logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

5. Bunda Kira, Aku Sakit Mental?

"Wulan, tenang. Dengar penjelasan Bunda dulu ya." beliau mendekat dan mengelus bahuku. Namun, kutepis dengan kasar.
"Penjelasan seperti apa? Hah! Bunda mau jelaskan kalau semua ini demi uang? Iya! Lalu Bunda setuju kerja sama dengan Wisnu untuk membuat konten menarik dengan memanipulasi pikiranku! Begitu? Ha ha ha." aku bertepuk tangan puas karena berhasil membongkar rencana mereka.
"Gak Lan. Bukan begitu. Kamu harus dengar dulu agar semua jelas." Wisnu menimpali.
"Semuanya sudah jelas brengsek!" aku melempar ponsel padanya. Layar depan sengaja kutampilkan komik yang kubaca semalam.
"Kau terinspirasi dari itu kan? Mencari ketenaran dengan menipuku! Kau pikir hidupku ini lelucon!" teriakku. 
"Dan setelah ini, saat rencana kalian berhasil. Semua orang akan memujamu karena kehebatanmu membuat konten menarik. Menjadikanku seakan-akan hilang ingatan. Membuatku percaya bahwa aku istrimu. Lalu, setelah kontenmu sukses kau akan pergi begitu saja dan mencari target lain, begitu kan? Jawab Brengsek! Begitukan rencanamu?" ingin kumuntahkan semua sumpah serapah andai saja Bunda gak di sini.
Rongga dadaku sesak sekarang. Nyeri serasa diremas dengan kencang. Aku hampir saja mempercayai tipuan ini. Kukira Wisnu tulus melakukan semuanya untukku. Tahu semua tentangku bahkan sampai detail terkecil. Namun, semua itu palsu. Semua hanya demi tayangan bodoh yang akan ia jual.
Bunda tertunduk di hadapanku. Ia mulai terisak keras. Aku gak peduli! Meskipun ia orang yang melahirkanku, aku gak akan bisa memaafkannya karena hal ini.
Bagaimana bisa? Beliau satu-satunya orang yang kupercaya, juga ikut ambil bagian mengelabuiku.
"Bunda yang meletakkan kamera itu di apartemenmu Lan? Sungguh karena semata ingin melindungimu." dengan suara bergetar dan terisak ia menjelaskan.
"Melindungi?"  Sekali lagi aku terbahak. Ini gila. Benar-benar gila.
"Kalian sudah mengelabui, menipu, dan memanipulasi jalan pikiranku. Lalu, sekarang kalian bilang itu melindungi? Ini gak lucu!" teriakku lantang hingga aku merasakan ada sayatan di kerongkongan.
"Sungguh Wulan. Ini bukan seperti yang kamu pikir." Wisnu menyerahkan ponsel padaku.
"Kamu salah paham. Coba lihat Bunda sebentar dan dengar penjelasannya. Setelah itu kamu boleh melampiaskan semua amarahmu pada Abang." 
"Aku jijik menyebutmu Abang!" hardikku sambil melotot ke arahnya.
Tapi, kalimat Wisnu selalu mengandung hipnotis. Kini kutatap Bunda yang sedari tadi hanya terisak.
"Wulan, ingat waktu Bunda tanyakan di mana kamu mengganti baju?"
"Tentu,"  sahutku. "Pasti kamera terhubung dengan jaringan lain lagi selain di laptop Bunda, bukan? Itu di kantor si brengsek itu!" ungkapku geram.
Bunda tampak menggeleng lemah. Ia menyeka air matanya sebentar. Lalu, memperbaiki posisi duduknya.
Aku menunggu beliau membuka mulut dan mengatakan kebohongan apa lagi? Sekarang aku harus bersiap untuk apa pun itu.
"Satu lagi ada pada seorang  psikolog. Seorang ahli yang dipinta Wisnu menanganimu," tuturnya pelan. Tapi aku bisa mendengar jelas hal itu.
"Psikolog? Bunda kira aku sakit mental?" sungguh, ini semakin membuatku bingung.
"Bukan Lan, bukan tentang itu. Kami sangat khawatir dengan keadaanmu, setelah kejadian hari itu. Bahkan saat keluar dari rumah sakit, kau hanya meminta Bunda membawakan beberapa bajumu untuk pergi ke seminar. Seakan tanpa mengingat apa pun yang terjadi sebelumnya." Bunda langsung menutup mulutnya setelah mengatakan hal itu, seakan ia usai membongkar satu rahasia.
Tunggu. Kejadian hari itu? Rumah sakit? Jantungku serasa kembali ditinju! Telinga mendadak berdengung hebat. Seketika pula dadaku seakan penuh sesak dengan duri. Air mata tiba-tiba mengembun begitu saja. Aku sulit bernapas. Lalu, kepalaku serasa di jatuhi dunia. Pandangan juga perlahan menjadi gelap.
PoV Wisnu
Cuaca hari ini panas menyengat. Aku duduk di pelataran terminal sambil menggulung lengan kemeja putihku. Gerah. Saat ini aku tengah menunggu Wulan dengan cemas. Bukan hanya cemas. Jantungku pun berdegup keras. Takut.
Takut Wulan masih membenciku karena kejadian hari itu.
Satu bus datang. Dan tidak lama setelah itu, para penumpang mulai turun. Begitu juga dengan Wulan. Aku mulai mendekat. tapi, menit berikutnya kembali kuurungkan menghampirinya.
Setelah pedagang asongan yang di dekat Wulan pergi, Aku mulai mengekor di belakang Wanita dengan rambut panjang tergerai itu. Wulan tampaknya belum menyadari kehadiranku di belakangnya.
Ide jahilku tiba-tiba muncul. Mungkin dengan sedikit bercanda Wulan tidak akan lagi marah padaku. Sungguh, sebenarnya aku masih takut jika Wulan benar-benar membenciku karena kejadian hari itu.
Tanpa pikir panjang, kutarik salah satu tali ransel di pundak Wulan. Tapi, aku tak menyangka jika Wulan akan jatuh terjengkang. Untung saja aku dengan sigap menangkap tubuh rampingnya. Namun, sayangnya aku tak bisa menghindari tumpahan air dari botol Wulan yang ternyata sudah dibuka.
Kuusap pelan wajah Wulan yang basah. Kami saling tatap dalam beberapa detik. Aku mulai  lega. Wulan tak bereaksi marah. Rasa syukur kugumamkan dalam hati. Tetapi, belum satu menit. Wanita dalam lenganku ini mengentakkan kaki dengan kuat. Sontak aku langsung mengaduh, sebab entakkannya tepat mengenai jempol kakiku.
Tol ...." Wulan malah ingin berteriak. Tapi, dengan sigap kubekap mulutnya.
"Kamu ngapain mau teriak sih Lan? Abang cuma mau bawakan tas kamu," tuturku cepat.  Ah, sebenarnya ini hanya alasan, agar Wulan tak marah dengan ulahku barusan.
Namun, wanita dengan rambut panjang ini malah membulatkan bola mata. Memutar leher hingga tanganku terpelintir dan bekap di mulutnya terlepas
"Abang? maksud Anda? Saya anak tunggal, “ucapnya dengan wajah kebingungan.
Wulan tak mengenali ku? Ah. Ini di luar dugaan. Tapi, setidaknya kali ini aku memiliki waktu dan menyiapkan hati untuk menjelaskan semuanya dengan perlahan nanti.
"Ya ampun wulan .... Sama suami sendiri ini, lupa?" aku menepuk dada berulang
Wulan terdiam dan malah mengamatiku dengan ekspresi yang sukar ditebak.
"Udah Lan, jangan banyak tingkah ah. Abang udah kepanasan ini nunggu dari tadi. Yuk pulang," bujukku lagi.
Dengan wajah polosnya, Wulan hanya melongo.
"Ayok Lan, jangan bengong aja." Aku sedikit memaksa dengan menarik lengannya.
Wulan mengentakkan tanganku dengan keras. "Stop! Anda jangan coba-coba menipu saya."
"Astaga Wulan... Nipu gimana?" Aku berusaha menyangkal.
"Mana buktinya kalau memang Anda suami saya? KTP. Buku Nikah. Mana?" ia menadah tangan.
Dengan terpaksa kukeluarkan dompet dari saku. Lalu, menyerahkan KTP pada Wulan.
"Buku nikahnya mana?" todongnya lagi.
"Kesambet apa sih Lan? Buku nikah ya di rumah. Mana mungkin abang bawa-bawa." Kusentuh dahi Wulan. Terasa normal. Tak ada tanda-tanda demam.
Wulan malah mundur sekarang.
"Apa jangan-jangan kepalamu habis terbentur kah? Hilang ingatan ceritanya ini?" Sungguh, aku semakin takut sekarang.
"Cukup ya, kalau Anda mau menipu, saya bukan target yang layak! Saya bukan orang beruang. Jadi tolong hentikan!"
Aku berpikir sejenak. Apa Wulan kembali amnesia?
"Astaga Wulaaan. Kamu habis kebentur beneran ini?" Ku pasang mimik wajah bingung.
Wulan sekarang  malah komat-kamit tak jelas. Aku hanya bisa melihat gerakan mulutnya, tak tahu apa yang wanita tersebut ucapkan.
"Ya udah. Gini deh, kalo emang kamu gak percaya gak papa. Capek juga Abang jelasin dari tadi, kamunya malah berbelit-belit. Abang bingung sendiri. Kita pulang masing-masing. Abang tunggu di rumah."  Dengan terpaksa aku mengalah.
Namun, sebelum sampai di tempat parkir, aku kembali lagi menghampiri Wulan. Ah, aku hampir saja melupakan ini.
"Kunci Apartemen. Abang mau ke kantor dulu," terangku sambil menyodorkan sebuah kartu.
Wulan hanya melongo saat menerimanya.
Sepanjang jalan, aku diserang rasa tak tenang. Sungguh, aku begitu mengkhawatirkan kondisi Wulan sekarang. Apa mungkin kejadian hari itu yang membuat Wulan kembali amnesia? Lalu, saat amnesia begini. Apakah Wulan ingat jalan pulang?
Meski lamban, aku menyadari kebodohanku. Geram. Kuayunkannya tinju dengan keras pada kemudi. Beberapa pengguna jalan terdengar mengumpat karena suara klakson yang mendadak dari mobilku. Aku tak peduli, dengan segera kuputar haluan.
"Aku harus membuntuti Wulan. Dan memastikan ia pulang dengan aman." gumamku.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (20)

  • avatar
    Juarnhy Kase

    Ceritanyq sangat bagus

    6d

      0
  • avatar
    NinaNina

    bagus sekali ceritanya

    05/07

      0
  • avatar
    Qaisara Arshad

    best😻

    04/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด