logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Lelaki yang Membeli Rumah Bapak

Rani dan Adrian yang sedang melihat-lihat halaman belakang, saling pandang saat mendengar suara teriakan tertahan.
“Anda mendengar sesuatu?”, tanya Adrian. “Saya seperti mendengar suara wanita berteriak.
Wajah Rani mendadak sekecut jeruk purut. “Sialan Elena. Awas saja kalau dia yang mengacau rencanaku,” gumam Rani sambil bergegas masuk kembali ke rumah dan mendatangi kamar Elena. Pintu itu dalam keadaan tertutup sehingga membuat Rani sedikit ragu. Nyaris saja dia berbalik, andai tak mendengar suara keributan di dalam.
“Elena!,” panggil Rani sambil menggedor pintu dengan kasar. “Buka pintunya!”
“Siapa Elena?” tanya Adrian yang membuntuti Rani di belakang dengan heran. “Kamar ini ada penghuninya? Bukannya kata anda tadi, ini kamar kakak anda yang sudah meninggal?”
“Ada kakak ipar saya yang masih tinggal disini.”
Rani masih saja menggedor pintu itu, sehingga ketika pintu itu tiba-tiba terbuka, dia nyaris tersungkur ke depan andai saja Adrian tidak refleks menarik pinggangnya.
“Anjir, asyik banget peluk-pelukan,”sindir Alex yang keluar dari kamar Elena dengan santai.
“Lo yang anjir, asyik banget ngamar,” Adrian menyindir balik. Tapi ketika matanya menangkap sosok Elena yang sedang hamil besar berdiri di belakang Alex, matanya kontan membulat.
“Ran? Rania?,: tanya Adrian tergagap.
“Namaku Rani, bukan Rania,” bentak Rani ketus-mengira Adrian menyebut namanya-sambil melepaskan tangan Adrian yang masih memeluk pinggangnya. Sejujurnya, dada Rani sedikit bergetar saat Adrian dengan heroic menangkap tubuhnya yang nyaris tersungkur. Namun mendadak dia merasa kesal saat Adrian menyebut namanya sambil menatap Elena.
“Eh,” gumam Adrian sedikit linglung. Matanya berganti-ganti menatap Elena dan Alex. Tapi Alex membuang muka, wajahnya tampak murung.
“Perkenalkan, saya Elena,” ujar Elena memecah kejengahan dan suasana canggung yang mendadak pekat di sekeliling mereka.
“Elena?”, ulang Adrian.
“Iya Elena, saya menantu di rumah ini. Kakak iparnya Rani,” ujar Elena sambil melirik adik iparnya yang masih memasang raut muka masam. “Maaf tadi saya kebelet pipis, jadi terpaksa keluar. Saya pikir semuanya sedang melihat-lihat halaman belakang. Namun ternyata sewaktu saya kembali ke kamar, ada Mas ini disana.”
Alex menyentuh tengkuknya dengan canggung. “Maaf, saya tidak tahu kalau ada orang.”
“Benar, ini cuma salah paham,” gumam Elena membenarkan. “Maaf kalau tadi saya berteriak.”
“Sudah kubilang jangan mengacau!,” bentak Rani kasar.
Adrian dan Alex sedikit berjengit dan bertukar pandang menyaksikan tingkah Rani yang memperlakukan Elena dengan kasar.
“Jangan membentaknya, dia tidak mengacau!” balas Alex sambil menatap Rani tidak senang. “Wanita hamil kebelet pipis itu wajar. Yang tidak wajar itu kenapa kamu memaksanya diam di kamar yang tidak punya kamar mandi dalam?”
“Eh?,” Rani balas memelototi Alex. “Kenapa anda membela dia? Dia bukan siapa-siapa anda.”
“Maaf, tapi saya tidak senang melihat seorang cewek cantik tapi kasar dan arogan!”
Rani mendengus dan melipat tangannya di dada. Elena menahan nafas, perasaan khawatir dan bersalah menderanya. Kalau sampai lelaki ini batal membeli rumah mereka karena tidak senang dengan sikap Rani, Elena akan berada dalam masalah besar. Rani pasti akan memarahinya habis-habisan dan menuduhnya sebagai pengacau. Padahal apa yang terjadi bukanlah suatu kesalahan yang dilakukan Elena secara sengaja.
“Sudahlah, kalau anda tidak jadi membeli rumah ini juga tidak apa-apa. Saya malas berurusan dengan orang-orang yang suka turut campur urusan orang lain,” ujar Rani sambil melengos.
“Wajar saya turut campur. Yang salah itu jika diam saja melihat orang lain berbuat semena-mena,” balas Alex tak mau kalah.
“Memangnya anda siapa? Super hero? Sok pahlawan!” Rani mencibir.
Adrian memandang Rani. “Kamu beneran tidak tahu siapa dia?”
“Mengapa aku harus tahu siapa dia? Hanya orang kaya yang sok jadi pahlawan kesiangan!”
“O mai got, cewek ajaib! Memangnya kamu tak pernah nonton bioskop? Tidak kenal idola anak muda?”
Rani memandang Alex sekilas, lalu melengos lagi. Dia memang tidak suka nonton tivi atau pun bioskop. Dan sama sekali tidak tertarik untuk memiliki idola ala anak-anak abege zaman now. Elena ikut-ikutan memandang Alex. Wajah lelaki itu memang familiar. ‘Mungkin dia seorang artis,’ pikir Elena. Tapi kesibukan mengurus Bapak dan mengurus dirinya yang sakit-sakitan sewaktu hamil membuat Elena juga tidak cukup waktu untuk menonton. Lagipula setelah Bapak meninggal, televisi di rumah ini dijual oleh Raya.
“Memangnya berapa kamu mau jual rumah ini?,” tanya Alex.
Adrian menggamit lengan temannya, khawatir Alex juga terpancing emosi sehingga kehilangan logikanya.
“Aku nggak mau jual pada lelaki sombong!,” jawab Rani ketus.
Alex tertawa. “Dari wajahmu aku tahu kamu butuh uang, Nona. Jadi berhenti bersikap jual mahal.”
Mendengar kata-kata Alex, wajah Rani menggelap karena marah. Elena memandang adik iparnya itu dengan khawatir. Namun dia juga tidak berani menyela karena khawatir dibilang turut campur.
“Berapa sih harga rumah ini? Luas tanahnya tidak lebih dari 400 meter persegi. Bangunannya juga sudah kuno dan ketinggalan jaman. Apalagi sudah ada orang yang meninggal di rumah ini. Aku berani bertaruh selain kami, belum ada orang lain yang menawar rumah ini,” ujar Alex sinis.
Adrian mencoba menggamit lengan Alex, mengajaknya pergi. Tapi Alex terlihat tidak peduli, malah mengibaskan tangan Adrian.
“Harga rumah ini satu setengah M!,” teriak Rani.
“Cuma satu setengah em?,” Alex mencibir. “Deal! Rumah ini aku beli!”
Alex mengulurkan selembar kartu nama kepada Elena. “Ini kartu nama pengacaraku. Segala urusan jual beli nanti akan diurus sama beliau.”
Elena menerima kartu nama itu dengan ragu. Tertera disana nama seorang pengacara terkenal. Aroma mahal tercium dari kartu nama berwarna emas itu.
“Tapi….”
Elena tidak sempat menyelesaikan kata-katanya karena kedua lelaki itu sudah berlalu.
&&&
“Anjir! Rumah jelek kayak gitu lo beli satu setengah M?,” Adrian menatap Alex tak percaya. “Kenapa sih lo terpancing cewek itu?”
Alex menghembuskan nafasnya dengan kasar. Pandangan matanya lurus ke depan, fokus mengemudikan mobilnya. Mereka pergi dari rumah itu dalam keadaan marah dan gusar, meninggalkan Elena yang terlihat heran dan Rani yang tersenyum masam.
“Entahlah, gue hanya merasa perlu menyelematkan perempuan hamil itu dari kemarahan adik iparnya,” gumam Alex dengan wajah muram. “Sekaligus membungkam si cewek arogan.”
“Kenapa lo merasa perlu untuk menyelamatkan perempuan itu? Apa karena wajahnya yang mirip Rania?,” kejar Adrian.
“Dia memang mirip Rania,” Alex mengaku. “Tapi dia bukan Rania. Kamu dengar tadi kan? Namanya Elena.”
“Dia memang bukan Rania,” komentar Adrian sambil menyandarkan kepalanya di jok mobil. “Karena Rania sudah tiada.”
Alex tersenyum getir. “Benar, Rania sudah tiada.”
Alex mengusap pelipisnya. Mendadak dia merasa pusing, sehingga menepikan mobilnya ke pinggir jalan.
Flash back on….
Saat tadi Rani membawa mereka melihat-lihat ke halaman belakang, Alex sempat berhenti karena sesuatu menarik perhatiannya. Potret seorang wanita di ruang keluarga.
Baik Rani maupun Adrian waktu itu tidak sadar bahwa Alex tidak mengikuti mereka, melainkan melangkah mendekati dinding di ruang keluarga, tempat terpajang sebuah foto berukuran 15 R.
Alex menajamkan matanya, seolah tak percaya saat menatap wajah wanita di foto itu. Wajah yang sangat mirip dengan wajah almarhumah istrinya, Rania.
“Rania,” Alex mendesah sedih. Kerinduan yang dalam menyeruak di dadanya. Dipandangnya wajah wanita dalam foto itu lekat-lekat, seolah-olah mencoba menemukan sorot mata Rania yang sangat dikenalnya. Namun, Alex terpaksa mendengus kecewa, karena sorot mata wanita di foto itu berbeda. Lagipula, wanita di foto ini terlihat sedang menggandeng laki-laki lain. Sepertinya foto ini diambil ketika mereka menikah, karena wanita yang mirip Rania itu mengenakan kebaya sederhana berwarna putih. Sedangkan laki-laki di sebelahnya menggenakan jas berwarna hitam.
Alex baru saja hendak menyusul Adrian dan Rani saat dia mendengar suara deritan pintu yang dibuka. Rasa penasaran menuntunnya ke arah kamar yang tadi pernah dilewatinya. Cuma bedanya, pintu kamar itu sekarang terbuka.
Jujur, Alex tidak biasanya selancang itu untuk masuk ke kamar tidur seseorang tanpa izin. Namun sebuah pigura besar berisikan foto seorang wanita yang mirip Rania, yang tergantung di dinding kamar itu sangat menarik perhatiannya. Dan membuat kakinya tak kuasa untuk tidak melangkah masuk, menuruti kehendak hatinya yang ingin mengamati wajah wanita dalam foto itu lebih dekat lagi.
“Gila, wanita ini memang mirip Rania,” gumam Alex. “Tapi bagaimana bisa? Rania adalah anak tunggal yang tidak memiliki saudara.”
Alex masih saja mengamati foto itu saat seseorang mendadak masuk dan mengunci pintu. Refleks, dia berbalik, dan matanya membentur versi hidup dari wanita yang wajahnya ada di foto itu.
“Tol….helpppp..hffff….” wanita itu berteriak karena terkejut. Tanpa berpikir, refleks tangan Alex langsung membekap mulut wanita itu, untuk mencegahnya berteriak lebih keras lagi.
Dan rasanya seperti dejavu. Saat tangan Alex menyentuh mulut wanita itu, sesuatu yang sudah lama mati dari dalam hatinya mendadak hidup dan bersemi kembali.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (357)

  • avatar
    Rici Gustina

    kasih sama elea

    8d

      0
  • avatar
    ApriliaAulira

    mantap

    9d

      0
  • avatar
    Keeple keceh

    Mntapp

    10d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด