logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

6. Satu Rahasia

Setelah memastikan Wulan pulang dengan selamat. Aku langsung memacu mobilku menemui seorang psikolog yang kukenal.
Tidak. Aku tak tahu apa pun tentang kondisi Wulan saat ini.  Jadi, aku tak mengatakan apa pun padanya, hanya membuat janji. Bukan. Tentu bukan wulan yang akan kubawa menemuinya nanti. Melainkan Bunda. Beliau lebih tahu keadaan Wulan. 
Jika aku gegabah dan langsung mengajak Wulan menemui psikolog. Ini akan aneh baginya. Sebab ia sendiri belum menyadari tentang keadaannya sendiri.
Benar. Sebelum aku menikahi Wulan, dua tahun lalu. Bunda memberitahu satu rahasia agar aku berjaga-jaga.
Wulan pernah mengalami hal serupa 15 tahun lalu.  Sang ayah, yang frustrasi setelah mengalami kecelakaan kerja dan kecacatan memutuskan untuk mengakhiri hidup. Naasnya, jasad beliau yang tergantung pertama kali ditemukan oleh Wulan. Usianya baru 12 tahun saat itu. Namun, hal yang menimpanya menyisakan trauma yang berat.
Tapi, aneh pada keesokan harinya. Wulan tak mengingat apa pun tentang ayahnya.  Psikolog yang menangani Wulan menyatakan ia mengalami Amnesia disosiatif.
Psikolog juga menjelaskan, bahwa amnesia ini bisa saja mengembalikan memori yang hilang dalam jangka waktu yang gak bisa diduga. Jadi, untuk menghindari hal itu. Bunda memutuskan untuk melakukan terapi hipnosis pada Wulan dan membuat memori palsu. 
Berhasil. Tentu saja. Bahkan hingga sekarang yang Wulan tahu, sang Ayah meninggal karena kecelakaan.
Rahasia itu pula yang Bunda ceritakan terhadap Rayyan. Lelaki yang melamar wulan dua bulan sebelumku. Sayangnya, Rayyan tak berani mengambil risiko. Ia takut dan akhirnya mundur teratur.
Ah, Ya. Setelah membuat janji dengan psikolog Rudi tadi. Aku menghubungi Bunda dan meminta beliau memaksa Wulan pulang ke apartemen. Agar setelahnya, aku bisa membawa beliau berkonsultasi dengan Rudi.
***
"Kamu yang tenang ya Inu. Bunda tahu, belum juga hilang sedihmu karena berduka. Kamu harus menghadapi kenyataan lain." sepanjang jalan pulang Bunda menguatkanku.
"Semoga proses terapinya nanti kembali berhasil. Dan hubunganmu dengan Wulan akan baik-baik saja, Bunda gak tau lagi jika suaminya itu bukan kamu. Ia pasti sudah meninggalkan Wulan dalam keadaan begini."
Aku malah menitikkan air mata. "Inu yang salah Nda. Karena lalai, semua jadi begini dan Wulan harus melalui hal yang berat lagi. Sungguh. Inu sepertinya tak layak untuk terus di sisi Wulan." aku menyalahkan diri sendiri. Apalagi? Memang benar semuanya salahku. Hari itu terjadi, karena kelalaian bodohku.
"Sudah. Bunda tau itu kecelakaan. Gak ada yang harus disalahkan. Sekarang kamu harus berjuang lagi demi Wulan. Jangan menyerah ya." lihat Bunda. Ia benar-benar orang tua yang luar biasa.
***
Malam harinya, kebetulan saat Wulan mengajakku ke warung tenda untuk makan nasi goreng. Aku mengirimi Bunda pesan singkat.
[Nda, malam ini sudah bisa bawa orang buat pasang internet protocol camera. Kartu apartemen Inu tinggal di lobi.]
Ya. Aku dan bunda sepakat untuk mengawasi Wulan. Agar gak terjadi sesuatu yang gak kami inginkan saat ia sendiri. Itu pun atas saran psikolog yang kami percayai. Ia juga ikut memantau perilaku Wulan sebelum melakukan terapi hipnosis.
Oh. Aku hampir melupakan Wulan yang kini di hadapanku.
Ia tampak memijat kening diantara mata.
"Kenapa Lan? Pusing? Sudah. Jangan memaksakan diri untuk mengingatnya," tebakku.
"Besok mau periksa dulu ke dokter? Kucoba memberinya saran.
Wulan mengangguk ragu.
Ya, tentu. Aku harus membawa Wulan ke dokter, untuk memeriksa fisiknya juga. Setelah itu melanjutkannya ke psikolog Rudi.
Hari berikutnya, setelah mengantar Wulan menemui dokter Ratna. Aku mendapat jawaban yang hampir mirip dengan yang dikatakan psikolog Rudi. 
Tapi, bedanya. Tak kuceritakan penyebab amnesia yang di alami Wulan. Mana mungkin aku membeberkan hal yang seharusnya kututupi dari Wulan di hadapan dokter tersebut. Bisa-bisa mati konyol aku dibuatnya. Ingatan Wulan gak boleh kembali sebelum ia di terapi dan membuat ingatan palsu untuknya.
Dari dokter, Wulan minta diantar ke rumah Bunda. Ku turuti saja. Sebab, setelah ini aku harus ke kantor polisi. Kukatakan pada Wulan, aku harus segera kembali ke kantor. 
Di laci dashboard, kulihat kembali surat yang di kirimkan pihak penyidik kemarin. Memastikan tanggal seharusnya aku memenuhi panggilan. Aku menarik napas berat. Tanggal tersebut tepat hari ini.
***
Pukul 18.30, aku baru kembali ke apartemen. Lebih lambat dari jam kantor biasanya. Sebab, setelah menemui penyidik, aku harus menyelesaikan sebuah konten untuk kolega, ia ingin memasarkan perumahan subsidi perusahaannya.
Wulan terlihat termenung saat aku tiba dan itu menimbulkan satu ide untuk membuatnya merasa lebih baik.
"Siap-siap Lan, ikut Abang yuk." 
"Mau ke mana sih Bang?
"Udah, ikut aja. Kita jalan-jalan sebentar.” Kudorong lembut punggungnya ke arah kamar
Untungnya ia menurut saja.
Tiba di tempat tujuan wajah Wulan merekahkan senyum. Kubawa ia ke pasar malam. Tempat yang pernah kami kunjungi dulu.  Akan kubuat Wulan mengingat hal-hal indah tentangku saja. Masa bodoh jika sikapku kali ini egois, aku hanya gak mau kehilangan Wulan.
"Kamu suka bianglala kan? Ayo kita naik wahana itu."  Aku menggenggam tangannya menuju wahana yang  kusebutkan tadi.
Raut Wajah bahagia yang ia tunjukkan itu, sungguh aku tak ingin Wulan membenciku dan membuat kehilangan segala tentangnya.
"Pemandangan langit dari atas sini semakin indah. Dulu, saat bianglala ini berhenti tepat kita berada di bagian puncak, kamu akan menyukai ini. Benar kan?" kucoba memancing ingatan lama Wulan, saat bianglala yang kami naiki mulai berputar.
"Langit gak akan pernah terlihat dekat, meski kita semakin tinggi sekarang,” ucap kami bersamaan.
Dia masih ingat, aku masih punya harapan bisa membuat Wulan ingat kepadaku, bukan? Kupalingkan sebentar wajah untuk menghilangkan embun yang merebak tiba-tiba menyelimuti bola mata.
Turun dari bianglala, kuajak Wulan membeli gulali, camilan wajib saat berada di pasar malam. Sesekali kulihat ia  memandangiku. Ya Tuhan .... Andai saja tak ada kejadian hari itu, yang membuat Wulan lupa terhadapku. Sudah pasti  langsung kupeluki ia sekarang.
"gulali satu ya Kang. Yang masih anget." pintaku pada Akang penjual.
"Lucu si Aa mah, mana ada atuh arum manis anget," tanggapnya sambil tertawa.
Wulan terdengar cekikikan. Sungguh menggemaskan.
"Maksudnya itu Kang. Yang baru jadi, istri saya gak mau yang udah di bungkus." Kulirik Wulan di samping sambil mengoreksi kalimatku.
Ia masih saja memandangiku seperti tadi.
"Kenapa Lan? Jatuh cinta lagi kan sama Abang?" Aku menggodanya.  
"Ge er!" Wulan memalingkan muka, aku tahu ia menyembunyikan semu merah di pipinya. Dan aku menyukai itu.
Namun, menit berikutnya ia setengah berlari meninggalkanku.
"Eh, Lan ke mana?" 
Wulan mengabaikanku, ia menghampiri seseorang yang kukenali sebagai Rayyan.
Ada rasa perih saat aku tahu kenyataan ini. Ia lupa denganku tapi Rayyan, seseorang dari masa lalunya masih ia ingat.
Namun, sesaat kemudian kutepis pikiran itu. Ini bukan maunya Wulan. Berkali-kali kukatakan itu dalam hati. Lalu, kuputuskan ikut menyusulnya. Aku suaminya sekarang dan Rayyan tahu itu.
Kupercepat langkah saat dari jauh kulihat tubuh Wulan limbung. Untungnya dengan cepat aku tiba dan menangkap pinggang rampingnya.
Sudah bisa ditebak, kenyataan yang di katakan Rayyan pada Wulan pasti tak bisa diterima akalnya saat ia amnesia begini.
"Apa Wulan Sakit lagi?"  tanya Rayyan heran.
Aku hanya mengangguk menanggapinya.
Wulan semakin tampak gak nyaman dengan keadaan ini.
"Kita pulang sekarang," pinta Wulan akhirnya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (20)

  • avatar
    Juarnhy Kase

    Ceritanyq sangat bagus

    6d

      0
  • avatar
    NinaNina

    bagus sekali ceritanya

    05/07

      0
  • avatar
    Qaisara Arshad

    best😻

    04/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด