logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 20 Penggoda

Nero menarik kain yang menutup tubuhnya. Dingin. Lantai rumah sakit ini benar-benar seperti es yang membuatnya menggigil. Ada selembar kasur tipis sebagai alas tapi tetap saja masih terasa dinginnya. 
Setelah pulang dari klubnya Raka, dia bergegas ke rumah sakit. Melihat kondisi Bram yang belum ada perubahan sama sekali akhirnya dia memutuskan menginap di sini.
Gila! Dia tidur bersama dengan yang lainnya di ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien yang dirawat intensif. Di rumah sakit ini, ada disediakan satu ruangan seperti itu. Nero sempat berkenalan dengan seorang ibu yang kemudian berbaik hati meminjamkannya bantal dan kain sarung.
Dan di sinilah dia, bercampur baur dengan yang lain. Entah kenapa rasanya malas mau pulang ke rumah. Melihat Tania yang selalu marah membuat hatinya sakit. 
Sebenarnya dia bisa menginap saja di hotel atau di apartemen, tapi Nero lebih mengkhawatirkan kesehatan Bram, walaupun sebenarnya sudah ditangani dengan cukup baik. 
Seorang owner sebuah perusahaan pasti mendapat perlakuan yang berbeda bukan? Mengapa dia harus khawatir?
"Mas, Mas. Ada yang nyariin." Seorang ibu menggoncang bahu Nero. Masih sangat mengantuk sebenarnya, tapi dia paksakan untuk bangun.
Nero tersadar lalu mengucek matanya. Dia melihat sekeliling, ketika mendapati Ovi berdiri di depannya, dia tersentak.
"Eh," Nero tertunduk malu. Tampilannya semrawut dengan rambut acak-acakan dan bekas ileran.
"Enakan tidur disini ya, dari pada di kamar sendiri?" Ovi meledeknya. Dia berdiri tegak sambil memperhatikan sekeliling. Tak bisa dia bayangkan jika tidur bersama dengan orang lain yang bahkan tidak dikenal. 
"Eh, kamu. Kirain siapa." Dia mengusap wajahnya, juga menguap beberapa kali karena masih mengantuk.
"Kamu nggak pulang tadi malam? Nginap di sini?" tanya Ovi. 
"Iya, nih. Khawatir sama Mas Bram. Jadi nginep," jawab Nero. Lalu dia berdiri, dan membersihkan bajunya yang kotor.
"Khawatir sama Mas Bram, apa ngambek sama Tania?" Ovi menggodanya. Tawanya pecah saat mengucapkan kata-kata itu. 
Nero tersenyum kecut. Baru saja hubungannya membaik, dan menikmati malam pengantinnya. Kini sudah rusak lagi semuanya. "Aku mau pulang dulu. Mau ganti baju." Dia berpamitan.
"Iya, sana! Kamu bau. Keringat campur alkohol." Ovi menutup hidungnya.
Lelaki itu berjalan menjauh dari keramaian orang di ruangan itu. Dia bahkan tak perduli dengan tampangnya yang kusut, bahkan sama sekali tak menanyakan kabar istrinya pada Ovi. Secepatnya harus sampai ke rumah. Dia harus ke kantor pagi ini, ada tanggung jawab yang harus diselesaikan.
* * *
Dengan perlahan masuk ke dalam ruangannya. Hari ini dia memutuskan pergi ke kantor. Dalam kondisi begini, perusahaan tidak boleh di tinggal sama sekali. Dia tetap harus memantau semuanya, proyek, karyawan, omset. Bahkan hari ini mereka sepakat mengadakan rapat direksi dadakan. Membahas semua pengelolaan perusahaan selama Bram terbaring koma di rumah sakit. 
Nero yang memimpin rapat. Tidak banyak orang karena memang sebagian ada yang sedang ada keperluan di luar negeri. Jadi mereka mengadakan teleconference di ruang rapat.
Setelah berjam-jam akhirnya mereka memutuskan segala sesuatunya. Posisi Bram akan di gantikan Tania anaknya. Walaupun belum berpengalaman, tanda-tangan Tania dibutuhkan untuk beberapa dokumen dan perjanjian kerja sama dengan klien. 
Dalam hal ini tidak boleh di wakilkan oleh siapapun termasuk Nero. Tania yang paling berhak karena adalah putrinya, dan saham atas namanya pun cukup besar di situ. Nero di percaya mengambil keputusan yang bersifat urgent asal dengan sepengetahuan direksi. 
Nero berjalan pelan kembali ke ruangannya. Bahkan makan siang pun kali ini dia minta diantar ke ruangan. Biasanya dia makan bersama seluruh staf di kantin lantai lima.
"Sudah selesai meeting-nya, Pak?" Nisa sekretarisnya menyapa. Sudah hampir tiga tahun ini gadis itu menggantikan posisi sekretarisnya yang lama, yang resign karena menikah.
Gadis itu diambil dari bagian administrasi karena hasil kerjanya bagus. Divisi HnD yang menawarkannya menjadi sekretaris Nero. 
"Iya," jawabnya singkat.
"Pak Bram gimana kabarnya?" Gadis itu meletakkan beberapa berkas di meja bosnya. Ada beberapa surat yang harus Nero tanda-tangani, itu sudah dia persiapkan sejak kemarin. "Masih koma?"
Lelaki itu mengangguk. Tetap fokus, tanpa banyak bicara dia menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Masih banyak yang lain yang harus diselesaikan hari ini juga.  
Melihat wajah atasannya yang kelelahan, gadis itu sedikit merasa iba."Bapak capek? Mau Nisa pesenkan kopi atau apa gitu?" tawarnya. 
Lelaki itu tersentak dan menatapnya lama. Dalam setahun ini, sudah beberapa kali sekretarisnya ini memberi kode dan sinyal cinta, tapi tak pernah dia tanggapi. Sayang, sepertinya Nisa belum mau menyerah walaupun dia tahu bosnya ini sudah menikah dengan wanita lain. Dia bahkan menghadiri pesta pernikahan mereka. 
"Apa?" Nero memijit kepalanya. 
"Bapak pusing?" Gadis itu mendekat. "Mau Nisa pijit?"
Nero mengangguk dan membiarkan gadis itu menyentuh kepalanya. Kali ini dia tidak menolak, justru malah memejamkan mata, menikmati pijatan lembut di belakang. Posisinya sendiri masih duduk di kursi kerja.
"Apa mau pindah di sofa?" tanya gadis itu.
Nero seketika berjalan dan merebahkan diri di sofa, kemudian memejamkan mata karena masih mengantuk. Gadis itu mengikutinya dari belakang. Lelaki itu mengambil posisi telungkup, sedangkan si gadis duduk menyamping. Roknya tersingkap sedikit menampakkan paha mulus. 
Tangan lentik itu mulai beraksi. Kepala, bahu, pundak dan pinggang si bos menjadi sasarannya. Dia melakukannya sembari tersenyum senang. Kapan lagi bisa menyentuh tubuh pujaan hatinya seperti ini? Si bos yang seksi juga menggoda.
Walaupun usianya sangat matang, Nero memiliki perawakan atletis. Wajahnya awet dan selalu tampak muda. Berbeda dengan Bram yang cenderung membuncit.
Pijatan lembut itu berganti menjadi belaian, yang tadinya bermain di kepala, kini malah turun ke bawah. Tangannya berhenti di dua bongkahan padat milik sang bos. Dia membayangkan bagaimana rasanya jika bisa memilik lelaki ini. Sekalipun hanya melihatnya dari belakang, Nero tetap saja memesona.
Nero mengerang dalam tidurnya, merasa dirinya diremas lembut dari belakang. Dia masih memejamkan mata dan membiarkan tangan itu bekerja. Rasanya nyaman sekali.
Eh, tapi tunggu dulu! Tiba-tiba saja dia tersadar. Ini kan di kantor. Apa istrinya datang ke sini dan memijatnya? Di antara rasa kantuk yang masih menggantung di mata, dia membuka mata dan berbalik.
"Tania?" Dia tersentak saat mendapatkan Nisa sedang bergerilya di tubuh belakangnya.
"Ba-pak." Dengan cepat gadis itu melepaskan tangan. Dia gemetaran dan gugup. Takut Nero akan memarahi karena sikapnya yang lancang.
"Ngapain kamu?" bentaknya.
"Tadi minta pijit, terus Bapak ketiduran," jawabnya gugup. Jantungnya berdebar kencang. 
"Saya minta dipijit. Kenapa kamu malah meraba tubuh saya?!"
"Maaf, Pak. Sa-ya ..." Dia tertunduk malu.
"Keluar!" usinya sambil menunjuk pintu. Tak habis pikir, kenapa gadis ini berani berbuat lancang di saat jam kerja. Untunglah dia terbangun karena merasa ada yang aneh. Jika tidak, bisa saja Nisa berbuat semaunya.
Dengan langkah gontai dia berjalan meninggalkan ruang kerja bosnya. Bisa bahaya kalau sampai lelaki itu marah. Nero memang tipe atasannya yang sabar dan tenang, jarang sekali terpancing emosi apapun masalah yang terjadi di kantor. Namun, untuk berkomunikasi dengannya juga gampang-gampang susah. Dia orang yang sangat serius dengan pekerjaan. Kadang-kadang bisa bercanda juga tergantung suasana hati, tapi lebih banyak diamnya.
Nisa tersenyum mengingat kelakuannya tadi, walaupun sang pujaan hati sempat menyangka bahwa dia istrinya. Menyentuh tubuh Nero terasa menyenangkan. Lelaki itu sempat mengerang menikmati sentuhannya. 
Gadis itu membayangkan bagaimana jika menjadi pendamping hidupnya. Pasti nyaman berduaan dan bermesraan dengannya. "Sayang, kenapa kamu memilih menikah dengan gadis kecil itu?" sungutnya. 
Padahal dia lebih cantik, seksi dan pintar. Bahkan dulu, Bram sering memuji pekerjaannya. Ingat ya, Nisa, kamu cuma karyawan biasa. Nero pasti lebih memilih wanita itu karena dia anak owner perusahaan.
Nero tertunduk dan meremas rambutnya di sofa. Sepertinya dia harus pulang sekarang. Sehari tak bertemu dengan Tania membuatnya resah. Tadi pagi di rumah sakit-pun hanya melihat Ovi. Saat dia pulang berganti pakaian, hanya ada Ijah yang sedang memasak di dapur. Entah Tania ke mana.
Dia rindu pada istrinya. 
Dia ingin bersamanya.
Dia ingin mendekapnya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    16d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    19d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด