logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

2. Buku Nikah Wulan dan Wisnu

Sungguh, hal seperti ini sudah membuatku kalah telak. Jadi, sudah gak ada gunanya untuk mendebat. Kini aku bagai kerbau yang telah dicocok hidungnya. Mendadak jadi penurut dan sekarang aku terpaksa mengekor di belakang Wisnu menaiki Lift.
Sampai di lantai empat belas, ia menempelkan kartu pada gagang pintu dengan nomor 338. Melihat angka yang tertera di sana, tiba-tiba berkelebat di pikiranku angka yang sama, dengan cepat kutepis saat bayangan dan teriakan wanita juga ikut menyelusup. Kepalaku pusing.
Dan rasa sakit ini semakin menggerogoti saat pintu terbuka. Hal yang pertama kali menarik perhatianku saat masuk, adalah bingkai foto besar di ruang utama.
Sebuah foto pernikahan. Dengan sepasang mempelai tersenyum bahagia terpajang di sana. Aku sungguh terbelalak menyaksikan itu. Kapan foto tersebut di ambil? Aku benar-benar tak pernah merasa melakukannya. Benarkah sekarang aku amnesia?
"Kapan kita menikah?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku.
"Dua tahun lalu, tepat saat kamu berhenti dari perusahaan." Dia juga tahu rupanya, aku resign bekerja.
"Mau Abang masakkan mie instan sekarang? Kita belum belanja, jadi bahan makanan di kulkas kosong." Wisnu membuka salah satu kabinet di atas kompor.
Aku menggeleng. Seharusnya gak begitu saja mempercayai semua ini. Namun, perut yang keroncongan menciptakan sebuah ide di kepalaku.
"Aku mau soto yang di warung makan seberang apartemen. Abang mau belikan untukku?" Ah, aku harus membiasakan lidah ini menyebutnya Abang. Meski menjijikkan rasanya.
Dan saat lelaki berwajah oriental itu keluar. Ini kesempatanku untuk menggeledah lemari, mencari satu-satunya bukti yang akurat. Gak perlu membuang-buang waktu, kamar yang paling besar ini, bisa dipastikan kamar kami. Ih, aku bergidik sendiri saat memasukinya. Otakku mendadak melanglang buana entah ke mana. cukup Wulan. Kau harus fokus sekarang! Teriak batinku.
Hanya ada satu lemari di sudut ruangan kamar ini. Sudah bisa dipastikan, dia menyimpan benda itu di sana.
Beruntungnya lemari tersebut gak di kunci. Setelah menarik gagang dan pintunya terbuka, mataku membulat saat melihat isinya untuk pertama kali.  Sebagian besar didominasi oleh pakaian perempuan. Apa ini bajuku? Ah, masa bodoh. Bukan ini yang kucari sekarang.
Kini mataku tertuju pada laci yang berada di rak kedua. Dengan cepat kubuka.  Ini dia! Ada dua buah buku kecil berwarna merah dan hijau di sana. Aku harus memastikan nama siapa yang tertulis di sana.
Kuambil satu yang berwarna merah. Membukanya setiap lembarnya dengan gak sabar. Seketika tanganku bergetar saat mengeja satu-persatu huruf yang tertera. Dan, lagi-lagi mataku membulat saat memastikan dengan yakin, nama yang tertulis di dalamnya adalah Wulan Sasmita dan Wisnu Anggara.
Lalu, detik berikutnya tubuhku luruh ke lantai. Pandangan mendadak berkunang-kunang. Bagaimana ini? Semua ini bukan kenyataan kan? Bukankah tahun depan aku akan menikah dengan  Rayyan, tunanganku? Jika sekarang aku amnesia, ingatan macam apa yang di otakku sekarang? Seluruh pertanyaan dan kebingungan itu berkelebat,  aku benar-benar pusing sekarang.
Siapa sebenarnya lelaki yang menikahiku? Aku bahkan gak mengenalnya sama sekali. Semua pertanyaan tersebut terus berputar-putar berulang. Aku sebaiknya pulang sekarang. Dan menanyakan semua kegilaan ini pada Bunda.
Sekuat tenaga aku mencoba bangkit. Berjalan sambil berpegangan pada dinding. Namun, saat keluar dari kamar tubuhku limbung,  hilang keseimbangan. Kemudian gelap.
***
"Lan? Kamu baik-baik saja?" Suara asing terdengar samar menyapaku saat aroma minyak kayu putih yang menusuk hidung memaksa mataku terbuka.
Aku tetap diam saja meski sudah sadarkan diri. Wisnu. Aku ingat. Dia lelaki yang di terminal dan namanya yang tertera dalam buku nikah. Ia duduk di tepi ranjang tempatku berbaring sekarang.
"Mau makan dulu? Abang suapin?" ia mengambil semangkuk soto dari atas nakas, menyendok isinya dan mendekatkan ke mulutku.
Aku mundur lalu menggeleng. "Aku mau pulang," tuturku lemah.
Tentu saja aku gak mau tinggal seatap dengan orang asing ini.
"Kenapa? Ini kan tempat tinggalmu. Bunda akan mengira kita bertengkar jika pulang malam-malam mendadak begini." Diletakkan Wisnu kembali sendok ke dalam mangkok.
Ada benarnya juga perkataan Wisnu. Bunda pasti khawatir, aku gak mau beliau jadi terbebani. Napas berat kuhembuskan keras. Gak pernah sebelumnya ada beban seberat ini di dadaku.
"Kalau begitu, aku gak mau tidur sama Abang, tanpa mengingat apa pun," ujarku tegas.
Wisnu tersenyum. "Iya. Gak papa, biar Abang tidur di kamar sebelah." 
Kemudian ia keluar dan menutup pintu. Meninggalkan semangkuk soto yang masih menguarkan asap dan aroma gurih. Tapi aku sama sekali gak berselera meski hanya mencicipi.
Setengah jam kemudian. Terdengar pintu kamar diketuk.
"Abang masuk ya."
Astaga! Badanku mendadak panas dingin. Mengingat lelaki yang seatap denganku sekarang berstatus suami. Mau apa lagi si Wisnu itu ke sini? Jangan-jangan ia menagih jatah batinnya. Bukankah sudah kukatakan tadi, aku gak bersedia tidur dengannya dalam keadaan seperti ini.
Aargh! Ini sungguh membuatku frustrasi. Seharusnya pintu kamarku kunci lebih dulu tadi. Dan berpura-pura tuli saat ia mengetuk begini.
Engsel pintu berderit. Saat Wisnu membuka pintu. Mungkin cukup lama gak dilumasi, kering atau bahkan berkarat. Aku yang terlanjur gugup, memutuskan untuk meringkuk di balik selimut. Pura-pura tidur saja dulu, mungkin ini lebih baik.
"Sudah tidur Lan?" Wisnu langsung duduk di tepi ranjang. Aku tahu sebab merasa ada pergerakan di sampingku.
"Iya." Tanganku sontak menutup mulut. Bodohnya aku malah menyahut.
Wisnu terkekeh. Apa yang lucu!  Dasar lelaki mesum. Bisa-bisanya setuju untuk tidur di kamar lain. Tapi, sekarang malah kembali lagi.
"Sudah gak usah pura-pura. Abang cuma mau ngasih paket yang kamu tinggal di ruang utama tadi. Mungkin isinya penting," ujar Wisnu menjelaskan.
Fiuh! Aku menarik napas lega. Kemudian dengan cepat menyingkap selimut. Gerah.
"Ngapain sih Lan, pake selimut sampe kepala begitu?"
"Dingin," sahutku.
Wisnu malah mendekat. Mencondongkan wajahnya ke hadapanku. Ya Tuhan .... Kenapa harus sedekat ini. Aku memejamkan mataku erat-erat seraya memundurkan badan sedikit demi sedikit.
Tapi, detik berikutnya kurasakan hangat tangan Wisnu menyentuh keningku.
"Ini keringat loh Lan. Masa kamu kedinginan?" ia menunjukkan jarinya yang basah.
Mampus aku!  Kusembunyikan wajah di balik dua tangan. Pipiku bisa saja sekarang memerah, ada desir hangat di rongga dada. Malu. Aku sudah terlanjur berpikir yang bukan-bukan tadi.
"Kamu beli apa itu, kemarin?"
"Hah? Apa?" Aku gak bisa mencerna pertanyaannya. Masih kikuk. Sial!
"Itu, isi paketnya." Wisnu memonyongkan bibir mengarah pada paket di sampingku.
"Oh itu?" Aku menggaruk kepala yang sama sekali tak gatal. Sejujurnya aku juga penasaran. Kapan aku belanja online? Dan lebih membingungkan lagi, dikirim ke alamat apartemen. Yang baru kutinggali hari ini.
Bergegas aku membuka bungkusan paket, sekalian membunuh malu.
Isinya buku. Ini memang buku yang ingin kubeli. Tapi rencananya akan kubayar setelah pulang seminar. Ah, ini sungguh aneh dan membingungkan. Aku bahkan belum mengeluarkan uang untuk membelinya.
"Kenapa Lan? Salah beli?" Wisnu sepertinya  membaca ekspresi wajahku.
"Oh, gak. Sudah betul. Ini punyaku.” Kosakataku berlepotan.
"Sotonya sudah dingin. Mau beli yang baru lagi?"
Aku mengangguk. Wisnu beranjak. Tapi, aku mengekor.
"Ke mana?"  tanyanya heran.
"Ikut," sahutku.
"Oke." ia berhenti dan berkacak pinggang sambil menaik turunkan kedua alisnya, memberi isyarat agar aku mau bergandeng tangan padanya.
Jangan ngarep ya Bang! Aku memilih berjalan mendahuluinya.
Sampai di depan warung makan. Aku hanya berdiri mematung. Sepertinya cacing di perutku menginginkan nasi goreng dari pada soto.
Kuusulkan pada Wisnu untuk pindah tempat. Di ujung jalan, saat melewatinya tadi sore, aku melihat ada warung tenda yang menjual nasi goreng. Ia langsung setuju begitu saja tanpa menyangkal atau menolak. Dasar gak punya pendirian!
***
Sambil menunggu pesanan dibuat, Wisnu tampak sibuk dengan ponselnya. Berkali-kali benda pipih di tangannya itu berdenting, ia dengan cepat pula memijat layar mengetik balasan. Entah dengan siapa lelaki itu berbalas pesan.
Pelayan warung tenda datang. Ia menyuguhkan dua piring nasi goreng sambil menyunggingkan senyum ramah pada kami.
Setelah memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, Wisnu langsung memotong telur ceplok miliknya, memisahkan bagian kuning dan putih. Lalu, memberikan bagian putih kepunyaannya padaku dan mengambil bagian kuning milikku. Dengan menautkan kedua kening aku terheran-heran.
"Dari mana Abang tau aku gak suka kuning telur?"
"Aku suamimu Lan, aku tahu segalanya tentang kamu. Udah makan gih, keburu dingin." sahutnya sambil mulai menyuap makanannya.
Kupijat kening di antara dua mata yang sebenarnya hanya sedikit pening. Ayolah Lan. Aku berusaha Menelusuri setiap ingatan. Mungkin saja terselip di suatu tempat, di salah satu sudut otak misalnya. Tapi sungguh. Aku gak bisa mengingat apa pun tentang Wisnu.
"Kenapa Lan? Pusing? Sudah. Jangan memaksakan diri untuk mengingatnya." Wisnu seakan tahu isi kepalaku.
"Besok mau periksa dulu ke dokter?" ia memberi saran.
Aku ragu. Namun, untuk membuktikan kebenaran serta kondisiku sekarang ini, akhirnya saran kuangguki saran Wisnu. Dan kami melanjutkan ritual beradu sendok garpu di piring masing-masing.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (20)

  • avatar
    Juarnhy Kase

    Ceritanyq sangat bagus

    6d

      0
  • avatar
    NinaNina

    bagus sekali ceritanya

    05/07

      0
  • avatar
    Qaisara Arshad

    best😻

    04/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด