logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Berdiri di Dua Kaki

Aku nggak bisa melanjutkan ceritaku karena tetiba aku kehilangan kendali. Aku menangis tersedu-sedu. Bingung harus jujur atau berbohong dengan Mas Galih.
“Jadi gini, Pak. Retno ini lagi butuh uang untuk ibunya.Sepekan lagi mau operasi batu ginjal. Pekerjaan ini sangat diharapkan sekali.”
“Oh, begitu. Ya udah. Nggak usah cerita. Butuh berapa biaya pengobatannya?”
“Tujuh juta, Pak.”
“Udah cukup segitu?”
“Cukup, Pak,” jawabku pelan.
Kulihat Mas Galih menelpon seseorang. Tak berapa lama kemudian datang seorang pegawai perempuan membawa amplop cokelat dan menyerahkanya ke Mas Galih.
“Ini uang yang kamu butuhkan. Kalo kurang nanti tinggal bilang Pak Giman, biar aku tambahi. Di dalam amplop ini ada sepuluh juta.”
Lalu Pak Giman mengambil amplop itu dan menyerahkan padaku. Namun entah mengapa hatiku berontak untuk menerima amplop itu. Kutahan tangis yang semakin membuat dada dan bahuku berguncang.
“Lo, kok malah nangis? Masih kurang?”
Aku menarik napas panjang dan menguasai emosiku kembali. Dengan suara dan nada yang fals aku beranikan diri berkata jujur kepada dua orang yang baru saja aku kenal itu.
“Maaf Pak Giman, Maaf Bapak pimpinan. Saya tidak mungkin mencari uang dengan berbohong meskipun itu untuk menyelamatkan ibu saya.”
“Berbohong bagaimana?”
“Jujur Pak. Saya tidak punya hubungan kekerabatan dengan Pak Giman. Beliau adalah orang yang menolong saya sampai ke tempat ini. Saya udah bersyukur banget. Apalagi ketika beliau berjanji membantu saya agar bisa ikut interview meskipun sudah selesai. Tapi saya tidak membayangkan akan begini jadinya. Meskipun saya bisa mendapatkan uang ini, tapi saya tidak mau ikut membohongi Bapak.”
Setelah mendengar pengakuanku. Aku terdiam dan bingung dengan ekspresi keduanya. Pak Giman tersenyum dan tidak marah sama sekali. Begitu pula dengan Mas Galih. Dia justru kemudian mendekatiku.
“Selamat bergabung di perusahaanku. Aku butuh orang sepertimu. Tetaplah berlaku jujur!”
“Jadi?” tanyaku tersendat.
“Pak Giman udah cerita semuanya tentangmu. Namun aku butuh bukti kalo apa yang diceritakan Pak Giman itu benar. Terus Pak Giman menawarkan ide yang brilian. Nyatanya, penilaian Pak Giman tidak salah. Kamu jujur dan uang sepuluh juta tidak membuatmu tergiur.”
Tangisku terhenti seketika dan refleks kuteriakkan nama penolongku.
“Pak Gimaan!”
“Iya, Bu. Saya dari tadi di sini menunggu ibu tersadar dari lamunan.”
“Oh, jadi dari tadi saya melamun, Pak?”
‘Iya, Buk.”
“Maaf kalo begitu. Ada apa Pak?”
“Gini Buk. Saya mau cerita tentang Pak Galih.”
“Kenapa dengan Pak Galih?”
"Saya kasihan dengan Pak Galih. Tadi di bangsal saya melihat papanya Selly menampar pipi Pak Galih. " Mata Pak Giman berkaca-kaca. Di berusaha menahan air mata yang semakin deras keluar.
“Apa? Salah apa Mas Galih?”
“Saya kurang tahu Buk. Saya hanya diminta Pak Galih untuk masuk bangsal. Begitu saya masuk, tetiba papanya Selly langsung menampar Pak Galih.”
“Mas Galih diam aja?”
“ Iya, Buk.”
“ Mas Galih sekarang di mana?”
“Masih di rumah sakit Buk.”
“Terus kenapa Pak Giman pulang sendiri?”
“Saya diminta papanya Selly untuk mengambil semua pakaian dan barang pribadi Pak Galih. Mulai besok Pak Galih tidak tinggal di rumah ini. Beliau diharuskan tinggal di rumah keluarga non Selly.”
“Kenapa Mas Galih tidak memberitahuku?”
“Papanya non Selly melarang Pak Galih berhubungan dengan Bu Retno. Tadi di parkiran Pak Galih memberitahu saya secara diam-diam karena beliau diikuti terus oleh sekuriti dari papanya Non Selly.”
“Mengapa papanya Selly sampai tega melakukan semua itu?”
“Kata Pak Galih, itu sebagai hukuman karna Pak Galih teledor, menyebabkan non Selly harus bedrest. Papanya non Selly sangat marah karena beliau juga mengharapkan cucu yang dinantikannya dari anak tunggalnya itu.”
“Oh, ya udah. Makasih Pak Giman. Sampaikan salam saya untuk Mas Galih. Katakan padanya aku baik-baik saja! Nggak usah terlalu menjadi beban jika memang itu jalan terbaik yang harus dilakukannya.Bentar ya Pak, saya ambilkan baju dan barang keperluan pribadi Mas Galih.”
“Baik, Bu. Saya tunggu di sini.”
Aku segera membuka tiga kopor besar untuk mengemasi barang pribadi Mas Galih. Kurang lebih satu jam aku keluar lagi memberitahu Pak Giman.
“Kopernya udah siap Pak.”
“Iya, Bu.”
Pak Giman mengikutiku masuk ke kamar dan mengambil tiga koper besar. Satu laptop, obat-obatan, dan beberapa file aku masukkan ke tas plastik karung.
“Pak Giman juga ikut pindah?”
“Tidak, Bu. Saya diminta Pak Galih tinggal di sini. Saya hanya akan menjadi driver Pak Galih jika diperlukan saja. Selebihnya, tugas saya menjaga dan menemani Bu Retno bersama dengan Mbak Nar.”
“Hati-hati di jalan ya,Pak?”
“Oh, iya hampir lupa. Pak Galih menitipkaan ini untuk pegangan Ibuk?”
“Apa ini, Pak?”
“Saya kurang tahu Bu. Saya permisi dulu.Mungkin nanti saya akan balik ke sini lagi untuk mengambil barang milik non Selly. Meskipun belum disuruh, tapi saya yakin akan diminta mengambilnya nanti.”
“Iya, Pak.”
Setelah mobil yang dibawa Pak Giman hilang dari pandangan, aku membuka bungkusan bekas permen riluksa. Ada kertas dan kartu ATM.
[Ret, maafkan Mas! Mungkin sebentar lagi kita nggak akan pernah ketemu lagi. Papanya Selly marah-marah setelah tahu Selly harus bedrest. Dia meneror Mas lewat pesan WA dan panggilan VC. Mas nggak tahu harus bagaimana. Sementara Mas harus mengalah sambil melihat kondisi ke depannya. Jujur, Mas belum bisa lepas dari Selly. Nanti akan Mas ceritakan semuanya.
Ini ada sedikit tabungan khusus yang Mas kumpulkan sejak awal kita menikah. Mungkin tidak terlalu banyak, tapi minimal bisa untuk menyambung hidup jika sewaktu-waktu ada hal yang urgen
Peluk kangen
Galih]
Air mataku menetes tanpa pernah kuminta. Mas Galih benar-benar dalam tekanan Selly dan keluarganya. Aku jadi menebak-nebak apa yang menjadikan Mas Galih begitu tergantung dengan Selly. Apakah hanya karena perusahaan Mas Galih yang mau bangkrut atau ada hal lain yang lebih parah lagi?
Seingatku, pengeluaran terbesar Mas Galih adalah membiayai perawatan mamanya. Biaya cuci darah dan asisten perawat pribadi untuk mama sangat besar. Mas Galih juga menanggung biaya hidup adiknya setelah suaminya setahun yang lalu meninggal akibat penyakit jantung. Lalu aku? Mas Galih setiap bulan memberiku transferan lima juta. Setiap bulan aku hanya mengambil seperlunya saja.
Aku hanya bisa berdoa dan berharap Mas Galih bisa mengatasinya dengan baik. Semoga dia tetap sabar dan tidak menyerah dengan keadaan. Namun, seandainya Selly memaksa Mas Galih harus menceraikan aku? Apakah aku sudah siap?
Ah, jangan sampai terlambat. Jangan sampai itu terjadi sedangkan diriku masih sangat tergantung dengan Mas Galih. Satu-satunya jalan aku harus kerja lagi tanpa sepengetahuan Mas Galih. Lalu bagaimana bayi dalam kandunganku? Aku tidak boleh terlalu capek bergerak.
Ah, aku jadi teringat punya kartu nama Sofyan, driver mobil online yang juga jualan jilbab grosiran. Aku akan coba menghubunginya.
Aku masuk ke kamar mencari dompetku. Setelah ketemu kartu namanya, aku coba kirim pesan padanya.
[Assalamu’alaikum, Mas Sofyan ini saya Retno penumpang yang dulu minta kartu nama Mas Sofyan]
Kulihat langsung centang biru dua. Biasanya driver online memang selalu memantau hapenya. Sofyan baru mengetik balik.
[Wa’alaikum salam. Iya Buk. Ada apa ya?]
[Gini, Mas. Saya mau belajar jualan online tapi belum ada barang yang mau dijual. Mau jadi dropshiper nggak ada modal. Gimana kalo saya ikut menjualkan jilbab dari Mas Sofyan? Rencana saya mau buka dua olshop langsung.]
[Oh, kebetulan sekali Buk. Tiga hari ini saya mulai merawat ibu saya yang sakit-sakitan. Saya udah ada olshop, tapi baru satu sih. Tiap hari kuwalahan melayani orderan jadinya banyak pelanggan sering komplain karena tidak fast respon. Seandainya, Ibuk mau, sekalian nanti jadi admin saya aja gimana?]
[Oh, gapapa Mas. Tapi saya boleh tetap buka olshop sendiri kan? Mungkin saya buka satu aja karena udah ada olshop punya Mas Sofyan juga.]
[Ya, Buk. Silakan aja gpp!]
[Maaf Mas, terus saya bisa mulai kapan?]
[Terserah Ibuk, tapi saja masih di rumah sakit]
[Oh, maaf, berarti besok saja saat Mas Sofyan udah agak longgar dan ibunya dah pulang dari rumah sakit]
[Ya, udah Buk. Nanti saya kabari kalo udah di rumah. Oh, ya. Habis ini saya kirim katalog jilbabnya ya?]
[Siap, Mas. Makasih ya?]
Aku bergegas masuk ke dapur. Aku ingin masak sayur lodeh kesukaan Mas Galih. Aku berharap nanti ketika Pak Giman datang mengambil barang milik Selly, aku bisa membawakan sayur kesukaannya.
Aku merasa kehilangan, meski Mas Galih masih ada di tempat lain. Namun aku harus kuat. Aku berjanji akan merawat janin yang tubuh di rahimku dengan baik.
Ada atau tiadanya dirimu, aku tetap harus tetap hidup menatap masa depanku sendiri bersama anak kita.
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (43)

  • avatar
    Maria Ilen Weni

    bagus dan saya suka

    15/08

      0
  • avatar
    Resa

    oke tirmakase

    06/08

      0
  • avatar
    Merida

    ceritanya bagus TPI masih penasaran dgn galih dgn selly

    05/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด