logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 Calon Pembeli Rumah

Tepat tiga puluh hari setelah meninggalnya Fajar, akhirnya rumah itu ada yang menawar. Elena sama sekali tidak tahu menahu soal jual beli rumah itu, karena semuanya Rani dan Raya yang mengurus. Tadinya Elena berharap rumah itu agak lama baru terjual, supaya dia punya waktu yang cukup sampai bayinya lahir. Namun ternyata keinginannya tak sejalan dengan kenyataan, saat tadi pagi Rani memberitahunya bahwa ada calon pembeli yang datang akan melihat rumah siang ini.
“Mbak di kamar aja ya? Tak usah keluar kamar dan tidak usah turut campur,” kata Rani dengan nada ketus. “Masalah jual beli rumah, biar aku yang urus.”
Sebab itulah, ketika si calon pembeli datang, Elena langsung masuk ke kamar dan berdiam diri di dalamnya. Mending ngadem di kamar merajut kaos kaki dan sweater untuk calon bayinya, ketimbang keluar tapi diketusin karena dianggap penganggu.
Menjelang siang Rani datang sendirian, Raya tidak ikut karena sedang bekerja. Dan tak lama kemudian, si calon pembeli datang mengendarai mobil Toyota Hiace yang berukuran cukup besar. Sebelum orang-orang itu keluar dari mobil, Elena sudah duluan masuk kamar, sehingga tidak sempat melihat wajah mereka.
Rani sudah stand by diteras, menunggu tamunya dengan raut wajah tidak sabar, sekaligus penuh harap. Dia memang sangat ingin rumah ini segera terjual, supaya segera bisa mengantongi duitnya. Kos-kosannya sudah menunggak beberapa bulan, dan dia hampir saja terusir andai saja anak ibu kos tidak naksir berat padanya. Namun dia juga lelah bermanis-manis pada cowok itu, hanya demi hutang sewa kos beberapa bulan. Mau pindah ke tempat lain, dia juga tidak mau karena sudah terlanjur nyaman tinggal disana.
Akhirnya orang-orang itu datang juga, dua orang lelaki berumur pertengahan tiga puluhan. Gaya mereka perlente, dengan kaca mata hitam khas orang kaya. Satu lelaki bertubuh tinggi kekar, menggunakan celana jins dan kemeja bermotif kotak-kotak warna coklat. Sedang lelaki yang satunya lagi bertubuh lebih pendek, lebih gemuk, kulitnya lebih putih, mengenakan setelan jas di siang hari yang panas.
“Hai, saya Adrian. Dan ini teman saya Alex, yang akan membeli rumah ini,” terdengar suara bariton lelaki yang mengenakan setelan jas sambil membuka kacamata hitamnya.
“Silahkan masuk Pak. Nama saya Rani.”
Lelaki bernama Adrian itu mengulurkan tangannya pada Rani sambil tersenyum ramah. Sedangkan temannya yang bertubuh tinggi bak atlit basket, tampak lebih tertarik mengamati suasana di sekitar rumah. Kebetulan siang hari itu suasananya sepi, tetangga-tetangga yang biasanya rajin mengunjungi Elena, sudah beberapa hari ini jarang datang lagi. Mungkin sudah sibuk kembali dengan urusan mereka masing-masing. Bahkan Bu Halimah yang biasanya tidak pernah absen mengecek kondisi Elena, juga tidak kelihatan batang hidungnya hari ini.
"Ini benar dijual dengan isinya ya, Mbak?" terdengar suara seseorang bertanya. Entah Adrian, entah Alex. Karena Elena hanya bisa mendengar suara mereka, itupun terkadang samar-samar dan pelan.
“Interiornya sedikit kuno dan sudah banyak yang rusak. Mungkin akan membutuhkan renovasi besar-besaran jika jadi membeli rumah ini,” komentar pria yang satuya lagi.
Sesaat Elena terkesiap mendengar suara pria itu, karena mirip seperti nada suara almarhum suaminya, Fajar. Serak dan maskulin, khas suara pria bertubuh tinggi kekar. Membuat kerinduan akan suaminya seketika menyeruak, membuat dadanya sesak dan matanya membasah.
“Terserah Bapak sih apa furniturenya mau dipakai atau mau dibuang,” terdengar suara Rani. “Saya tinggal di kos-kosan, jadi tak membutuhkan barang-barang yang membutuhkan space besar seperti lemari, kursi, dan lain-lain. Yang jelas harga rumah ini sudah termasuk isinya.”
“Hmm…maaf ya Mbak, kami belum bapak-bapak. Jadi, please. Jangan memanggil Bapak.”
“Eh iya Om?”
Terdengar kekehan suara tawa si pria bersuara serak. “Gue sih nggak keberatan dipanggil Bapak. Lo aja kali yang sensi dipanggil Bapak. Atau lo lebih suka dipanggil Om?
“Anjir! Memangnya gue terlihat seperti om-om?”
“Lah, umur dah tiga puluhan mau dipanggil apa? Mas? Abang? Atau Adek sekalian?”
Elena tersenyum kecil mendengar percakapan samar-samar di ruang depan.
Jadi pria itu sudah berumur tiga puluhan?,’ batinnya. ‘Mungkin tidak beda jauh dengan almarhum Mas Fajar.’
Entah mengapa Elena jadi penasaran untuk melihat wajah si calon pembeli rumah bersuara serak itu. Namun apa daya tadi Rani dengan tegas melarangnya keluar dan mengacau acaranya.
“Om-om mau meneruskan melihat rumah ini, tidak?”, sela Rani sedikit kesal melihat dua lelaki di depannya yang sibuk saling ejek-ejekan. Sepertinya kedua lelaki itu bersahabat karib, karena tidak segan-segan bercanda dan saling mengejek satu sama lain.
“Jiahhh!! Om lagi,” gerutu si lelaki ditimpali suara tawa temannya.
“Sepertinya nona ini nggak kenal aku. Baguslah,” komentar si suara serak.
“Makhluk langka ya?,” komentar temannya. “Mungkin dia tidak suka nonton bioskop. Tapi manis juga ya? Walau galak.”
Elena tersenyum sendiri, membayangkan pasti saat ini wajah Rani sudah memerah karena kesal. Biasanya dia akan berteriak, mengomel dan menyumpah-nyumpah kalau ada yang membuatnya kesal. Namun kali ini sepertinya Rani berhasil menahan emosinya. Mungkin karena berharap dua pria ini bersedia membeli rumahnya.
Rani memang sedikit ketus dan cuek terhadap lawan jenis, berkebalikan dengan Raya yang justru genit dan senang tebar pesona. Sepertinya si calon pembeli rumah ini sedikit tertarik pada Rani, dari celetukan kalimatnya yang bernada menggoda.
“Kenapa perabotannya nggak dijual terpisah aja sih?,” tanya pria itu lagi sambil mengikuti langkah Rani tour sekeliling rumah.
“Bisa aja sih perabotnya dilelang terpisah, hanya saja ribet dan memakan waktu. Saya lagi sibuk ngerjain skripsi yang udah mangkrak setahun lebih. Nggak punya waktu untuk mengurus ini itu.”
“Oh, Mbaknya masih kuliah? Kirain masih SMA. Habis imut sih.”
Rani tak menjawab. Dia memang bukan cewek yang gampang ge-er dan tersipu dipuji laki-laki. Bunyi langkah Rani terdengar nyaring di rumah yang sepi, karena Rani memakai high heels.
“Ini kamar utama?,” tanya pria tadi ketika melewati kamar Elena. Elena menahan nafas saat menyadari bahwa dua orang itu sedang berdiri di depan pintu kamarnya.
“Bukan, ini kamar kakak saya. Kamar utamanya justru ada di bagian belakang. Almarhum orang tua saya paling senang kalau begitu membuka jendela langsung berhadapan dengan taman bunga yang ada di halaman belakang,” terdengar suara Rani. “Di belakang juga ada sawung kecil dan kolam ikan. Om-om mau lihat?”
Elena menempelkan telinganya di pintu supaya bisa mendengarkan percakapan Rani dan si calon pembeli rumah itu lebih jelas. Sejujurnya Elena sedang kebelet pipis. Kandungannya yang semakin besar membuat kantung kemihnya menjadi cepat penuh, sehingga mesti sering-sering buang air. Parahnya kamar yang ditempatinya tidak punya kamar mandi pribadi, jadi mesti ke kamar mandi di dekat dapur jika ingin buang air. Namun Elena segan untuk keluar, takut kehadirannya akan mengganggu kegiatan Rani dan calon pembeli rumahnya. Jadi, saat mendengar bahwa Rani mengajak mereka untuk melihat halaman belakang, Elena bermaksud meyelinap keluar sebentar untuk buang air.
Krieeeettt…Elena membuka pintu perlahan, sebisa mungkin tidak bersuara. Tapi sialnya dia lupa kalau si pintu suka mengeluarkan bunyi ketika dibuka. Hampir saja Elena masuk kembali karena takut ketahuan. Namun karena hasrat ingin buang airnya sudah tak bisa ditahan, Elena membulatkan hati untuk keluar.
‘Sepertinya aman,’ batin Elena sambil melangkah pelan menuju kamar mandi. Terdengar samar suara Rani di halaman belakang, memberi kelegaan pada Elena untuk menuntaskan hajatnya.
“Alhamdulillah aman,” gumam Elena sambil melangkah kembali ke kamarnya. Pintu kamar masih dalam keadaan tebuka, karena tadi Elena memang sengaja tidak menutupnya. Bergegas Elena masuk dan mengunci pintu. Namun sedetik kemudian dia terkesiap karena melihat kehadiran seorang laki-laki asing di dalam kamarnya.
“Tol…Heppp..hpppp…,” hampir saja Elena berteriak minta tolong. Namun tangan kekar itu buru-buru membekap mulutnya.
“Sssttt..please. Jangan berteriak!”

หนังสือแสดงความคิดเห็น (357)

  • avatar
    Rici Gustina

    kasih sama elea

    8d

      0
  • avatar
    ApriliaAulira

    mantap

    9d

      0
  • avatar
    Keeple keceh

    Mntapp

    10d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด