logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 9 Takdir Satu Karcis

Ini dia. Saran yang kuambil dari temanku sesama pemulung. Namanya Ari Sihasale, mirip artis namanya. Dia dulu dari sebuah kampung terpencil di Kalimantan, berbekal sobekan koran yang tanpa sengaja didapatkannya kala membeli ikan asin di kecamatan. Koran pembungkus.
Sebungkus koran itu baginya adalah harta, terpampang kondisi Jakarta dan harapan-harapan. Sebagai Ibukota, tentu banyak investasi baik internal maupun eksternal berada di sana. Kau tahu, Kawan, apa yang dilakukannya ketika nama Jakarta ada di sana, kebetulan di situ ditulis tentang pasar uang. Dia langsung pamitan kepada kedua orangtuanya merantau ke pulau seberang. Nekat, senekat-nekatnya.
Koran pembawa petaka! Begitu katanya padaku, ketika bertemu dengannya di pedagang loakan. Setidaknya, nasibnya sama denganku walau aku merasa lebih baik darinya. Lebih baik karena aku pernah mencicipi nikmatnya sekolah, hingga kuliah, sedang dia sekolah dasar saja tidak mencicipinya. Saban hari, dia bekerja bersama pekerja pencari barang bekas. Satu hal yang kupelajari darinya, ’Hemat! Kumpulkan uang sebanyak-banyaknya jika kau gagal, kembalilah ke rumah dan jadilah pahlawan di sana daripada jadi pecundang di negeri yang besar.’
Sampai lupa, aku mengambil sarannya jika ingin murah ketika bepergian, maka naiklah kereta api. Aku menuju stasiun, terlihat kereta entah tahun berapa, sudah terlihat karatan dan buruk. Pemerintah masih saja memercayakan barang panjang besi ini untuk mengangkut manusia. Aku tak ambil pusing, aku ingin segera ke desa Cahaya yang melambai dalam anganku.
Antrian di loket begitu padat. Aku baris di belakang. Satu-persatu, satu langkah ke depan, satu langkah lagi. Barisan baru terbentuk di belakangku, tepat di belakangku seorang lelaki tambun sedang menyeruput es krim. Seumur hidup aku baru sekali menyeruput es krim, hanya sekali. Catatan sejarah ini terjadi ketika aku mendapatkan ranking satu waktu kelas satu SD, setelah itu walau ranking satu terus, Kakek tak pernah membelikan es krim lagi. Kakek takut gigiku rusak, berlubang, dan akhirnya keropos.
Di barisan belakang sangat ribut, kata-kata kasar keluar, menggerutui barisan depan yang katanya lelet! Telingaku paling tidak betah jika ada kata makian, kasar, hinaan, ejekan. Dokter Masaru Emoto yang memperkenalkan bahwa air itu hidup dan merespon ucapan pasti sepakat dengan pendapatku bahwa tubuh manusia yang 75% lebih terdiri dari air tidak betah mendengar kata-kata kasar.
Tinggal sepuluh orang di depanku, perasaanku terasa bungah. Di belakang masih saja ribut, kulihat sejenak ke belakang. Mereka demikian berdesak-desakkan. Aku kembali melihat ke depan.
Tinggal sembilan, delapan, tujuh...
Kuhitung terus. Antusias.
Empat, tiga, dua...,
Senyumku semakin tak bisa kututupi. Bahagia sekali hatiku, belum pernah aku sebahagia ini selama setahun di kota Jakarta. Kamu tahu, Kawan, aku sangat bergairah, bersemangat, antusias. Karena orang yang tidak punya antusiasme dan memilih mengalah pada keadaan seperti kata Andrew Matthews, ’Kita punya pilihan, yaitu antara benar-benar hidup, atau semata-mata hidup.’
Satu orang di depanku masih membeli tiket, suasana gerah, baju satu-satunya yang melekat di tubuhku telah basah dengan keringat, apalagi ditambah beban tas di punggungku.
Lunas.
Giliranku. Aku tersenyum. Namun, senyumku hilang kala petugas di hadapanku itu menatapku terdiam, mulutnya hendak terbuka tapi seolah ragu, apa penampilanku terlihat aneh?
”Benar-benar habis ya, Pak, tiketnya?”
Petugas yang terlihat kurus itu mengangguk, ”Iya, Mas,” kali ini dia tersenyum kepadaku, dan kepada beberapa orang yang menunggu di belakangku tadi.
Semua orang yang mengantri tiket bubar.
Tubuhku lemas, kala pembeli tiket bubar. Aku berjalan lunglai, mendekati beton tegak kokoh di dekat tempat tunggu. Kulorotkan tubuhku, punggungku beradu dengan beton, aku terduduk jongkok lesu di pinggir rel kereta. Aku akan menunggu kereta selanjutnya, biarlah di sini saja. Aku tidak punya tempat, dunia tahu itu.
Peluit keras pertama terdengar, berarti kereta hendak berangkat. Ramai nian suara pedagang yang berhamburan menyingkir dari kereta api yang hendak berangkat, namun masih ada yang ngeyel, menjejalkan dirinya di pintu masuk.
Aku menatap kokoh besi panjang yang masih terdiam itu, sebentar lagi dia pasti berangkat.
”Mas...” Aku terperanjat. Seseorang memanggilku, aku menoleh ke kiri. Seorang petugas, aku cermati, dia tadi yang menjual tiket. Aku heran kenapa dia menghampiriku, tetapi ketika hendak bicara, dia menyodorkan sebuah kertas padaku. Kertas yang teramat kecil.
”Aku...,”
”Cepatlah masuk ke kereta, sebentar lagi berangkat,” wajahnya tersenyum padaku.
”Aku...,”
”Tadi aku menyimpan satu, kukira saudaraku akan berangkat hari ini. Ternyata dia akan pergi besok. Ini ambilah dan gratis untukmu, aku melihatmu sangat membutuhkan tiket ini.
Kuambil karcis satu lembar itu dari tangannya. Tak lupa kuucapkan terima kasih dan senyuman setulus-tulusnya yang kumiliki. Aku bergegas menuju pintu kereta api. Saat masuk pintu itu kulihat petugas itu melambaikan tangannya padaku. Senyum kami beradu. Terima kasih!
Aku patut juga berterima kasih pada Ari Sihasale. Kenapa Ari? Karena pelajaran darinya sangat ampuh, ”Jika ingin murah ketika bepergian, maka naiklah kereta api.” Terbukti bukan? Hari ini aku gratis menaiki kereta api. Terima kasih Tuhan, Kau memang telah menyediakan satu karcis untukku.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (217)

  • avatar
    Romy

    bagus. kisahnya inspiratif, menggambarkan sudut kehidupan yang penuh perjuangan dan mungkin memang terjadi pd diri seorang pemuda d luar sana.

    27/03/2022

      3
  • avatar
    Rudi Suprijanto

    tulisan ini sangat menginspirasi terutama anak2 muda supaya tdk pernah berhenti menggali mimpinya apapun keadaanya.

    06/02/2022

      1
  • avatar
    Ode Barta

    novel nya menarik dan tidak membosankan

    13d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด