logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 3 | Sepulang Sekolah

Kedua kakinya terus melangkah dengan tergesa, wajah datarnya menatap lurus ke arah jalan yang ia tuju tanpa menengok ke mana pun. Sampai di depan gerbang oren yang tinggi dia pun berhenti. Zheyya merogoh saku roknya, lalu mengeluarkan gantungan dengan beberapa kunci, dan membuka gembok yang menggantung di selot pagar itu. Dia pun masuk ke dalam rumah besar itu dengan buru-buru. Matanya langsung tertuju pada lemari jam antik besar warna cokelat di tengah ruangan. Sudah Jam dua siang.
"Assalamualaikum," ucap gadis itu setengah teriak.
"Waalaikumsalam, gimana hari pertama jadi anak SMA?" Seorang wanita paruh baya tetiba turun dari tangga di samping jam besar itu. Menghampiri Zheyya sambil tersenyum ramah. Lalu gadis itu mengambil tangan wanita itu dan menciumnya.
"Maaf Zhey telat bu," Zheyya menunduk malu.
"Iya gapapa, lagian ga banyak yang harus dikerjain. Hari ini cuma cuci baju sama piring aja," Ujar wanita itu lalu memakai kacamata dan menenteng sebuah tas tangan hitam ukuran sedang.
Untuk usia 50an wanita itu terlihat modis dan rapi. Pipinya yang mengkilap dan kencang diberi blush on merah muda dan lipstik dengan warna senada.
"Baik Bu Ratna," jawab Zheyya singkat.
"Oh ya, ibu mau keluar hari ini. Mungkin pulang nanti agak malam. Zheyya bisa tungguin rumah sampai jam 8 nan gak?" Tanya bu Ratna.
"Em, bisa Bu," jawab Zheyya.
"Di kulkas ada sayur, kalo mau makan angetin aja. Jangan lupa pintu kunci kunci." Ujar Bu Ratna.
“Ya Zhey, ibu berangkat dulu. Titip rumah ya! “Assalamualaikum,” Wanita itu pun pergi meninggalkan Zheyya. “Alaikumsalam,” jawab Zheyya.
Bu Ratna berjalan menuju mobil klasik putih jadul yang sudah terparkir di depan gerbang. “Berangkat sekarang?” Tanya seorang pria yang juga paruh baya.
“Besok aja pih,” jawab bu Ratna.
“Kemarin aja deh,” canda suaminya.
“Ya atuh sekarang papih Dimas! Udah telat ini,” timpal Bu Ratna ketus, dan mobil pun melaju.
Sementara itu Zheyya membuka ranselnya, mengeluarkan sebuah kaos lengan pendek dan mengganti seragamnya. Lalu melihat seisi ruangan, ruang tamu kotor, sampah di mana-mana, mainan anak, bahkan piring dan baju kotor juga menumpuk. Sepertinya cucu Bu Ratna baru saja pulang.
“Tidak banyak yang harus dikerjakan,” gumamnya sarkastis.
Keheningan pun berhenti saat Zheyya mulai menunjukkan kelincahan tangannya. Satu per satu pekerjaan diselesaikannya. Dengan telaten dan gesit jari jemarinya mulai mencuci piring, menatanya, dan membersihkan seisi ruangan. Ruang tamu, kamar mandi, ruang makan, teras, dan halaman terkecuali dua kamar utama yang ada di lantai dua rumah itu.
Rumah gedong orang sekitar menyebutnya begitu. Lantaran rumah besar itu ada di antara pemukiman warga menengah bawah yang rumahnya kecil. Bisa dibilang rumah itu satu satunya rumah bertingkat yang ada di sana. Didominasi warna oren dan coklat rumah bergaya simpel klasik itu sudah cukup berumur. Di dalamnya banyak benda-benda antik yang dipajang hampir di setiap sudut ruangan. Guci, vas, cangkir dan alat makan unik yang dipajang di lemari kaca, bahkan lantai marmer dan lampu gantung, semuanya terlihat mahal bahkan bagi yang tidak tahu harga sekalipun.
Zheyya menghempaskan tubuhnya ke atas sofa tunggal di paviliun. Ruangan itu berukuran sama dengan ruang tamu yang ada di sampingnya, tapi terlihat lebih luas karna hanya ada satu sofa, dan piano di pojok ruangan itu. Di sana hanya ada satu hiasan Mozaik yang menempel di atas dinding bertema krem, kontras dengan lantai granit kasar dan karpet coklat. Berbeda dengan Bu Ratna yang suka mengoleksi barang antik bernilai seni , Pa Dimas lebih suka musik dan ketenangan. Meski begitu mereka pasangan yang serasi karna saling menghargai hobi masing-masing.
Zheyya menatap langit-langit, hanyut dalam lamunannya sendiri. Kuharap waktu berhenti, rasanya nyaman sekali padahal hanya tiduran di atas sofa, Batin Zheyya. Perlahan matanya menutup, tenggelam dalam kenyamanan.
Din! Din!
Klakson mobil beberapa kali berbunyi, membuat Zheyya tersentak dan terjaga. Gadis itu tergesa berlari keluar menuju gerbang, lalu membuka gerbang itu lebar-lebar.
“Maaf ibu agak telat, soalnya di jalan macet total. Ada tawuran anak-anak nakal tadi,” ujar Bu Ratna saat keluar dari mobil. Zheyya hanya mengangguk dan tersenyum kecil, lalu membantu membawa barang bawaan Bu Ratna masuk.
“Untung kaca mobil kita ga kena lemparan batu tadi. Dasar anak zaman sekarang, berantem bawa sejata tajam, bawa gir segala. Serem amat! Udah kayak mau bunuh orang hiyy!” cerocos Bu Ratna sambil bergidik ngeri.
“Lagian papih udah mami suruh jalan biasa aja malah jalan situ,” tambah Bu Ratna.
“Yamana papi tau ada tawuran disana,” timpal pa Dimas dengan nada halus.
Zheyya terkekeh kecil melihat argumen sepasang suami paruh baya itu.
“Kalo gitu Zheyya ijin pamit, udah malem juga Bu, Pa,” ucap Zheyya yang sudah menggendong ranselnya.
“Gak nginep aja Zhey? Udah jam 9 loh, lebih malah?” tanya Pa Dimas.
“Iya nginep aja, malah lebih deket berangkat ke sekolahnya kan?” tambah Bu Ratna.
“Ngga bu, pa, soalnya ada alat-alat yang harus Zheyya bawa dari rumah buat tugas,” Zheyya menolak halus tawaran mereka.
“Yaudah, ibu telpon dulu mang nanang biar anterin kamu pake motor ya ... Tunggu sebentar,” tawar Bu Ratna sambil meraih gawainya yang baru saja ia simpan.
“Gak usah bu, kasian udah malem. Takutnya udah tidur malah ganggu,” sekali lagi Zheyya menolak sambil melangkah mundur.
“Yowis, mumpung di jalan masih rame gih! Nanti malah kemaleman kalo ngobrol mulu kasian Zheyyanya mih ... Hati-hati di jalannya ....” Ujar Pa Dimas.
“Oiya ini buat Zheyya bawa pulang. Salam buat orang rumah ya tihati dijalan ... “ Bu Ratna menyodorkan keresek hitam.
“Makasih bu, Zhey pulang ya ... Assalamualaikum ....”
***
Zheyya berjalan menyusuri trotoar jalanan kota yang masih cukup ramai kendaraan. Bahkan angkutan umum pun masih ada, tapi dia memilih berjalan kaki ketimbang naik angkutan umum.
“Aku harus mengirit uang,” gumamnya sembari menepuk-nepuk saku rok sebelah kanannya.
Angin malam yang dingin terasa menusuk hingga ketulang. Kaos tipis yang dikenakannya tadi tidak cukup menutupi kulitnya. Zheyya yang mulai menggigil pun mengeluarkan seragamnya dari ransel lalu mengenakannya. Tidak lebih baik, tapi setidaknya lehernya sedikit tertutup.
Sampai di pertigaan jalan, Zheyya berhenti. Melihat kanan kiri untuk menyeberang jalan. Baru selangkah dia maju ... Di seberang jalan ada beberapa pemuda nongkrong tepat di teras warung kopi. Seorang pemuda menatap Zheyya dengan saksama lalu ....
“Woy! Di sini ada anak SMA BAHAGIA!” Teriak pemuda itu menunjuk ke arah Zheyya lalu menoleh ke seorang temannya yang sedang memarkirkan motor vespa hitam.
“Dasar gila, itu cewek beg*!” timpal seorang lelaki di belakangnya.
“Bawa buat sandera!” titah lelaki dengan luka berdarah di tangan kiri dan kepalanya, sepertinya dia yang paling dendam terhadap anak SMA BAHAGIA.
Zheyya yang ada di seberang tersentak kaget. Perasaan merinding menyeruak dari dadanya ke seluruh tubuh. Tawuran yang Bu Ratna bilang tadi di sini kan? Batin Zheyya. Dia tahu apa yang sedang terjadi, dan itu bukan hal yang baik. Tetiba beberapa pemuda dari dalam warung keluar untuk melihat, dan tiga orang Lainnya hampir menyeberang jalan.
Zheyya mundur beberapa langkah, tapi dia sudah terlalu lelah karena seharian bekerja. Dia pun tersungkur dan ambruk, lututnya tidak bertenaga saking takutnya. Satu langkah, tinggal selangkah lagi lelaki itu meraih tangan Zheyya.
Ckittt ....
Bruagh!

หนังสือแสดงความคิดเห็น (48)

  • avatar
    maisacinta

    keren sekali

    24d

      0
  • avatar
    JoniMarjo

    amazing

    12/08

      0
  • avatar
    BeatrizSamara

    bomm

    06/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด