logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 11 Semakin Dekat Denganmu

"Anterin suratnya ke kantor ya Mas,"
Aku melirik sang empunya suara tengah menikmati sarapan paginya berupa Indomie goreng yang terlihat sangat lezat.
Aku hanya bisa menelan ludah, saat aroma mie itu mampir di penciumanku.
"Ngapain repot-repot kesana. Sekarang zaman sudah canggih. Tinggal foto terus kirim doang," kataku enteng.
Hari ini Ibra tidak masuk prakerin karena kondisi lututnya luka sebab mencium aspal kemarin. Akibatnya dia berjalan terpincang-pincang, dan sangat tidak mungkin untuk masuk apalagi jika para staf disana menyuruh nyuruh ini itu.
Ibra meletakkan sendok, menenggak air mineral langsung dari botol.
"Ya enggak bisa segampang gitu lho Mas, gak profesional namanya," ujarnya setelah menandaskan air yang tadi memang tinggal sedikit.
"Gak profesional gimana? Kirim lewat email, nanti mas kirimin,"
"Harus kirim surat aslinya Mas, biar mereka percaya. Ntar kalo enggak, nilai harianku jelek,"
Aku mendengus.
"Kenapa gak kamu aja yang nganterin sekalian, biar tambah percaya,"
"Mana bisa. Kakiku aja buat jalan sakit. Ya kamu aja yang nganterin,"
Aku akhirnya mengalah. Debat dengan bocah labil hanya akan menambah beban amarah.
Kuraih amplop yang berisi surat dokter, memasukkannya ke celanaku, langsung keluar rumah saat bunyi klakson motor beruntun terdengar.
"Kasihan bayi tetangga gue Dan, gak usah kayak gitu kenapa," ujarku setelah berada di samping Ardan yang sedang duduk diatas motor.
Ardan memutar kunci, mematikan mesin motornya.
"Ada yang punya bayi?" tanyanya sembari menoleh kanan kiri, mengamati kompleks perumahanku yang sepi pagi ini.
"Ada, bayi kucing.Haaahaha,"
"Ah, gak lucu lo. Buruan naik,"
Aku menurut, segera naik ke boncengan motor Ardan.
Hari ini aku sengaja nebeng Ardan, rencananya nanti usai kerja sekalian kusuruh dia mengantarkan aku mengambil 'si blurik."
Rumah Ardan memang jauh, tapi dia setiap kerja lewat jalan luar kompleks sini, karena memang itu jalur ke tempat kerja.
"Kalo gue nikah sama selebgram, menurut lo gimana?"
Aku membuka obrolan ditengah Ardan yang fokus menyetir. Ardan melirikku dari kaca spion, dia mencebik.
"Selebgram yang mana nih? Ambassador kancut sama beha?"
Sontak aku memukul bahu Ardan, yang direspon dengan ringisan.
"Itu selera lo, gue masih pengen masuk surga,"
Ardan terkikik.
"Mana selebgramnya, kenalin ke gue,"
"Besok aja kalo lo udah gue undang ke nikahan,"
"Yaelah, lama bet,"
"Daripada belum janur kuning melengkung terus lo tikung,"
"Hahahaha, masih zaman yang begituan?"
"Ada tuh banyak di tipi tipi. Eh ke kantor sekda dulu ya,"
Jangan lupakan tentang surat dokter yang harus sampai dengan aman di kantor tempat prakerin Ibra.
"Kantor sekda yang mana?" tanya Ardan sembari menolehkan sekilas kepalanya ke belakang.
"Samping Indihome,"
===
Aku masih merasakan debaran dadaku, walaupun kini aku sudah duduk dikursi samping kemudi.
Usai aku melihat dia di pantai seminggu yang lalu, tadi aku melihatnya lagi.
Aku segera keluar karena sepertinya jika terlalu lama di dalam, jantungku akan terdengar debarannya yang sangat keras ini. Walaupun nyatanya itu mustahil.
Aku menghela nafas, meminimalisir degupan jantung, menggosok kedua telapak tanganku, agar rasa dingin ini sirna. Sudah lama gak merasakan jatuh cinta, sekalinya jatuh, rasanya seperti mengulang kembali masa-masa remaja.
Aku memilih keluar dari studio foto setelah izin kepada Ardan, meninggalkannya yang masih sesi foto dengan adiknya.
Seminggu yang lalu, Ardan memintaku untuk mengabulkan permintaan ulang tahun adiknya. Sania, adiknya itu minta foto bersamaku dan Ardan.
Tentunya dengan memakai seragam kepolisian kami, dan Sania memakai seragam putih perawat kebanggaannya.
Katanya, biar kaya di Instagram.
Aku yang dipaksa Ardan mau tidak mau akhirnya mau, karena temanku itu memohon dengan menunjukkan tampang melasnya.
"Plis ya Dam...Sania ini yang minta. Syukurkan cuma minta hadiah itu dari gue, daripada gue diminta beliin album be te es,"
Dan kami di hari Sabtu ini, mengabulkan permintaan Sania.
Jujur, semenjak kedatangan perempuan itu secara tiba-tiba saat kami sedang berpose siap untuk dipotret, jantungku langsung berdebar kencang.
Senyum yang kutunjukkan lebar, mendadak turun dan kupaksakan kembali melebar saat photograper memberi aba-aba.
Perempuan dan photograper itu terlihat akrab, terbukti dari pembicaraan yang kusaksikan. Dari situ aku menyadari, bahwa kedua orang itu adalah orang yang sama di pantai waktu itu.
Entah mengapa aku seolah tidak sanggup melihat perempuan itu. Berbeda sekali dengan pertemuan sebelumnya, dimana aku yang selalu mencuri pandangan ke arahnya.
Aku hanya berani melirik dari ekor mataku, mengamati dia yang duduk di sofa panjang sebelah tempat pemotretan.
Selama ekor mataku menangkap bahwa sepertinya matanya juga mengawasiku, jantungku berdebar tak karuan, tanganku mendadak dingin, indikasi bahwa aku sedang gugup.
Dan selama itu juga, poseku di depan kamera agak sedikit kaku. Diamati seperti itu memang tidak enak ternyata. Mungkin itu balasan dari mata lancangku yang suka mengamatinya diam-diam.
"Lo baik-baik aja kan Dam..." tanya Ardan yang baru saja menghenyakkan pantatnya di kursi kemudi.
"Baik kok. Emang gue kelihatan gak baik-baik?" tanyaku balik.
"Mas Adam sedikit pucet lho," Sania menimpali. Adik Ardan itu sudah duduk di kursi penumpang.
"Ah masa?" Aku memutar spion tengah mobil, mengamati wajahku. Tidak ada yang aneh, hanya bibirku yang sedikit pucat.
Apa dampak dari jatuh cinta seperti ini? Tidak hanya jantung yang kena, tapi juga wajah, atau mungkin nanti tubuhku yang lain?
Ardan mulai melajukan mobilnya.
"Lo kenal sama cewek yang duduk di sofa tadi San?" tanyaku pada Sania. Aku melihat perempuan itu dari spion. Mengalihkan tatapannya dari ponsel, dan dia menatapku.
"Kayak gak asing sih Mas, tapi gak tau itu siapa?" jawabnya, lalu dia kembali menekuri ponselnya.
"Ada apaan emangnya Dam?" tanya Ardan.
"Pernah lihat dia mondar-mandir di Instagram gak San?" Aku mengabaikan Ardan, memilih melontarkan pertanyaan lagi kepada Sania.
Sania itu tidak jauh berbeda dengan Ibra. Tipe-tipe anak muda banget. Mainnya Instagram, Twitter sama media sosial yang sedang naik daun sekarang.
"Em....mungkin sih Mas, wajahnya gak asing banget emang,"
"Yang waktu itu lo ceritain ke gue? Yang kata lo selebgram?" Ardan menyeletuk. Mungkin kesal juga karena aku mengabaikannya.
"Ye....enggaklah. Gue cuma bercanda waktu itu,"
Aku masih belum ingin menceritakan tentang perempuan itu kepada orang lain, selain Abi.
"Ya gue tau Mas,"
Sontak aku menoleh kepala, saat Sania melontarkan kalimat itu dengan keras yang juga membuat Ardan berjengit.
"Eh si kucrut, hampir jantungan gue,"
Gumam Ardan seraya mengelus dada dengan satu tangannya, sementara satu tangannya lagi memegang setir.
"Tau apa San?" tanyaky penasaran. Jika ada informasi lebih tentang perempuan itu, yang sejujurnya masih diam-diam kucari identitasnya.
Ibra yang selalu kusuruh untuk mantengin Instagram semenjak melihat perempuan itu di pantai, bahkan kubelikan paket data tanpa dia minta, hanya berakhir sia-sia.
Dia tidak menemukan akun perempuan itu, satu foto saja tidak berhasil dia temukan.
"Kayaknya pernah lihat di Aura Collection deh Mas,"
Aku mengernyit bingung.
"Butik langganan Ibu. Kalo gak salah fotonya dia, dipajang di tembok butik, kayak poster gitu,"
Dugaanku bahwa perempuan itu selebgram sedikit benar mungkin. Walaupun sejauh yang kutau, tidak ada wajah perempuan itu mondar- mandir di Instagram.
"Ah yang bener San...."
Ardan tertawa kecil seolah meledek adiknya, bahwa adiknya itu salah.
"Gue juga pernah masuk ke sana, gak mirip tuh poster sama cewek tadi. Cantikan yang diposter kok," imbuh Ardan, yang kemudian membuatku mendelik kearahnya.
"Ye....namanya juga buat poster Mas, buat dilihatin ke orang banyak," Sania membela, perempuan itu yakin jika dirinya tidak salah menerka.
"Butiknya mana sih?"
Aku sepertinya perlu membuktikan tebakan Sania.
Masuk akal juga jika itu benar, aku sudah menemukan fakta-fakta jika perempuan itu kerap dipotret.
Lihat saja apa yang dia lakukan waktu di pantai, dan yang tadi dia bicarakan dengan photograper yang sama waktu itu.
"Itu lho mas yang deket hotel. Eh, mas bisa buktiin tebakan gue, gue follow Instagram butiknya kok,"
Bagus.
Aku tersenyum. Saking senangnya ingin membongkar identitas perempuan itu, aku bahkan tidak sadar kapan debaran jantungku kembali normal, dan dingin di tangan sudah tergantikan suhu normal tubuhku.
"Nih Mas..."
Aku menyondongkan tubuhku ke arah layar ponsel yang ditunjukkan Sania. Merasa tidak terlalu jelas, aku mengambil begitu saja ponselnya, tanpa izin.
Sania iya iya saja, karena dia tidak mencegah.
Mataku menyusuri feed akun Instagram butik yang ditunjukkan Sania. Jariku menggulir ke bawah, dan mataku langsung terfokus dengan foto-foto yang menampakkan wajah perempuan yang tidak asing lagi bagiku. Aku mengetuk satu foto, hatiku berdesir.
Foto perempuan yang duduk di atas batu karang, dengan outfit persis seperti yang kulihat waktu itu, wajah cantiknya yang kali ini bahkan lebih cantik beribu kali lipat, karena di foto ini aku melihat senyum yang sangat manis.
Sari manis saja sampai kalah manisnya.
Di caption tertera, info tentang detail model baju, harga dan warna lain yang tersedia, sama seperti yang biasa dituliskan oleh para pebisnis online.
Aku mengetuk 'lainnya' pada caption. Biasanya pemilik akun akan mengetag akun model, atau paling tidak mengetik nama model. Tapi disini, tidak ada keduanya. Hanya info tentang pemesanan, dan kata-kata persuasif khas pebisnis.
Kembali aku melihat foto-foto yang lain, melakukan hal yang sama dan hasilnya juga sama.
Mengapa seprivasi ini sih? Membuatku semakin bersalah mengapa saat aku bertemu dengannya kembali, keberanian untuk mendekatinya perlahan menghilang.
Aku terus menggulir layar hingga ke bawah, dan sebanyak postingan yang diunggah pemiliknya, model yang memperagakan busana hanya satu.
Perempuan ini saja, ada satu lagi tapi laki-laki.
Yang kadang keduanya berada dalam satu frame saat yang dikenakan adalah pakaian couple. Sangat berdekatan, tidak ada jarak. Bahkan aku tau jika tubuh mereka bersentuhan.
Dan mengapa hanya melihat seperti ini saja, hatiku terasa panas?
Dia bukan selebgram, hanya ambassador brand pakaian.
Benarkan? Mana ada selebgram yang memprivasi identitasnya? Hanya berani pasang wajah saja, sementara diluar sana yang bukan selebgram saja berlomba-lomba menunjukkan identitas tidak pentingnya, tujuannya ya biar jadi selebgram.
Lalu, langkah yang kuambil selanjutnya apa?
Selama aku mengenal jejaring sosial bernama Instagram, aku hanya pernah membuat satu akun, yang hingga kini masih kugunakan, tapi jarang.
Aku memang bukan penggila dunia maya. Tapi melihat jika perempuan yang ku incar banyak bermunculan di dunia maya, akan kuseringkan waktuku bermain di aplikasi berlogo kamera itu.
"Gimana Mas?"
Aku mengembalikan ponsel ke pemiliknya.
"Kayaknya benar deh San.."
"Kan, gue bilang juga apa. Emang sih yang cantik-cantik kayak gini yang bakal keinget,"
Perkataan Sania membuatku tergelak.
"Ah masa iya sih? Beda orang paling,"
Ardan yang masih bersikukuh tidak percaya kembali menyuarakan ketidaksetujuannya.
"Emang lo gak pernah lihatin model cantik yang Ibu kirim ke wa ,tiap kali ada gamis baru? Yang ujungnya Ibu minta dibeliin," kata Sania bersungut-sungut. Adik Ardan ini masih tidak mau jika Ardan belum mengakui dugaannya benar.
"Ya kalo itu, yang gue lihatin bajunya lah bukan orangnya. Yang mau dibeli kan bajunya," balas Ardan sewot.
"Serah lo, yang penting Mas Adam percaya"
Sania tak kalah sewot. Dia bersedekap, dan menyerongkan tubuhnya ke arah jendela, sebisa mungkin menyembunyikan diri, agar Ardan tak terlihat di pelupuk matanya.
"Ya...gitu aja bertengkar kalian. Udahlah, udah pada gede juga,"
"Emang ada apa sih Mas? Kok kayak antusias banget keponya," ujar Sania dengan lirih, kini dia menggeser duduknya berada tepat di belakangku.
Aku menolehkan kepala.
"Cocok gak sama gue?" balasku lirih.
Aku melihat Ardan yang sedang melirikku dan Sania. Dia menunjukkan raut wajah tidak suka, karena kami berbicara bisik-bisik, seolah sedang membicarakannya.
"Cocok...." kata Sania masih dengan suara lirih, seraya mengacungkan jempolnya ke arahku.
"Kalian ghibahin gue?"
Aku melengos, memilih menatap rumah-rumah dari kaca jendela mobil, begitu juga dengan Sania yang kembali menyerongkan tubuhnya menghadap jendela.
Kami mengabaikan ucapan Ardan yang terucap dengan sedikit bumbu emosi.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (481)

  • avatar
    AnisaAzka

    wihhhh hebat banget masyaallah

    23d

      0
  • avatar
    ElllPerdiii wel

    sangat lucu

    27/07

      0
  • avatar
    ImandaViola

    Bagus banget novela dan bacaan nya seru banget sumpah bakalan sering sering baca dong

    22/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด