logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

3. Ada Rahasia di Kamar Bunda

Seperti janjinya semalam, pagi ini Wisnu membawaku menemui seorang dokter. Anehnya dokter yang menanganiku gak mendapati kejanggalan apa pun dari pemeriksaan fisik. Selain itu, dia juga mengajukan banyak pertanyaan.
Benturan keras di kepala? Kejang?  Dan berbagai macam lagi yang kusahuti semua dengan satu kata, 'gak ada'.
Dokter menyimpulkan aku hanya stres  atau trauma berat yang menjadi penyebab amnesia disosiatif. Jenis amnesia ini tentu berbeda dari Amnesia biasa yang bisa disebabkan penyakit atau benturan di kepala.
"Bisa jadi, memori tentang pernikahan ini masih ada, hanya tersimpan di bagian terdalam, butuh pemicu untuk membuat ingatan ini kembali, jadi Pak Wisnu, sebagai suami perlu bersabar. Dan cobalah lakukan hal-hal yang sering kalian lakukan bersama dulu. Mungkin salah satunya bisa menjadi pemicu kembalinya ingatan istri Anda," Terang dokter dengan name tag Ratna itu.
Dokter Ratna juga menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan ke psikolog jika aku mengalami keluhan lain.
***
Bunda mangut-mangut saja saat kujelaskan tentang kondisiku. Sedangkan Wisnu, setelah mengantarku ke rumah langsung kembali ke kantor dengan meninggalkan kartu apartemen padaku.
"Barangkali kamu mau pulang duluan setelah dari rumah Bunda."  Begitu tuturnya tadi.
Sambil menunggu Bunda menyiapkan makan siang, aku berniat membuat draft untuk bab baru cerbungku di sebuah aplikasi. Dan satu hal lagi yang baru saja kusadari. Setelah membaca beberapa bab sebelumnya, aku kebingungan sendiri. Tema macam apa yang kutulis ini?
Tulisan-tulisanku sebelumnya gak pernah menyongsong Tema perpelakoran atau perselingkuhan seperti ini. Dari pada semakin kebingungan sendiri, cacat alur dan jalan cerita jadi ambigu. aku mengurungkan niat untuk melanjutkannya. Masih ada cerbung dengan judul lain. Bertema horor, yang gak kalah ramai pembacanya  dari pada cerbung pelakor tadi.
Laptop lupa kubawa, jadi aku menulis di ponsel. Hampir satu jam bergelut dengan layar 7 inc tersebut. Hingga tanpa sadar  baterainya hanya tersisa dua persen.
"Nda, ces hape mana? Aku gak bawa." Teriakku dari ruang tengah yang hanya bersekat dinding dengan dapur.
"Di kamar Bunda, ambil sendiri. Di rak kedua nakas, dekat colokan,"  balasnya yang juga berteriak.
Belum sempat kuraih gagang pintu, bunda sudah terbirit-birit dari dapur.
Beliau tampak mengatur napas sebentar. "Tunggu!" ia menahan tanganku. "biar Bunda ambilin, kamu tunggu sana." ditunjuknya kursi ruang tengah. Lalu ia masuk kamar dengan buru-buru dan kembali menutup rapat pintu.
Ada apa dengan Bunda? Biasanya aku di bebaskan keluar masuk kamarnya. Kenapa kali ini aneh begitu? Seperti ada yang beliau tutup-tutupi.
Lalu, saat beliau keluar, pintu kembali dikuncinya. Heran. Apa yang dia sembunyikan di sana?"
"Lain kali, apa-apa bawa sendiri, jadi Bunda gak repot urusin barang remeh untukmu begini,” gerutunya dengan wajah tertekuk.
Nah, kan? Hal sepele begini bisa panjang kali lebar omelan Bunda jika gak segera diangguki.
"Gimana dengan Wisnu? Kamu gak galak-galak kan sama dia?" Bunda malah ikutan duduk sekarang.
"Gak Nda, mau galak juga gak kenal," selorohku.
Bunda terkekeh.
"Sabar ya Lan. Nanti, Lama-lama juga ingat lagi."
“Hmm.” Kukerutkan kening, sungguh aku gak mengerti keanehan sikap Bunda hari ini.
"Kamu ces hape sambil di pake itu Lan?"
"Iya Nda. Kenapa?"
"Cepet rusak itu nanti batrenya."
Aku ber-o panjang. "Gak papa, cuma sekali ini kok, Nda."
Kami berdua saling diam. Aku tengah membalas chat di sebuah grup literasi. Sesekali kulirik Bunda yang duduk dengan gelisah. Beliau berulang kali menggeser posisinya.
"Eh, Lan. Kalo di apartemen kamu ganti bajunya juga di kamar mandi kan?" ini satu lagi pertanyaan aneh menurutku.
Bukannya Bunda sudah hafal dengan kebiasaanku satu ini. Di rumah juga begitu dari dulu kan? Malu juga kali ganti baju sembarangan tempat.
"Iya Nda. Kenapa?"
"Eh, itu .... Loh ini bau gosong apa ya Lan?" beliau mengendus-endus.
Aku juga ikut-ikatan. “Gak ada yang bau kok Nda.”
"Ini beneran bau hangus Lan. Ya ampun! Bunda lupa, ikan masih dalam wajan. Kompornya belum mati," tuturnya panik. Lalu dengan segera beliau meninggalkanku yang masih diliputi perasaan bingung.
Langit sudah temaram dan matahari cukup rendah di bagian barat saat aku kembali ke apartemen. Sepi. Saat sendirian begini, kutatapi setiap sudut ruangan ini. Berharap ada kenangan yang bisa kembali kuingat. Tapi, Percuma. Sungguh. Sekuat apa pun usahaku, aku tetap gak berhasil menemukan Wisnu dalam ingatanku.
Atau bisa jadi ia memang gak pernah di memoriku sebelumnya. Aku jadi semakin yakin, pasti ada yang memanipulasi jalan pikiranku. Dokter tadi pagi, mungkin ia juga bukan dokter sungguhan. Dibayar untuk jadi penguat agar aku percaya sedang mengalami amnesia sekarang. Bisa saja begitu bukan? Amnesia tanpa penyebab yang jadi diagnosanya tadi, sungguh bagiku tak masuk akal.
Tapi,  jika dipikir lagi, untuk apa mereka melakukan hal yang sulit begini? Apa tujuan sebenarnya? Argh!  Entahlah. Aku meremas kuat rambutku. Merasa putus asa dengan semua ini.
***
Pukul 18.30 Wisnu baru pulang. Ia langsung memintaku bersiap-siap.
"Mau ke mana sih Bang?" tanyaku.
"Udah, ikut aja. Kita jalan-jalan sebentar.” Ia mendorongku masuk kamar.
Lagi. Aku menurut saja. Mau bagaimana? Meski gak percaya, ia merupakan suamiku sekarang.
Aku tersenyum saat tiba di tempat tujuan. Wisnu membawaku ke pasar malam. Dulu, kami sering melakukan hal ini katanya. Mungkin akan ada sedikit detail yang bisa membuatku mengingat tentang dirinya. Masa bodoh! Apa pun itu menurut Wisnu. Aku akan menikmatinya.
"Kamu suka bianglala kan? Ayo kita naik wahana itu." Wisnu menggenggam tanganku, kami setengah berlari menuju wahana yang ia maksud.
Benar. Tampaknya ia tahu segalanya tentangku. Meski aku tak mengingatnya. Tapi, aku mengakui ada perasaan bahagia saat. bersama Wisnu.
"Pemandangan langit dari atas sini semakin indah. Dulu, saat bianglala ini berhenti dan kita berada di bagian puncak, kamu akan menyukai ini. Benar kan?"  Wisnu mencoba mengingatkan saat bianglala yang kami naiki mulai berputar.
"Langit gak akan pernah terlihat dekat, meski kita semakin tinggi sekarang." Aku dan Wisnu mengucapkan kalimat yang sama.
Lalu, kami berdua tersenyum simpul. Wisnu bahkan tahu betul kalimatku. Aku terharu. Jika benar sekarang aku amnesia, Wisnu adalah suami tersabar yang patut kukagumi.
Turun dari bianglala, lelaki yang gak hentinya menggenggam tanganku itu, mengajak membeli gulali. Lagi-lagi ia tahu makanan yang kusukai. Mataku mulai berbinar memandanginya, ia kini tengah berbincang dengan penjual camilan manis tersebut sambil tersenyum.
"Gulalinya satu ya Kang. Yang masih anget."
"Lucu si Aa mah, mana ada atuh gulali anget," tanggap si penjual sambil tertawa.
Terang saja aku ikut cekikikan mendengar jawaban si penjual.
"Maksudnya itu Kang. Yang baru jadi, istri saya gak mau yang udah di bungkus." Wisnu mengoreksi.
Lihat kan? Wisnu memang mengagumkan. Ia tahu sampai detail begitu. Haruskah aku percaya padanya sekarang?
"Kenapa Lan? Jatuh cinta lagi kan sama Abang?" ia mengangkat sebelah alisnya saat ia mendapatiku tengah menatapnya.
"Ge er!" seruku sambil memalingkan muka menyembunyikan semu merah yang menghangat di pipi.
Namun, sesingkat itu ekspresiku berubah jadi tegang saat melihat sosok yang begitu kukenal. Rayyan. Dia tunanganku.
"Eh, Lan ke mana?"
Kuabaikan saja teriakan Wisnu. Setengah berlari aku menghampiri Rayyan.  Aku harus memastikan sesuatu.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (20)

  • avatar
    Juarnhy Kase

    Ceritanyq sangat bagus

    6d

      0
  • avatar
    NinaNina

    bagus sekali ceritanya

    05/07

      0
  • avatar
    Qaisara Arshad

    best😻

    04/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด