logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 Jujurlah Ret!

Aku bangun setelah azan subuh selesai. Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menunaikan kewajibanku.
Usai sholat aku tadarus sebentar. Baru selesai dua lembar, kulihat Mas Galih keluar dari kamar depan.
Aku menyiapkan sajadah dan sarung di ruang khusus untuk sholat ini. Aku menunggu hingga Mas Galih selesai sholat. Mas Galih mendekatiku. Lalu dia tidur di pangkuanku.
“Maafkan Mas ya, Ret! Mas pengin sekali berlaku adil, namun belum bisa.”
“Iya, Mas. Aku paham dan berusaha ikhlas menerimanya.”
Lalu Mas Galih bangkit. Kami saling berhadapan. Aku tahu keinginan Mas Galih setelah minta maaf pagi ini. Ya, sudah menjadi kebiasaan Mas Galih setelah minta maaf dia akan meminta nafkah batin dariku.
Namun, kali ini kutolak. Bukan karena aku tak suka atau aku marah, tapi karena saran dokter untuk tidak melakukan dulu selama kandunganku masih belum genap tiga bulan.
“Kenapa Ret? Kamu masih marah sama Mas?”
“Tidak Mas, hanya saja aku ingin menjaga janin ini tetap sehat dan berkembang normal. Aku tak mau melakukan hal yang beresiko.”
“Oh, iya. Mas kok jadi pelupa ya? Maafkan ayah ya, Nak?”
Mas Galih bisa menerima penolakanku, namun tetap saja dia meraba-raba perutku dengan dalih ingin kenalan dengan calon anaknya.
Kubiarkan Mas Galih menyayangi janin dengan mengelus-elus perutku hingga teriakan Selly menghentikannya.
“Mas! Mas Galih!”
Mas Galih beranjak cepat. Dia setengah berlari menuju kamar depan. Aku mengikuti dari kejauhan. Kulihat Selly telah berada di depan pintu kamar depan. Dia menangis sejadi-jadinya.
“Kenapa Sel? Apa yang terjadi?”
“Ada semburat merah di celana. Padahal aku tidak tanggal mens.”
“Kamu keguguran Sel?”
“Aku nggak tahu, Mas. Aku minta diantar ke UGD sekarang!”
“Baiklah, kita pergi. Tolong jangan panik lagi!“
Kulihat Mas Galih masuk kamar untuk berganti pakaian. Selly mengikuti dari belakang. Begitu keluar, Mas Galih berteriak kepadaku.
“Aku pamit dulu ya Ret?”
“Iya Mas, hati-hati di jalan.”
Kulihat Selly membuang muka saat Mas Galih membujuknya untuk pamit padaku juga. Kupandangi Selly dengan tatapan dingin. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bukan penakut.
****
Aku membuka kulkas untuk memasak. Ku keluarkan sayuran yang ada beserta daging ayam. Sambil menunggu mencair daging ayamnya aku menyapu lantai.
Aku mendengar hapeku berdering. Segera kuraih dan membuka kunci panggilan. Ternyata Mas Galih yang menelpon.
[Assalamu’alaikum, Ret.]
[Wa’alaikum salam Mas.]
[Selly opname pagi ini. Mungkin perlu bedrest. Kamu cepat cari ART ya? Aku nggak ingin semua nanti kamu yang lakukan. Aku nggak mau Selly sering suruh-suruh kamu terus.]
[Aku nggak tahu cari di mana Mas?]
[Oh, iya. Biar nanti kusuruh Pak Giman nyari ART. Dah dulu ya Ret?]
[Iya Mas.]
Aku bingung harus sedih atau merayakan kegembiraan mendengar Selly harus opname. Yang jelas kurasakan ada sedikit beban yang hilang karena aku yakin apa yang dialami Selly merupakan skenario yang Tuhan tetapkan.
Aku bersyukur karenanya. Semoga Selly cepat sadar dan memperbaiki sikapnya kepadaku, atau malah semakin benci padaku?
*****
Aku bingung harus sedih atau merayakan kegembiraan mendengar Selly harus opname. Yang jelas kurasakan ada sedikit beban yang hilang karena aku yakin apa yang dialami Selly merupakan skenario yang Tuhan tetapkan.
Aku bersyukur karenanya. Semoga Selly cepat sadar dan memperbaiki sikapnya kepadaku, atau malah semakin benci padaku?
*****
Tiga hari Mas Galih menunggui Selly di rumah sakit. Dia mengabariku lewat pesan WA. Ketika aku ingin menjenguk Selly, Mas Galih melarangku. Dia nggak mau justru nanti Selly menumpahkan kemarahannya kepadaku. Aku diminta nunggu di rumah saja.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya itu salah Selly juga. Bukankah dokter Pratiwi telah mengingatkan agar menghindari aktivitas yang berat?
Lha kemarin Selly justru jalan-jalan shopping, naik turun eskalator. Mungkin juga lagi panas-panasnya memadu kasih dengan Mas Galih.
Ah. Sudahlah, aku ingin mengusir pikiranku yang tidak jelas ini dengan aktivitas yang lebih positif. Aku ingin menyiram bunga anggrek dan membersihkan rumput di halaman rumah.
Hari ini aku sedikit senang karena ada kabar baik dari Mas Galih untukku. Kata Mas Galih hari ini Pak Giman akan mulai tinggal di rumah. Pak Giman adalah driver kantor Mas Galih. Selama ini beliau kerja seperti karyawan lain pergi pagi, pulang sore ke kontrakannya.
Pak Giman tidak tinggal dengan keluarganya karena anak-anaknya sudah berkeluarga semua. Istrinya telah meninggal dua tahun yang lalu karena sakit liver.
Aku setuju saja dengan Mas Galih. Dengan adanya Pak Giman di rumah, aku bisa lebih bebas keluar karena ada yang tinggal di rumah.
Baru saja selesai menyiram bunga aggrek, kulihat mobil sport yang dikemudikan Pak Giman berhenti di depan gerbang rumah. Aku ingin membukakan gerbang tapi kalah cepat dengan Pak Giman.
Aku penasaran dengan ibu separuh baya yang keluar mobil bersama Pak Giman.
“Assalamu’alaikum Bu Retno,” ucap Pak Giman sopan.
“Wa’alaikumsalam. “
“Ini Bu, saya udah dapat yang pengin bantu –bantu di rumah ini. Ayo kenalan sendiri, Mbak Nar!”
“E, saya Nariyah, Non Retno. Masih satu kampung dengan Pak Giman.”
“Oh, ya. Selamat datang Mbak Nar. Makasih udah mau datang ke rumah saya. Udah tahu kan kalo nanti Mbak Nar ikut tinggal di sini?”
“Iya, Non.”
“Panggil saja Bu! Nggak usah pake non. Non itu kalo masih gadis atau masih muda.”
“Maaf, Bu. Saya juga jangan dipanggil Mbak. Cucu saya udah lima.”
“Oh gitu. Ya sudah saya panggil Bik saja ya?
“Iya Buk.”
“Tolong Bik Nar diantar ke kamarnya ya, Pak?”
“Iya, Buk. Saya permisi dulu, ayo Mbak Nak!”
Aku tetap tinggal di halaman rumah. Jujur aku sangat beruntung menjadi istrinya Mas Galih. Aku bisa tinggal di rumah yang besar dan luas ini.
Mas Galih membangun rumah ini menghabiskan tiga kavling perumahan. Jadi rumah ini adalah rumah terbesar yang ada di kompleks perumahan. Ada enam kamar tidur.
Tiga kamar tidur utama yang berada di depan dan tengah. Sementara tiga kamar lainnya berada di belakang. Memang tidak bertingkat, namun untuk membersihkan semua lantai rumah ini sangat banyak menyita tenaga dan waktu.
Sebenarnya dari dulu, Mas Galih ingin mencari ART untuk membantuku di rumah. Namun aku menolaknya. Aku masih sanggup dan kuat untuk melakukannya sendiri karena kami hanya tinggal berdua.
Kini, setelah kehadiran Selly, ART itu menurutku sangat membantu. Benar apa kata Mas Galih, agar aku tidak terlalu sering berkonflik dengan Selly yang sudah mengangkat dirinya sendiri ratu baru di rumah ini.
Bagiku, kehadiran Pak Giman sangat dibutuhkan bila nanti Selly macam-macam denganku. Aku bisa minta bantuan beliau jika ada sesuatu yang tak bisa kutangani sendiri.
Aku masih teringat dan tak akan lupa dengan jasa Pak Giman dulu sebelum aku menjadi sekretaris Mas Galih. Tak akan pernah terhapus kebaikan Pak Giman kepadaku.
Kala itu aku kehujanan, di depan halte. Angkutan kota penuh mengangkut penumpang. Bila pun ada yang kosong tak mau berhenti meskipun aku sudah memberi aba-aba mau ikut naik.
Saat jalan agak penuh dan mobil berjalan lambat,aku nekat mencegat mobil yang dikemudikan Pak Giman.Waktu itu yang terpikir olehku adalah aku nggak mau terlambat ikut interview karena hanya ada 10 orang calon karyawan yang dinyatakan lolos.
“Makasih ya, Pak ? Dah mau beri tumpangan.”
Pak Giman hanya tersenyum lewat kaca spion tengah yang sempat kulihat. Lalu beliau menghentikan mobil di pinggir jalan.
“Mau kemana Mbak?”
“Mau ke kantor pusat PT Buana Trans Jaya, Pak.”
“Mau ikut tes wawancara?”
“Iya, Pak. Eh, maaf kok Bapak tahu?”
Pak Giman hanya tersenyum lagi. Waktu itu aku hanya menduga bahwa Pak Giman hanya menebak dan kebetulan tepat. Aku memakai baju warna putih dengan rok hitam. Aku juga membawa stopmap dan amplop cokelat ciri khas orang pencari kerja.
“Kayaknya udah terlambat, Mbak.”
“Terlambat gimana, Pak?”
“Ini saya mau jemput pimpinan kantor pusat. Itu berarti laporan dari HRD udah masuk dan dibaca oleh atasan saya.”
“Aduh, gimana ya, Pak? Saya sangat butuh pekerjaan ini. Saya sangat butuh uang untuk biaya ibu saya yang harus operasi batu ginjal seminggu lagi.”
“Bukankah gajiannya masih bulan depannya lagi, Mbak?”
“Saya hanya butuh struk gaji saja Pak atau surat keterangan bahwa saya adalah karyawan di perusahaan. Itu yang akan kumasukkan sebagai syarat pinjaman bank tempat teman saya bekerja.”
Tanpa terasa air mataku tumpah sederas gerimis yang turun berlarian di sisi kaca mobil depan dan spion.
Bahuku terguncang dan tangisku terasa semakin tak bisa kukendalikan.
“Ya, udah Mbak. Saya janji akan bantu. Insya Allah Pak Galih atasan kami suka menolong orang yang kesusahan seperti Mbak, siapa namanya?”
“Retno, Pak.”
“Dah, sekarang perbanyak doa dan jangan nangis lagi!”
“Alhamdulillah, jadi Pak Giman udah jadi karyawan di sana?”
Pak Giman hanya tersenyum dan menjalankan mobilnya lagi. Hanya sepuluh menit, aku telah sampai di kantor. Aku diantar Pak Giman langsung menuju kantor Mas Galih di lantai tiga.
Hatiku dag dig dug karena beberapa kali berpapasan dengan pelamar kerja sepertiku. Kulihat beberapa pelamar kerja pulang dengan wajah sedih. Mungkin mereka gagal saat wawancara.
Kulihat Pak Giman mengetuk pintu. Beberapa detik kemudian terbuka. Ada seorang pegawai perempuan yang membuka pintu. Dia menyilakan Pak Giman dan aku masuk.
Pak Giman memintaku duduk menunggu di kursi depan meja perempuan yang membukakan pintu tadi. Beliau mengambil berkas formulir susulan yang harus dilengkapi setelah dipanggil untuk sesi interview. Aku melihat Pak Giman langsung masuk ke ruang yang bersekat kaca tebal dilapisi stiker gambar mobil terbaru.
Aku menggigil dengan ruangan yang ber-AC. Bajuku basah. Tetesan air dari rambutku semakin membuat basah rok yang kukenakan.
Aku menunggu beberapa saat sebelum Pak Giman memberi isyarat dengan tangannya agar aku segera masuk. Begitu masuk, aku melihat Mas Galih sedang membaca berkas dalam stopmapku. Lalu Mas Galih langsung bertanya yang membuatku gelagapan tak bisa menjawab.
“Oh, nggak nyangka Pak Giman punya kemenakan yang pintar dan cantik seperti ini.”
“Iya, Pak. Soalnya saya jarang kontak dengan saudara saya karena tinggal di Kalimantan udah lima belas tahun lebih, “ terang Pak Giman yang membuatku semakin bingung.
“Jadi, sekarang ceritakan mengapa aku harus menerimamu jadi karyawan di sini.”
“Saya ...saya..”
****

หนังสือแสดงความคิดเห็น (43)

  • avatar
    Maria Ilen Weni

    bagus dan saya suka

    15/08

      0
  • avatar
    Resa

    oke tirmakase

    06/08

      0
  • avatar
    Merida

    ceritanya bagus TPI masih penasaran dgn galih dgn selly

    05/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด