logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 44 Di Kafe Korea

Hitungan menit mobil melewati satu ruas jalan, akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Sebuah bangunan perpaduan Korea-Indonesia nampak kokoh, meski atapnya diguyur deras tik tik air. Sesekali angin mengempas, hingga kafe itu menciptakan nuansa romantis tersendiri.
"Mau turun sekarang?" tanyaku yang dibalas anggukan Icha.
Dengan sebuah payung besar berwarna biru motif kembang-kembang, aku turun dari mobil lebih dulu, lantas menghampiri Icha yang sudah menunggu. Dengan satu payung itu juga, kami berjalan masuk kafe.
"Mobilnya parkir di situ nggak apa-apa, Rif?" tanya Icha sesampainya kami di teras kafe.
"Bonus, karena kita datangnya pas hujan," jawabku lalu terbahak.
Icha seketika mendelik kesal, dan aku makin terbahak melihatnya seperti itu. Manis, imut, lucu malahan.
Memasuki kafe, pemandangan lebih romantis menghipnotis mata. Lampu kristal berwarna oranye cerah menghiasi beberapa titik langit-langit, dinding yang dipenuhi tulisan beraksen Korea menyala kemerlip dengan lampu lampu unik. Dan lilin, setiap meja bundar terpasang beberapa lilin sebagai simbol ketenangan teman hidangan.
Meja nomor tiga di samping jendela kaca besar menjadi pilihanku. Sepanjang perjalanan tidak henti Icha berdecak kagum. Sesekali kami berpandangan dengan senyum simpul, bak pasangan romantis sungguhan di film-film barat. Astaga, hatiku meleyot. Semoga Icha beneran suka sama aku.
"Kamu suka?" tanyaku, begitu kami duduk berhadapan berbatas meja pilihan.
Icha mengangguk, senyum bahagia terukir jelas dari bibir dan binar matanya. Benar-benar ciptaan Tuhan yang Maha Sempurna.
"Sayang banget aku nggak bawa gitar, ya?" gerutu Icha.
Oke, aku ngerti harus apa.
"Bentar aku pesen minuman sambil nyari pinjaman gitar, kalau gitu!" balasku tersenyum simpul.
Icha justru menahan langkahku. "Rif, emangnya boleh?"
"Tentu. Ini kafe favorit aku, Cha. Bisa dibilang pemiliknya temen Bisnisku juga. Jadi ..."
"Ya udah sana, aku kopi aja, ya!"
Sayur asem, galak amat ini orang!
Sambil menahan antara kesal dan bahagia, aku melangkah ke belakang panggung untuk memenuhi permintaan Icha. Beberapa pelayan yang berpapasan denganku menyapa ramah. Salah satu dari mereka kuhentikan untuk memesan minuman dan mengantarnya ke meja nomor tiga dekat jendela.
"Sore, Pak Arif. Nyari bos, ya?" sapa salah seorang musisi saat melihatku mendekat.
Empat orang tengah duduk santai sambil menghadap empat cangkir minuman yang masih mengepulkan asap, memang ditunjuk menjadi musisi permanen di kafe Korea ini. Baik untuk merayakan acara-acara tertentu, maupun memenuhi permintaan pengunjung. Gampang saja nyewa mereka. Rakyat kecil.kan butuh duit dan jajan gratis.
Aku sendiri cukup lama mengenal mereka. Ya, bisa dibilang sejak awal menjadi pengunjung tetap. Namun, bukan Bestie.
"Nyari kalian," jawabku, kemudian duduk di antara dua orang dari mereka. "Boleh pinjem gitar, nggak?"
Seketika empat orang musisi ini saling pandang dengan ekspresi keheranan. Dikira aku asal bicara kali, ya? Atau ngeprank.
"Gitar?" ulang salah seorang dari mereka. "Pak Arif bisa main gitar?"
Aku mengembuskan napas gusar, menahan diri supaya tidak tersinggung atas kekepoan mereka. Masa iya mau bilang jujur kalau ke sini membawa teman spesial, dan dia yang ingin bermain gitar? Tapi kalau nggak jujur ....
"Pinjam buat teman," jawabku akhirnya.
"Ciyee, pasti ceweknya!" celetuk penyanyi berambut pirang sebahu, yang disambut deheman dan gelak tawa.
"Kita juga mau loh dikenalin ceweknya. Cantik nggak, Pak?"
Astaga, sial!
Beruntung salah seorang pelayan yang membawa nampan melewati tempat ini. Sepertinya dia memperhatikan dengan seksama aku mati kata oleh ledekan, hingga buru-buru menyuruh gitar di samping penyanyi rambut pirang itu diberikan padaku. Terima kasih, penyelamat.
Setelah melewati drama membosankan di belakang panggung, sebuah gitar berwarna hitam unik kudapatkan juga. Buru-buru aku menghampiri Icha yang duduk menunggu sambil bermain handphone. Rupanya menu pesanan juga sudah tertata di meja.
"Maaf, Cha. Lama nunggu," ucapku.
Gadis berbaju merah jambu dengan kerah itu tergagap, lebih lebih melihat apa yang aku ulurkan. Untuk beberapa saat dia memandang ke arahku dan gitar itu bergantian, dan mengangguk adalah cara meyakinkan.
"Arif, kamu kok bisa dapetin ini?" tanya Icha sambil mengamati gitar yang sekarang sudah berpindah ke tangannya.
"Aku kan udah bilang berkali-kali, Cha. Apa pun akan kulakukan demi kamu," balasku, sambil duduk di hadapan Icha dan menyeruput sedikit kopi robusta hangat.
"Baik banget kamu, Rif. Terima kasih."
Bener-bener, ya. Makasih doang imbalannya mana cukup?
Aku mengangguk, meski hati dipenuhi kekecewaan, karena Icha tidak juga mau mengerti perasaanku selain berterima kasih. Sudahlah, mungkin belum keberuntunganku. Anggap saja belajar sabar meskipun sedikit.
Akan tetapi, gadis cantik pujaanku itu masih tetap biasa saja, tidak akan peka. Ekspresi wajahnya justru seperti menginginkan sesuatu lagi, tapi tidak enak minta tolong. Dan, aku cukup mengerti harus bagaimana. Kan, aku pengertian.
"Kamu butuh bantuan lagi?" tanyaku.
Icha mengangguk ragu.
"Bikin vlog?"
Icha langsung mengiyakan.
"Bawa kamera, nggak?"
"Bawa sih, tapi ..."
Aku tersenyum lembut, coba mencairkan suasana ragu yang mengendap di mata penyanyi tomboy itu. Bagaimanapun caranya, pikiran dan perhatian Icha harus kumiliki. Inilah kesempatannya. Harus banyak sabar, mau melakukan apa saja, meskipun harus sedikit merendahkan harga diri.
"Coba lihat sekeliling kamu," pintaku yang langsung ia turuti. "Orang-orang di sini banyak yang selfi atau sekadar memvideo ornamen yang menurut mereka bagus.
"Nggak apa-apa bikin video, Icha. Aku mau kok bantuin kamu."
"Kamu mau bantuin aku?" ulang Icha.
Buru-buru aku berdiri, membantu Icha memindahkan kursi supaya bisa dipakai duduk sambil bersandar ke kaca jendela yang masih memperlihatkan deras hujan. Meski sudah lumayan reda, tapi masih bagus untuk sebuah background video. Setelah itu, kuambil kamera berwarna perpaduan hitam biru dari tas Icha, untuk mengabadikan momen kafe romantis ini nanti di YouTube. Sekalian promosiin kafe, ya awas kalau bosnya nggak kasih diskon.
Orang-orang di sekitar, tentu saja tidak memandang kami aneh. Justru beberapa dari mereka yang mungkin saja fensnya Icha, bergantian mengambil foto gadis itu. Bermain gitar dengan latar belakang kaca transparan bertirai hujan, sungguh menakjubkan.
"Siap!"
"Satu!"
"Dua!"
"Tiga!"
Aku memberi aba-aba, usai beberapa jepretan foto berkurang.
Hatiku mencair bersama hujan
Melihat senyum penuh kebahagiaan
Kau dan aku bertemu lagi
Di persimpangan jalan tadi
Lalu, pertanyaan beruntun itu
Mengingatkan lagi masa lalu
Aku merasa bersemi lagi
Hati yang mati
Kamu jalanku pulang
Sejak dulu dan sekarang
Kamu tempat kembali
Dari lelahnya hari-hari 
Dan selesai, lagu entah apa judulnya itu mendapat apresiasi luar biasa. Orang-orang begitu antusias, padahal menurutku ya biasa saja. Aku sama sekali tidak bahagia, malah keberatan aslinya, kecuali lagu itu untuk aku.
Iya tapi mustahil, sih. Icha pasti nyanyi buat Aldin atau Arhan. Orang yang katanya dekat, nyatanya tidak pernah menganggap Icha ada. Aku dilupakan, dilirik kalau butuh saja. Kurang asem emang.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (663)

  • avatar
    Lilis Liss

    baukk

    8d

      0
  • avatar
    Sya Syi

    good

    09/03

      0
  • avatar
    LauraAweh

    sukakkkk bagus banget

    04/02

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด