logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 Permintaan Sang Majikan

"Anne tidak akan pulang minggu ini." Suara bariton milik Edric kembali memecah keheningan. Inayah menoleh, menatap wajah sang majikan. Dia belum paham kejutan apa lagi yang akan terjadi.
Perasaannya mengatakan akan terjadi hal yang tidak dia inginkan. Namun, Inayah hanya diam saja. Dia memang tipe wanita yang pendiam dan penurut. Bersyukurlah ibunya memiliki Inayah. Akan tetapi sang ibu justru tak menghargai setiap jasa putri sulungnya itu.
"Dia pulang satu bulan lagi. So, kamu tidur di kamarku saja," ucap Edric. Inayah terkejut, hampir saja jantungnya jatuh dari tempatnya. Tidur di kamar sang majikan, mana mungkin? Inayah belum siap, karena mereka bukanlah pasangan yang halal. Gaya pergaulan sang majikan dengan ketentuan aturan agama yang mereka anut jelas berbeda.
"Tu … Tuan, saya tidak bisa. Saya tidak mungkin tidur setiap hari dengan Tuan. Saya tidur di kamar ini saja," ucap Inayah, dadanya mulai bergemuruh. Dia merasa tak kuat lagi atas jalan hidup yang dia alami.
Edric tersenyum, lalu membungkukkan tubuhnya. Hal itu membuat Inayah beringsut. Inayah pikir sang majikan akan mengecup bibirnya. Karena, memang itulah yang sering dilakukan Edric, apabila Inayah banyak protes. Prediksi Inayah kali ini salah.
Edric justru mengangkat tubuhnya, lebih tepatnya menggendong Inayah menuju lantai dua.
"Tuan, sa … saya tidak bisa. Saya mohon, turunkan saya," rengek Inayah. Edric tidak mengindahkan perkataan Inayah. Dia terus melangkah dengan gagahnya. Menaiki anak tangga, berakhir di kamar tidurnya.
Inayah hanya bisa menunduk dalam-dalam, ketika Edric mendudukkannya di kasur yang sangat empuk itu.
"Istirahatlah, saya akan pesan makanan dulu. Kamu pasti belum makan, kan, Sayang?"
Mata Edric bergerak mencari keberadaan ponselnya. Dia tidak butuh jawaban Inayah, apakah gadis yang mengandung anaknya itu setuju atau tidak.
"Setelah makan, kamu istirahat. Aku tidak mau janin di perut kamu tidak berkembang dengan baik. Mulai besok kamu tidak perlu lagi mengerjakan tugas rumah ini. Nanti saya akan meminta sekretaris saya mencari pembantu baru." Edric bicara panjang lebar, sambil jarinya lincah menari di ponsel.
"Lalu, dari mana saya akan mendapatkan gaji, Tuan?" Inayah membuka suaranya.
"Jangan pikirkan gaji. Apapun yang kamu minta, akan saya penuhi, Sayang. Asalkan kamu jaga janin itu dengan baik."
"Ya, Tuan." Hanya kata itu yang keluar dari bibir Inayah. Kemudian, dia memilih untuk merebahkan tubuhnya di kasur. Dia sengaja membelakangi Edric, agar sang majikan tidak melihat bulir bening, yang mulai meleleh dari ujung matanya.
Inayah bersusah payah menahan isakannya. Jangan sampai sang majikan mendengar dia menangis. Hati Inayah sangat pilu, merasa sudah teramat jauh melangkah, ke lembah hitam kehidupan. Inayah tidak tahu lagi, akankah dia bisa bebas dari kungkungan lembah nan gelap itu. Selama ini, semakin dia mencoba keluar, justru semakin dalam dia terperosok.
Malam semakin larut, mata Inayah belum juga bisa dipejamkan. Dia duduk sendirian di kamar mewah sang majikan. Edric terpaksa meninggalkannya, karena harus menyelesaikan pekerjaan kantornya.
Inayah berpikir untuk mengambil ponselnya ke kamar bawah. Belum jadi telapak kakinya menyentuh lantai keramik, pintu kamar sudah terbuka. Edric muncul di ambang pintu, lalu tersenyum.
"Sayang, aku sudah mengirimkan uang ke ibumu. Kabari dia sekarang juga." Edric melangkah mendekat, seraya menyodorkan ponsel milik Inayah.
"Terima kasih, Tuan. Berapa Tuan kirimkan?"
"Lihat saja bukti transfernya di pesanmu. Oh, ya, segeralah tidur setelah ini. Aku masih belum selesai, jangan kunci pintunya."
"Ya, Tuan. Terima kasih," ucap Inayah.
"Sama-sama," ucap Edric. Kemudian mencuri kecupan singkat dari bibir sensual Inayah.
Setelah Edric keluar, Inayah langsung mengecek berapa jumlah uang yang ditransfer ke kampung.
"Enam juta?" Inayah berkata lirih. Dia jadi berpikir mungkinkah sang majikan melebihkan gajinya, karena dia sedang hamil? Inayah menggigit ujung kukunya. Bibirnya pun bergetar. Itu artinya, dia juga sudah menjual rahimnya untuk sang majikan.
Pesan masuk ke ponselnya, membuat Inayah lengah sejenak. Fokusnya pun beralih ke pesan yang baru saja masuk. Pesan itu dari ibunya yang ada di kampung.
Ibu :"Terima kasih uangnya sudah masuk, Nay."
Inayah termangu menatap pesan dari ibunya. Apakah tak ada kata-kata lain yang bisa menghibur hatinya? Begitulah pikiran yang timbul. Sang Ibu tidak pernah menanyakan keadaan Inayah. Walaupun sudah dua tahun tak pulang-pulang.
Inayah menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Percuma, hanya Tuan Edric yang terus memperhatikannya. Namun, untuk semua perhatian, cinta dan kasih sayang itu. Inayah harus membayarnya mahal.
***
"Lin, aku boleh pinjam uangmu tidak?" tanya tetangga Linda. Linda yang sedang sibuk mengolah lauk, menoleh ke ambang pintu.
"Pinjam uang?" tanya Linda, mengulang kembali ucapan tetangganya–Elis.
"Iya, kasihan cucuku pengen makan ayam," ucap Elis, langsung masuk tanpa dipersilakan masuk. "Ngomong-ngomong, pekerjaan Inayah di Jakarta apa, sih, Lin?" Elis menjatuhkan bokongnya di kursi plastik.
"Aku tak tahu. Apa itu penting? Yang penting Inayah kirim uang tiap bulan. Aku juga tak peduli, siapa suruh bapaknya buru-buru meninggal." Emosi Linda mulai tersulut. Begitulah Linda, jika ada tetangga yang menanyakan Inayah lebih jauh.
"Ya udah deh, Lin. Aku pinjam duet kau aja. Bisa?"
"Nah, 'ku kasih aja." Linda menyodorkan uang kertas seratus ribuan pada tetangga dekatnya itu. Maklum, Linda sangat senang, karena Inayah mengirimkan uang yang lebih.
Setelah Elis pergi, Linda pun menjadi merenung. Jika dipikir-pikir, benar juga kata Elis. Harusnya dia menanyakan banyak hal pada Inayah. Bagaimanapun Inayah adalah putri sulungnya, darah dagingnya, dan buah cinta pertamanya.
Ya, Linda terpaksa menikahi almarhum suaminya, sebab ingin menutupi aibnya yang hamil duluan. Kebaikan hati sang suami membuat Linda mencintainya. Namun, sudah tabiat Linda berkata kasar dan tak jarang perkataannya menyinggung. Bahkan, ketika si pemilik nama sudah tidak ada lagi.
:"Lebaran tahun ini, kamu tidak pulang, Nay? Menurut ibu, lebih baik kamu kembali ke kampung dan segera menikah." Begitulah pesan yang Linda kirimkan untuk Inayah. Linda berharap agar Inayah setuju menikah muda.
***
Sebelum berangkat ke kantor, Edric sudah memesankan makanan untuk Inayah. Namun, dia heran karena makanan yang sudah tersaji di meja belum juga tersentuh. Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Dia terpaksa kembali ke rumah, karena ada berkas penting yang tinggal.
Guyuran air yang terdengar di bilik mandi, membuat Edric menunda kepergiannya. Dia bersabar menunggu sampai Inayah selesai mandi.
Pintu kamar mandi terbuka, Inayah terkejut ketika tatapannya bertemu dengan sang majikan. Hendak masuk ke kamar mandi lagi percuma, begitulah pikir Inayah. Sehingga, dia tetap melangkah ke luar hanya mengenakan handuk.
"Sudah pukul 9 pagi, kamu belum juga sarapan?" tanya Edric seraya menatap Inayah dengan mata elangnya.
Inayah menelan saliva. Dia memang belum sarapan, sebab baru bangun. Jadi, memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Tidak mungkin dia sarapan dalam keadaan kusut dan bau keringat.
"Maafkan saya, Tuan."
"Hemmm, sekarang cepatlah sarapan. Aku tidak akan pergi sebelum melihat makanan ini habis."
"Tapi, Tuan. Saya mau pakai baju dulu," ucap Inayah. Dia merasa malu dan keberatan hanya mengenakan handuk sebatas paha di hadapan Edric.
"Seperti itu saja." Edric melangkah menuju Inayah yang masih mematung. Tangan kekarnya langsung menarik pergelangan tangan Inayah.
"Duduklah!" titah Edric. Inayah hanya bisa manut. Dia duduk tepat di hadapan Edric. Entah kenapa debaran jantungnya kali ini berbeda. Mungkinkah dia mulai menyukai sang majikannya?
Inayah menepis perasaan itu secepatnya. Semua itu tidak mungkin, dan tidak boleh terjadi. Itulah yang selalu Inayah tanamkan dalam dadanya. Inayah sudah menganggap dirinya hanya barang pemuas hasrat sang majikan saja. Tidak lebih!
"Kamu cantik, Sayang." Edric mendekatkan wajahnya, lalu mencium rambut Inayah yang masih basah.
Pacuan jantung Inayah terasa semakin cepat. Mata Inayah perlahan terpejam, spontan jari lentiknya menggapai pundak Edric. Tubuhnya bereaksi lain, Inayah sendiri merasa tak sadar, yang dia rasakan hanyalah kehangatan yang tiba-tiba menyambar.
"Kamu menginginkannya, Sayang?" tanya Edric. Inayah membuka matanya, lalu menatap manik biru yang ada di hadapannya.
"Maaf, Tuan." Inayah buru-buru melepaskan bahu Edric.
Edric tersenyum simpul. Kemudian, melanjutkan tugasnya menyuapi Inayah. Sedangkan Inayah, menjadi salah tingkah. Dia menyesali perbuatan yang baru saja dilakukan.
"Jika tidak ada Anne. Aku sudah pasti menikahi." Ucapan Edric membuat Inayah terkejut.
"Me … menikah?"
"Ya. Apakah kamu bersedia?"
Hening, Inayah tak menjawab pertanyaan sang majikannya. Suasana di sekitar mereka seketika berubah tegang. Inayah tidak tahu harus menjawab dengan kata apa. Dia memang sedang mengandung anak sang majikannya. Namun, bagi Inayah pernikahan di antar mereka hanyalah suatu yang mustahil terjadi.
_____________
Benarkah Edric serius dengan ucapannya? Lalu, apakah Inayah menjawab "iya" ???
Simak terus kisahnya ya, kak.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (142)

  • avatar
    MujiatunSiti

    saya mau diamond

    20d

      0
  • avatar
    SinaIbnu

    san

    04/08

      0
  • avatar
    Ahmad

    Suka ceritanya

    01/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด