logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

One Day

One Day

ArgaNov


บทที่ 1 Mereka Bilang Aku Akan Mati

“Jangan bercanda!” Aku membanting hasil pemeriksaan ke atas meja. Ini pasti ada kesalahan di dalamnya.
“Tenang, Bapak, tenang dulu.” Dokter di depanku menenangkan, ikut berdiri bersamaku.
Suster yang ada di sisi lain berdiri dan mundur, takut melihat amarah yang menguasai wajahku. “Ini pasti salah.” Aku berkata sambil menunjuk map warna biru, apapun isi di dalam sana pasti salah.
Dokter di depanku tersenyum. “Dengar dulu penjelasan saya, ya, Pak. Silakan duduk kembali,” pintanya. Ia duduk lebih dulu di bangkunya dan dengan tatapan penuh sabar memintaku kembali duduk.
Aku tidak serta merta melalukan permintaan Dokter. Selama beberapa saat aku tetap berdiri di tempat berkacak pinggang, menyisir seluruh isi ruangan periksa Sang Dokter. Setelah membuang sedikit kemarahan melalui dengusan, akhirnya aku duduk kembali. “Ulangi pemeriksaan!” tegasku. “Ada yang salah dengan prosedurnya, mungkin. Atau hasil pemeriksaan tertukar.”
Dokter itu meraih map biru dengan jari-jarinya yang kurus dan lentik. Ia membentuk senyum samar di bibir sebelum mengangkat pandangan dan tersenyum padaku. “Tidak ada yang salah dengan hasilnya. Map ini juga tidak mungkin tertukar.”
Dokter mengatakan itu dengan yakin. Ia baru saja memberitahu kalau aku akan mati. Seluruh tubuhku mendadak lemas mendengar kabar buruk ini. Aku sehat. Sangat sehat. Aku tidak memiliki riwayat penyakit serius kecuali flu dan sakit kepala karena kurang tidur, itu semua juga sangat jarang. Lalu bagaimana semua ini bisa terjadi. Bagaimana mungkin aku didiagnosa menderita kanker.
Aku memejamkan mata sebentar, lalu berdiri. Semua informasi yang disampaikan tentang penyakitku ini tidak kumengerti. Stadium apa? Pengobatan apa? Aku berdiri di depan pintu ruang periksa. Dokter di dalam sana memanggil namaku beberapa kali. Tidak peduli lagi, semua sudah berakhir.
***
“Sur, hari ini kamu datang, kan?”
Gadis cantik di depanku menarik perhatian. Gaunnya yang berwarna merah maron kontras dengan kulit putih yang dibalut. Sungguh ciptaan Tuhan yang Indah. “Ya.”
“Pestaku mulai jam sembilan malam. Aku tidak mau kamu telat.” Ia menghentakkan kaki beberapa kali. Ujung gaun yang menutupi pahanya bergoyang, membuat darahku berdesir.
“Tidak akan. Kapan aku pernah telat?” Sebenarnya setiap kali ia mengadakan pesta, aku selalu telat paling tidak satu jam. Masih seperti sebelumnya, aku bertekad untuk tidak telat tentu saja. “Kamu harus tampil paling cantik.” Aku mencolek dagu gadis cantik yang sudah duduk di sebelahku setelah melakukan aksi bersikap manjanya.
“Aku selalu tampil cantik.” Ia berkata dengan pongah.
Aku akui jika itu amat sangat benar. Nesya selalu tampil cantik untuk dirinya dan diriku. Ia tak pernah membuat malu setiap kali bergandengan denganku. Aku. Surya. Seperti namaku, aku bersinar dengan pongah bukan tanpa sebab. Di usia 25 tahun, hidupku terbilang sempurna. Aku mampu menafkahi diri sendiri dan keluarga—dalam hal ini hanya Ibu yang masih hidup—bahkan lebih dari kata cukup. Orang-orang menilai penghasilan dari usaha ritel begitu “wah”. Mereka hanya tidak tahu bagaimana usahaku untuk mencapai semua.
“Astaga, kamu baru datang, Sur. Nesya udah uring-uringan dari tadi tuh.”
Aku tersenyum dan bergegas masuk ke dalam ruangan. Taman sudah dipenuhi orang-orang yang menyanyi dan juga menari. Seperempat dari mereka bahkan sudah separuh mabuk. Nesya ada di antara gadis-gadis cantik lainnya. Aku bisa menggenalinya dari belakang. Ia memiliki tubuh sintal yang membuat hati jumpalitan.
“Maaf, sayang.” Kukecup pipinya setelah memeluknya dari belakang.
Ia melepaskan peganganku dengan cepat dan menjauh beberapa langkah. Teman wanita yang ada di sekitar Nesya tadi memilih menjauh pergi. Tinggal kami berdua saja kini, bahkan orang-orang dalam ruangan menghilang dengan cepat.
“Kamu janji tepat waktu,” tuding Nesya sambil memeluk dirinya sendiri.
“Aku sudah berusaha.” Aku mengatakan hal yang sebenarnya. Nesya tak tahu bagaimana aku bisa sampai ke mari, melanggar beberapa lampu lalulintas dan menyenggol seorang pengendara becak. Untung saja pengendara becak itu tak luka, bisa panjang urusannya jika itu terjadi.
“Kamu selalu berusaha ….” Nesya mengalungkan tangan dileherku. Lalu menampar pipiku cukup keras hingga aku meringis. “Berusaha berbohong, kan?” Aku terdorong beberapa langkah karena dorongan di dada. Ia kembali bersidekap.
Aku merogoh saku. Saatnya menggeluarkan senjata rahasia. Ia tak akan menolak ini sebab sangat menginginkannya. “Ya, sudah. Kalau begitu benda ini akan kuberikan saja pada Mami untuk koleksi. Mami tak akan memakainya, terlalu modren.” Kulirik ia sedikit dengan ekor mata. Ia terlihat menjulurkan kepala ingin tahu. Matanya berbinar senang saat tahu itu adalah benda yang diinginkan.
“Kamu membelinya?”
Aku berusaha menahan senyum. “Kamu tidak menginginkannya lagi, kan?” Wajahku mengatakan jika ‘aku akan segera membuang benda ini kalau begitu’.
“Tidak … tidak.” Nesya menyambar kalung dengan berlian hampir sepertiga bagian dari tanganku. “Aku menginginkannya.” Sebelah tangannya merangkul pinggangku kini.
Aku tersenyum puas. Dengan uang yang kuhasilkan, bahkan aku bisa mengendalikan emosi orang lain. Semua orang membutuhkan uang. Siapapun itu, mereka akan tunduk di depan kertas-kertas nilai tukar itu.
***
Aku tidak jadi pulang. Aku malah duduk di taman rumah sakit melihat bunga-bunga yang bermekaran di sana. Salah satu jenisnya aku kenali, namanya sangat akrab dengan kenanganku. Namun, kali ini tidak bisa kusebutkan.
“Hai ….”
Mau tak mau aku menoleh dan menemukan seorang gadis berpakaian perawat. Aku mencoba mengingat apakah memiliki kenalan seorang perawat. Sayang sekali otakku buntu.
“Walaupun manusia memiliki 150 triliyun sel otak, kita hanya bisa mengingat 150 orang. Kamu mungkin tidak ingat padaku lagi. Sayang sekali aku selalu ingat padamu.” Gadis dengan pakaian perawat bicara panjang lebar. Ia memasukan kedua tangan ke dalam saku baju sambil bicara.
Aku kembali mengingat-ingat seseorang seperti yang sedang duduk di sampingku dan hasilnya masih sama. Aku tidak berhasil menemukan sebuah nama atau potongan memori apapun. “Apa kita pernah bertemu?” Memang tidak sopan bertanya seperti itu pada seorang gadis. Akan tetapi tidak ada yang bisa kulakukan.
Ia tanpa ragu-ragu menggulurkan tangannya padaku. Aku yang kini takut menerima uluran tangannya. Bagaimana jika ini adalah sebuah modus penipuan baru? Berpura-pura menjadi perawat dan menyapa pasien di rumah sakit ini.
“Jangan takut tanganku tidak mengigit.”
Kata-katanya barusan menyentak ingatanku pada kenangan saat SMP kelas satu. Pada gadis dengan potongan rambut pendek dan jerawat bersemi. Gadis yang tubuhnya lebih tinggi 10 cm dariku, membuatku ingin memanggilnya dengan sebutan tiang listrik. Apa mungkin? Perawat di sampingku sama sekali tidak membawa sedikit pun kenangan tentang gadis itu. Selain berhijab, perawat yang sok kenal ini manis sekali.
“Aku Jingga. Gadis tomboy yang waktu itu mengaku jadi pacarmu saat SMP.”

หนังสือแสดงความคิดเห็น (73)

  • avatar
    Suati

    bagus dan seru enak nanti aku sebarkan ke tiktok seru

    17/08

      0
  • avatar
    C_21_088_WanDheryD

    keren banget

    19/07

      0
  • avatar
    RefaFerdiansyah

    mantap

    16/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด