logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Hangat

Aku merapihkan bajuku, dengan kedua mata tajam menyelidik memperhatikan penampilanku di depan wastafel. Aku tersenyum kecil, ketika melihat seluruh tubuhku yang sudah terbalut rapih dengan piyama panjang berwarna hijau toska.
Aku memutar knop pintu, mendorongnya perlahan. "Kau sudah sikat gigi?" pertanyaan tiba-tiba yang ku terima sesaat setelah membuka pintu kamar mandi.
"Wah! Kaget aku!"
Aku terlonjak kaget, ketika melihat pria bersurai hitam itu berada di depanku. Wajahnya yang terlihat datar, namun pandangan matanya hangat itu menyambutku.
Menyambutku secara tiba-tiba, membuat jantungku mendadak cepat.
"Aku bisa kena serangan jantung!" teriakku kesal tak terima.
"Hehehe maaf, aku hanya penasaran." Dia tertawa kecil. Wajahnya yang tampan itu terlihat senang saat melihatku terkejut.
Aku berdecih pelan, melewati pria bersurai hitam tersebut. "Kau tidak ingin mandi?"
"Ini aku ingin mandi," ujarnya sambil memasuki kamar mandi.
Aku mendudukkan diriku di ranjang, bersandar pada dinding asrama. "Besok, kira-kira apa yang akan aku lakukan."
Aku tertawa kecil, ketika mengingat hal-hal lucu yang terjadi di kebun apel tadi. Aku menghela napasku lega, menengokkan kepalaku ke luar jendela.
"Malam ini, nampak sangat damai dan cerah. Aku harap tidak ada hujan atau badai," gumamku.
"Arghhh!"
"Tidak!"
Badanku tersentak kaget, ketika mendengar suara jeritan seseorang yang tiba-tiba saja masuk ke telingaku.
"Apa itu?" tanyaku khawatir.
Tentu saja aku takut. Apalagi suara teriakan keras itu terdengar malam-malam seperti ini.
Meskipun rasa takutku tinggi, tapi rasa penasaranku tak kalah tinggi. Aku berjalan pelan, menghampiri pintu kamarku.
"Haruskah aku melihatnya?" tanyaku pada diri sendiri dengan tangan yang gemetar memegang knop pintu.
"Arghhh!"
Aku menutup telingaku. Suara teriakan tersebut, entah kenapa tiba-tiba menjadi suara berdenging. Aku menyatukan gigi-gigiku, merapatkan mulutku berusaha menahan suara dengungan tersebut.
"Karin?"
Badanku melompat sedikit, saat mendengar suara Ray dari dekat. Tangannya yang besar mendarat tepat di bahuku. "Hey, kau tidak apa-apa?"
Wajahnya terlihat khawatir. Mulutku kelu, Aku tidak bisa menjawab. Seakan ada lem yang menutupi bibirku. Dia mengelus suraiku lembut. Membawaku ke dalam perasaan nyaman.
"Tidak apa-apa, kau aman."
Aku pasrah. Untuk kedua kalinya, pria bersurai hitam ini memelukku. Tubuh yang tadinya menegang kini telah rileks akibat perlakuan manisnya.
Entah sihir apa yang dia pakai, hingga membuat tubuh sedingin es ini bisa mencair.
Aku menghela napasku kecil, memeluk balik tubuh pria tersebut sebelum menenggelamkan wajahku di dadanya.
"Rasanya nyaman. Aku baru mengenalnya beberapa hari, entah kenapa aku merasa sudah lama mengenalnya hingga bisa senyaman ini. Siapa sebenarnya pria ini?" batinku bingung.
***
Hari ini tidak ada hal special terjadi. Aku kelas seperti hari pertamaku datang ke sekolah ini.
Ya, Meskipun ada perbedaan. Hari ini, aku tidak pingsan dan tidak membuat keributan pada saat kelas pertama.
Hari ini kami belajar tentang komunikasi. Aku mendengarkannya dengan baik, bahkan mencatat banyak hal dari guru.
"Wah sehabis kelas aku jadi ingin makan sesuatu yang enak."
Ray tertawa kecil, mengambil tas salempang yang aku bawa secara tiba-tiba. "Ayo kita ke taman asrama. Di lorong menuju taman ada vending machine. Tempat itu menyenangkan, kau pasti akan menyukainya!"
Mataku berbinar takjub. Seakan tak percaya mendengar ucapan dari mulut pria itu. "Benarkah? Menyenangkan?"
Dia menggendong tasku di punggungnya sebelum menggenggam tanganku, mengamitkan jari-jermari kami menjadi satu. "Ayo kita ke sana!"
Dia membawaku berlari.
Aku hanya bisa pasrah, dan bingung. Kedua kakiku ikut maju, mengikuti langkah kaki pria yang lebih tinggi dariku itu.
"R-ray?"
"Hehe, tenang saja aku tidak akan menculikmu. Ikuti aku!" Dia tersenyum. Aku pun ikut tersenyum. Dengan keyakinan yang dia sampaikan padaku, aku semakin yakin untuk mengikuti laki-laki ini.
Langkah kedua kaki kami menggema, di sepanjang lorong yang sepi. Siluet-siluet orang-orang yang berlalu lalang di depan, semakin terlihat oleh mataku. Semakin membuatku yakin, bahwa di depan sana adalah tempat yang menyenangkan dan dipenuhi oleh banyak orang.
"Kita sampai."
Aku menghentikkan langkah kakiku. Pria yang membawaku ke sini tersenyum, menatap sebuah mesin berbentuk kotak dengan beberapa makanan ringan dan minuman di dalamnya.
"Kau suka rasa yang manis atau asam?" tanyanya sambil melepaskan tautan tangan kami.
Aku sedikit terkejut dan kecewa.
Entah apa yang merasuki diriku. Merasakan tanganku yang tak digenggam olehnya lagi, membuatku sedikit kecewa.
Aku mengerucutkan bibirku sebal, menatap mesin berbentuk kotak di depan.
"Kenapa kau terlihat sebal? Apa kau tidak suka dat--"
"Ah tidak!"
Aku menyanggah cepat kata-katanya. Tanganku bergerak, mengisyaratkan kata tidak pada Ray.
"Kalau begitu kau ingin yang mana?" tanyanya sambil tersenyum.
Aku bersenandung pelan, memikirkan rasa yang ingin aku makan sekarang.
"Oh! Bagaimana kalau makan wafer coklat ini ... minumnya soda lemon?" tanyaku sambil menunjukkan bungkus makanan ringan berbentuk kotak, dengan sekaleng soda lemon berwarna hijau.
Ray tersenyum lembut, dengan tatapan sendu menatap wajahku.
Aku memiringkan kepalaku bingung, mempertanyakan tatapan semuanya itu.
"Kenapa dia terlihat sedih?" tanyaku dalam hati.
Tubuh pria di depanku diam. Bukannya memasukkan selembar uang ke dalam mesin di depan kami, dia malah diam menatap mataku dalam.
"R-ray, kau tidak apa-apa?" tanyaku takut-takut sekaligus khawatir.
Dia menggelengkan kepalanya pelan, kemudian memasukkan beberapa bintang emas ke dalam mesin tersebut.
"Aku kira kau kerasukan hantu tadi," gurauku.
Dia tertawa, dengan jari-jari yang sibuk memencet mesin di depannya. "Tidak, aku tidak percaya hantu."
Aku menganggukkan kepalaku, mendengar ucapannya membuat diriku terasa aneh. Lantaran telah dua kali melihat sosok nenek tua.
"Atau itu bukan hantu?" batinku bingung.
"Lagi pula aku terdiam bukan karena hantu," lanjutnya sambil memasukkan makanan dan minuman ke dalam tasnya. Dia menatapku, mengamit jari-jari tanganku lagi seperti tadi dengan tiba-tiba.
"R-ray," lirihku gugup.
"Aku memikirkan, hal lain. Yaitu kau."
Seperti itulah keadaan otak dan perutku. Gumpalan lemak di pinggang ini terasa seperti dijajah oleh ribuan kupu-kupu, rasanya geli dan berdebar. Sedangkan pipiku, menghangat akibat aliran dari jantungku yang berdegub sangat cepat.
"A-aku?"
Dia mengangguk pelan, tersenyum hangat padaku. "Iyah kau. Kau ... sama sekali tidak berubah."
“Apa yang berubah? Aku jadi penasaran,” batinku gemas.
Kami berdua pun mulai berjalan.
Berjalan layaknya sepasang kekasih yang baru saja berpacaran.
Berpegangan tangan, dengan laki-laki yang membawakan tas salempang perempuannya.
Aku mengedarkan pandanganku, melihat taman yang dipenuhi dengan bunga warna-warni.
Banyak sekali tumbuh-tumbuhan di sini.
Ada pohon berdaun jingga, ada yang berdaun hijau, ada bunga-bunga berwarna merah muda, kursi taman berwarna putih, dengan kolam mini di tengah taman.
Ray berjalan, membawa langkah kaki kami mendekati kursi taman yang terletak di depan kolam.
Sesampainya di sana, Ray kembali melepaskan tangannya kemudian duduk di kursi tersebut.
Aku sedikit membeku, melihat taman yang nampaknya tak asing ini. Aku mengerutkan dahiku bingung, sambil berpikir kenapa aku merasa pernah ke sini.
“Apa aku pernah ke sini?” batinku.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (47)

  • avatar
    AqilMuhammad

    I so like it and its the novel

    1d

      0
  • avatar
    Dimaspryoga

    NOVEL NYA SANGAT BAGUS

    22/07

      0
  • avatar
    AdiAfriadi

    yes

    18/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด