku jika pria itu mungkin sedang tidur di dalam mobil.
"Abi udah berangkat dari kemarin malah, ini nanti Umi sekalian jemput Ina,"
Aku manggut-manggut. Ina adalah kakak perempuanku. Nama aslinya sih Zaenab, tapi karena dia tidak terima dinamai itu, membuat kami sekeluarga harus memanggil dengan julukan lain yang diambil dari huruf tengah namanya, jika tidak mau melihatnya terus merengut marah.
Mbak Ina, begitu panggilanku kepadanya, perempuan yang lebih tua lima tahun dariku, memiliki dua anak yang kini tinggal bersama suaminya -di daerah yang masih masuk ke dalam wilayah Trenggalek- tidak terlalu jauh dari rumah yang baru dua tahun kutinggali ini.
"Kamu udah lihat foto yang Umi kirim kemarin kan, Le,"
Satu detakan jantung terasa lebih keras, daripada detakan jantung sebelum dan sesudahnya, membuatku kembali melayangkan ingatan kebeberapa foto yang dengan getol dikirimkan Umi beberapa hari terakhir, yang waktu itu selalu kubalas dengan satu kata pendek 'iya'.
Sepertinya, Umi mulai terhasut dengan omongan ibu-ibu di desa, yang beragumen jika laki-laki mapan, tampan tapi masih lajang, memiliki selera suka sesama jenis.
"Udah Mi," Jawab pendek saja dulu, menunggu respon Umi selanjutnya.
"Gimana? Cantikkan? Cocokkan sama selera kamu?" Nada bicara Umi kali ini, tambah sumringah berkali-kali lipat.
Aku tau jika Umi mengharapkan aku membalas sesuai dengan apa yang dia inginkan. Tapi aku tidak mau membohongi hatiku sendiri.
"Belum klop Umi..."
Aku tidak mengatakan jika foto perempuan yang Umi kirim tidak cantik, lebih tepatnya sih, tidak tau karena bagaimana bisa aku menilai cantik tidaknya sosok itu, sementara wajahnya ditutupi cadar yang hanya menampakkan dua matanya.
Umi juga aneh, melontarkan pertanyaan dengan selipan kata 'cantik' yang malah membuatku absurd sendiri.
"Udah pasti sholehah itu Le, umurnya juga pas, pintar jangan ditanyakan lagi, nyatanya semua ayat Alquran dia hafal,"
Aku mengehela nafas kasar, menyugar rambutku, membuka dua kancing atas baju yang kukenakan. Kenapa udara mendadak jadi panas ya?
"Umi mau dibuatin teh?" Mengalihkan pembicaraan mungkin pilihan yang tepat.
Saat tubuhku nyaris berdiri, Umi sudah melontarkan kalimat lagi, "Bagian mana yang kurang dari dia?"
Ada, banyak. Dan aku hanya bisa menjawab dalam hati.
Laki-laki mana yang tidak ingin memperistri perempuan cantik, sholehah dan penghafal Al-Qur'an.
Sepuluh dari sembilan laki-laki yang merasa dirinya pantas, akan menjawab 'ingin'.
Dan aku memilih untuk menjadi satu laki-laki yang menjawab 'tidak ingin'.
Terlepas dari kenyataan aku pantas atau tidak, permasalahanku bukan disitu.
Aku tidak mematokkan calon istriku harus penghafal Al-Qur'an. Sholehah sesuai standarku saja, tidak berlebihan seperti perempuan bercadar. Aku tidak bermaksud menyinggung perempuan itu lho ya, kembali lagi dengan permasalahan tipe calon istriku kelak.
Masalah cadar dan yang lain, itu hak mereka. Terserah mereka ingin bagaimana menunjukkan keimanan dimata Sang Kuasa. Toh, tujuannya sama, ingin meraih ridho-Nya.
"Le, umurmu tiga puluh tahun lho...sepupumu yang umurnya dibawahmu sudah banyak yang menikah. Kamu nungguin apa? Perempuan seperti apa yang kamu cari? Jika perempuan yang kemarin belum sesuai pilihanmu, Umi bantu cari yang lain lagi,"
Umi menjeda untuk mengambil nafas, sebelum akhirnya melanjutkan, "Kamu takut tidak bisa memenuhi kebutuhan istrimu? Selama ini, uang tabunganmu cukup kan? Umi siap nambahin jika kurang,"
Usia tiga puluh tahun, membuatku lebih berfikir dewasa, dalam menentukan calon istriku yang sesuai dengan pilihanku, bukan pilihan orang lain, sekalipun orang itu adalah Umi.
Bukan karena keuangan yang banyak orang permasalahkan. Dengan pekerjaanku saat ini, aku sudah cukup memiliki tabungan bahkan untuk hidup sepuluh tahun ke depan.
Kembali menghela nafas, aku beringsut maju, bersedongkok di depan Umi, kuraih tangannya yang terasa sedikit kasar, membawanya ke genggamanku.
"Bukan maksudku membantah Umi, berikan aku waktu dulu ya Mi. Bukan juga aku gak suka sama pilihan Umi. Aku suka, karena Umi pasti memilihkan yang terbaik, hanya saja aku belum klop Mi, belum mantap, setidaknya untuk saat ini...."
Aku menghela nafas, dan kembali berbicara.
"Aku akan berusaha mencari sosok yang sesuai pilihanku, yang klop di hati, yang mantap untuk kunikahi. Umi boleh mencarikan lagi, tapi nanti kalo aku udah benar-benar merasa tidak bisa mendapatkan seperti yang aku katakan. Nanti kalo aku udah benar-benar nyerah...."
                           ======
"Lo kok disini Dan?"
Ardan mendongakkan kepala, beralih dari ponsel yang digelutinya.
Di jam sepagi ini mendapati seorang Ardan Jenggala Maheswara, duduk tenang disalah satu kursi ruangan kami bekerja, memunculkan pertanyaan di neuronku.
"Hooh Dam, disuruh ke pos gue, gak tau kenapa mendadak, habis komandan ngasih titah, gue dengar lagi kalo yang gantiin gue si Jaka,"
Laki-laki yang seprofesi denganku itu menggeliat.
"Kalah pamor lo sama dia, secara anaknya kek ambassador sarung wadimor,"
Ardan hanya menggerutu pelan, berkutat pada ponselnya lagi.
Aku beranjak menuju mejaku. Menatap Ardan yang masih sibuk dengan ponselnya.
Laki-laki yang dulu menjadi adik kelasku di SMA, yang kini malah menjadi teman akrabku saat bekerja. Beberapa bulan ini, Ardan tidak pernah bisa pagi-pagi datang ke kantor, bahkan dia saja tidak pernah ikut apel pagi mengingat tugasnya yang harus terjun ke lapangan saat apel terlaksana.
Mendengar dari bibir laki-laki itu sendiri, bahwa tugasnya diambil alih, aku ikut merasakan betapa murungnya dia saat ini.
"Yuhuu....gue ke lapangan Dam, lo tau gue dapat apa? Nyebrangin ciwi-ciwi SMK,"
Ucapan Ardan kala itu, langsung membuat tingkah lakunya bergembira bak anak kecil yang baru dibelikan lolipop sekarung.
Baginya tugas itu adalah tugas paling menyenangkan, yang bagiku hanya biasa saja.
Semenjak mendapat tugas itu, hari-hariku penuh dengan celoteh Ardan usai dia bertugas, menceritakan betapa senangnya dia bertemu dengan siswi-siswi SMK.
Kata Ardan, sekolah kejuruan yang setiap hari dia sambangi kecuali hari libur itu, mayoritas muridnya adalah perempuan.
Yang membuat dia semakin semangat, tidak sedikit siswi yang dilihatnya setiap pagi itu memiliki wajah cantik khas anak tujuh belas tahun.
"Imut-imut, kinyis-kinyis Dam..."
"Imut-imut apa amit-amit Dan?"
Itulah responku kala itu, mengingat pernyataan Ardan yang menurutku berbanding terbalik dengan murid sekolah generasi Z yang kuamati. Apalagi bagi mereka yang berada di jenjang sekolah menengah atas.
Bagaimana wajah belia mereka, tertutup krim pemutih instan, yang jika disandingkan antara punggung tangan dan wajah, maka akan terlihat kontras sekali, saking ngefeknya krim yang mengklaim putih seketika sekali oles.
Tak cukup disitu, bulu matanya yang dipoles dengan maskara, menghasilkan bulu mata lentik dengan serabut hitam tipis yang membalut rambut kelopak mata itu. Yang katanya cantik, tapi malah terlihat menyeramkan bagiku, karena satu persatu bulu mata mereka akan terlihat seperti kaki laba-laba.
Sementara bibir yang harusnya terlihat warnanya asli, malah mereka baluri dengan cairan berwarna, yang mana akan terlihat retak dan berpasir jika sudah terlalu lama, atau mungkin jika produk yang mereka beli berada diposisi paling atas untuk kategori produk kw.
Ini ciwi-ciwi, mau sekolah apa mau ke kondangan sih.
Apa selera make upku yang tidak up-to-date?
Menurut pengamatanku, pantas kan jika aku melontarkan pertanyaan 'imut-imut apa amit-amit?'
Oke, tidak semua murid sekolah generasi Z seperti itu, dan bisa saja ciwi-ciwi yang dimaksud Adam tidak termasuk didalamnya.
Aku bisa membayangkan bagaimana kisah Ardan selama bertugas. Pasti tidak jauh dari cerita novel teenlite, -yang mana ada tokoh most wanted yang merangkap jadi ketua OSIS ples leader basket-, yang dikagumi seluruh penjuru sekolah.
Bisa saja seperti itu, walau tidak sepenuhnya manis, menyadari bahwa cerita di novel terlalu dilebih-lebihkan.
Ardan, usianya jauh lebih muda lima tahun dariku.
Memiliki tinggi badan yang sama sepertiku, postur tubuhnya yang tidak jauh berbeda dariku, -dada bidang, tonjolan otot dibagian tubuh tertentu, perut sixpack-, pelukable lah pokoknya, dan jangan lupakan wajah tampannya, yang kali ini tentunya lebih tampanan diriku.
Bentuk wajahnya yang sedikit mungil, garis wajah yang tidak terlalu kentara, terlihat lebih muda dari usianya, apalagi laki-laki itu selalu mencukur bersih kumis dan jambangnya.
Bisa dibilang Ardan ini baby face. Hanya saja, warna kulitnya sedikit lebih coklat, mengingat bahwa dia lebih sering turun ke lapangan.
Melihat ciri-ciri Ardan yang seperti itu, aku yakin jika saat dia bertugas tak sedikit ciwi-ciwi yang tertarik pesona si Ardan.
Berbeda dengan wajahku yang terbingkai rahang kokoh, dan sama sekali tidak masuk dalam kategori baby face, bersanding dengan Song Joongki.
Aku sadar, jika bentukan wajahku yang seperti ini, masuk kategori laki- laki tampan dengan usia kepala tiga.
"Gue sedih Dam, gak bisa ngecengin ciwi-ciwi lagi. Padahal baru kemarin gue lihat yang putih kek manekin,"
Ardan merengut sebal, sebab kentara sekali dengan ekspresi yang dia tampakkan. Matanya tidak mengarah ke aku, yang saat ini berposisi sebagai lawan bicara.
Ardan lebih suka dengan perempuan yang jauh lebih muda darinya. Terutama perempuan yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Ditambah lagi menurut pengakuannya, tubuh seorang anak sekolah berusia belasan tahun tidak jauh berbeda dengan tubuh montok wanita usia dua puluhan keatas.
Melihat cara berpakaian anak sekolah disini, yang tentunya berbeda jika dibandingkan dengan anak sekolahan Jakarta. Yang mana jika di ibukota, seragam dengan lengan pendek dan rok mini masih berlaku, di Trenggalek tidak ada sekolah yang memberlakukan seragam seperti itu.
Seragam untuk para murid menengah atas disini, terlihat sangat sopan.  Seragam atas lengan panjang untuk perempuan, rok lipit-lipit panjang hingga mata kaki, dan juga hijab, yang sebenarnya tidak harus dikenakan untuk seluruh murid perempuan.
Mengingat, tidak semua dari mereka beragama Islam.
Lain lagi jika status sekolah mereka terselip kata 'Islam'.
Tapi nyatanya, hampir seluruh murid perempuan yang di KTP nya tertulis 'agama = Islam' mengenakan hijab ketika sekolah, terlepas dari kebiasaan mereka yang ternyata tidak berhijab diluar lingkungan sekolah.
Banyak dari mereka yang sudah menunjukkan fisiknya berkembang, tanda masa pubertas sedang mereka alami.
Bagian-bagian tubuh yang menjadi pusat perhatian kala bagian itu tumbuh dengan sempurna. Walaupun bahkan ada yang tumbuh lebih besar melewati batas yang ditentukan untuk anak seusia mereka.
Bangga, pasti.
Tidak ingin menyia nyiakan, maka mereka akan mulai merombak seragam, mengecilkan seragam agar aset mereka bisa tercetak, memotong rok hingga melanggar batasan panjang rok yang ditetapkan, berusaha menampakkan betis putih mulus, terlihat se-perfect yang mereka inginkan.
Bagi mereka yang betisnya tidak semulus lainnya, maka akan memakai kaos kaki panjang, setidaknya jika tidak bisa menampilkan betis mulus, maka betis jenjang akan menjadi pilihan.
Aku tidak tau mengapa fashion anak sekolah bisa seperti itu, sepertinya ini menyangkut darah muda.
"Gue digantiin si Jaka, maksudnya apaan coba?" Ardan kembali berceloteh, merasa tidak terima dengan keputusan komandan yang tiba-tiba.
"Lo gak rela kan, kalo ciwi-ciwi bakal tertarik sama Jaka yang kodratnya lebih ganteng dari lo...."
Jaka, aku tidak terlalu akrab dengan laki-laki itu. Hanya bertemu dua tiga kali semenjak dia bertugas disini, karena laki-laki itu banyak bertugas di Polres.
Jaka, si ambassador sarung wadimor.
Memberikan sebutan seperti itu, mengingat bahwa laki-laki itu sangat tampan, bahkan terlalu tampan dengan postur tubuh ala-ala pria Arab.
"Udahlah Dan, lo disini aja sama gue. Enak, cuma mantengin cctv traffic light doang,"
"Ah, palingan ntar kalo ada yang ngelanggar, lo nyuruh gue ngejar,"

หนังสือแสดงความคิดเห็น (481)

  • avatar
    AnisaAzka

    wihhhh hebat banget masyaallah

    24d

      0
  • avatar
    ElllPerdiii wel

    sangat lucu

    27/07

      0
  • avatar
    ImandaViola

    Bagus banget novela dan bacaan nya seru banget sumpah bakalan sering sering baca dong

    22/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด