logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Kebaikan Para Tetangga

Elena cuma diam dan tercenung mendengar nasehat dari Bu Halimah. Dalam hati dia membenarkan bahwa tak seharusnya dia membiarkan si Kembar bertingkah semena-mena, sementara mereka tahu betul bahwa almarhum Bapak dulu melarang menjual rumah ini. Rumah yang sarat kenangan, tempat Fajar dan kedua adiknya dibesarkan. Namun disisi lain, tanpa kehadiran Fajar, Elena juga merasa seperti orang asing di rumah ini. Atas dasar apa dia berkeras mempertahankan rumah ini, sementara statusnya hanya sebagai jandanya Fajar? Lagipula tidak ada bukti hitam diatas putih yang menyatakan bahwa rumah ini adalah miliknya Fajar. Bahkan Elena tidak pernah melihat sertifikat rumah ini. Mungkin sudah diambil Rani sewaktu dulu Bapak meninggal.
"Saya sih nggak terlalu peduli urusan warisan, Bu. Hanya saja saya sedih jika rumah ini dijual. Almarhum Bapak dan juga Mas Fajar sangat menyayangi rumah ini. Makanya kami tetap bertahan disini setelah Bapak meninggal."
Elena menghapus air mata yang bergulir di pipinya. Terkenang saat pertama datang ke rumah ini dua tahun yang lalu. Sebagai anak yatim piatu, Elena memang sangat merindukan suasana kekeluargaan. Makanya tanpa ragu sedikit pun, Elena bersedia mengikuti Fajar pulang kampung untuk merawat Bapak yang mengalami strook. Padahal pindah berarti kehilangan pekerjaan dan memulai lagi segalanya dari nol. Di perantauan mereka sudah punya pekerjaan dan kehidupan yang lumayan mapan. Tapi demi merawat Bapak, Fajar bersedia keluar dari perusahaan ekspedisi tempatnya bekerja. Begitupun Elena, terpaksa berhenti dari tempatnya bekerja di sebuah supermarket. Semua demi bakti kepada Bapak, satu-satunya orang tua mereka yang saat itu masih ada.
Untung Elena memiliki keahlian membuat kue, sehingga bisa membuat kue-kue untuk dititipkan di warung, dan sesekali menerima pesanan. Semua bisa dilakukannya sambil mengurus rumah. Setelah Bapak meninggal, Fajar juga mulai bekerja kembali di sebuah perusahaan cargo di pelabuhan.
Bukannya apa-apa, sewaktu Bapak masih hidup sangat susah bagi Fajar untuk bekerja penuh waktu sebagai karyawan. Karena kehilangan hampir semua fungsi tubuhnya, Bapak sangat tergantung pada bantuan orang lain. Makan dibantu, minum dibantu, mandi dan buang air dibantu. Fajar-lah yang melakukan semuanya itu tanpa mengeluh. Sementara kedua adik kembarnya justru menjauh dengan berbagai alasan. Sama sekali tidak mau tahu tentang kondisi Bapak kandung mereka.
‘Rumah bau pesing sejak Bapak sakit, aku mana tahan?’
‘Aku sumpek karena rumah sudah kayak pasar, jadi rame sejak kedatangan Mas Fajar dan istrinya.’
‘Biasalah, pasti mereka sengaja baik-baikin Bapak dulu. Biar dapat warisan’
Begitulah selentingan kata-kata si kembar yang sempat sampai ke telinga Fajar dan Elena. Memang sih tidak secara langsung mereka mengatakannya, namun dari pembicaraan tetangga dan kerabat, terlihat jelas bahwa mereka tidak menyukai kehadiran Fajar dan Elena. Tapi anehnya disuruh merawat Bapak juga tidak mau. Dasar si kembar yang memang kurang akhlak dan adabnya.
Kalau tidak punya stok sabar yang melimpah, mungkin sudah lama Fajar dan Elena pergi dari rumah itu. Namun karena bakti pada satu-satunya orang tuanya yang tersisa, maka mereka memilih bertahan. Untunglah usaha kue rumahan Elena cukup laris sehingga bisa membiayai hidup mereka yang sederhana, ditambah Fajar sesekali mencari tambahan penghasilan sebagai tukang ojek. Sementara itu, uang pensiunan Bapak yang sekitar tiga jutaan sebulan dikuasai oleh Rani. Itupun masih sering meminta tambahan pada Fajar dan Elena.
Setelah Bapak meninggal, otomatis uang pensiunan Bapak juga dicabut oleh perusahaan. Disitulah Rani dan Raya mulai kelimpungan dan kembali merongrong kakak mereka. Padahal Raya sudah bekerja sebagai sales produk kecantikan, namun tetap saja juga masih menadahkan tangan. Untunglah anak Bu Halimah yang bekerja di sebuah perusahaan cargo mengajak Fajar untuk bergabung menjadi tukang sortir barang. Sehingga keuangan rumah tangga mereka bisa terselamatkan dan Fajar bisa mencukupi kebutuhannya dan Elena, dan juga si kembar.
Bertepatan dengan bulan dimana Fajar mulai bekerja. Elena pun hamil. Fajar dan Elena menyambut dengan bahagia akan hadirnya buah cinta mereka, yang sudah mereka tunggu-tunggu hampir empat tahun lamanya.
Kehamilan Elena lumayan sulit. Sering flek, muntah dan tidak nafsu makan. Akibatnya usaha kue rumahan Elena pun dihentikan karena Elena mabuk parah dan tidak kuat mencium bau masakan. Atas pertimbangan mereka berdua, Fajar memutuskan menghentikan kiriman uang untuk Raya dan mengurangi pengiriman uang untuk Rani. Mereka berpikir, sudah saatnya Rani dan Raya untuk mandiri. Rani yang kuliahnya sudah lebih lima tahun, seharusnya sudah wisuda kalau saja dia tak pemalas mengerjakan skripsi. Demikian juga Raya yang gonta-ganti pekerjaan sesuka hati. Pengen gaji besar padahal Cuma tamat SMA. Akhirnya bekerja sebagai sales kosmetik di sebuah mal.
Sudah saatnya Fajar memikirkan istri dan keluarga kecilnya. Dia merasa lelah dirongrong terus oleh adik-adiknya. Uang am au Bapak dulu sudah dikuasai oleh mereka. Perhiasan almarhumah Ibu juga sudah habis mereka jual satu persatu. Mobil milik Bapak sudah mereka jual. Hanya rumah ini yang tersisa. Rumah yang dikatakan Bapak diberikannya untuk Fajar, namun tidak sempat dibaliknamakan karena Bapak keburu meninggal.
Sekarang sebuah papan bertulisan ‘DIJUAL’ sudah terpancang di dekat pagar. Bersebelahan dengan bendera putih tanda berkabung atas meninggalnya Fajar.
“Kasihan, baru saja Fajar meninggal, adik-adiknya sudah heboh hendak menjual rumah,” komentar salah seorang tetangga.
“Iya. Mana istri Fajar lagi hamil tua. Kasihan Elena.”
“Apalagi Elena itu yatim piatu, sebatang kara tanpa sanak saudara. Entah hendak kemana dia akan pergi kalau rumah ini dijual.”
“Dasar si kembar itu memang nggak punya hati. Sombong. Mana pernah mau beramah-tamah dengan tetangga.”
“Itulah akibatnya kalau anak terlalu dimanja diwaktu kecil. Cantik sih cantik, tapi bikin susah orangtuanya. Nggak ada akhlak, egois dan mau enaknya sendiri. Kesal banget aku melihat mereka ngomongin soal jual rumah di hari Fajar dimakamkan kemaren.”
“Apalagi si Raya. Sudahlah menikah karena kadung bunting duluan, sekarang udah menjanda pula. Masih juga nyusahin kakaknya.”
“Hush…jangan menggibah, Bu Ibu!” seseorang menegur.
“Kenyataan loh, Mbak.”
Untung mereka sudah tidak tinggal disini. Males juga melihat cowok silih berganti datang mengapeli mereka.”
“Memang cantik sih, Bu. Wajar kalau banyak kumbang yang datang.”
“Elena juga cantik, tapi nggak murahan kayak ipar-iparnya. Elena bisa bersikap ramah dan santun. Malang jodohnya dengan Fajar terputus di tengah jalan. Padahal tadinya aku mengira mereka akan menetap disini sampai tua.”
“Kok bisa ya Mas Fajar kena serangan jantung ya, Bu? Padahal badannya bugar gitu. Sering ikutan olahraga senam sama para lansia,” seseorang bertanya.
“Namanya juga ajal, Nduk. Kalau umurnya Cuma segitu, am au bagaimana pun ya ngga bisa diapain. Pasrah aja dah.”
“Betul. Makanya di agama kita diajarkan, bahwa lahir, maut, rezeki dan jodoh, itu semua adalah urusan Allah.”
“Iya Bu, jadi takut saya mati muda. Belum siap rasanya amal ibadah untuk akhirat.”
“Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Itu sudah ketetapan Allah. Ada dalam Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 145,” timpal Bu Nadia, seorang guru mengaji.
“Makanya kita disuruh bekerja mencari rejeki seolah-olah hidup selamanya, dan beribadah seolah-olah akan mati besok pagi ya, Bu? Itu Surat apa ya, Bu?”
“Itu hadis, Nduk. Bukan ayat Al Qur’an.”
“Ooo..iya, Bu.”
“Makanya rajin ngaji, Nduk. Sana kamu ngaji lagi di rumah Elena. Murid-murid mengaji di TPA pada pindah mengaji disana.”
“Sampai berapa lama murid-murid mengaji di rumah itu, Bu? Katanya tahlilan itu bid’ah, Bu?”
“Ibu kan nggak bilang tahlilan. Makanya kamu kalau ngaji yang bener, Nduk. Kalau dengerinnya sepotong-potong ya susah. Sekarang niatnya apa? Mau membaca Al Qur’an? Ya pasti dapat pahala. Lagian bacaan Al Qur’an itu pengobat hati yang sedih. Bayangkan perasaan Mbak Elena kalau diam sendirian di rumah. Pasti nelangsa, toh? Dengan kita membaca Al Qur’an di rumahnya sekaligus menemaninya, pasti Mbak Elena merasa terhibur.”
“Maklum si Dini biasa dengar pengajian online, Bu. Udah merasa paling benar aja dia, makanya berhenti mengaji di masjid. Hehehe…” komentar seorang remaja putri sambil tertawa.
“Makanya kalau berguru itu yang benar. Pengajian online tidak sepenuhnya salah, karena Cuma medianya saja yang beda. Tapi sedapatnya mengajilah di majlis, tempat kita bisa bertanya dan meminta penjelasan tentang hal-hal yang belum kita paham hukumnya.”
“Ngge, Bu. Hayu Din, kita kerumah Mbak Elena.”
Alhamdulillah Elena punya tetangga-tetangga yang baik. Yang setia menemaninya sepeninggal Fajar. Sehingga walaupun sedih, Elena bisa tegar menghadapi masa depan.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (357)

  • avatar
    Rici Gustina

    kasih sama elea

    8d

      0
  • avatar
    ApriliaAulira

    mantap

    9d

      0
  • avatar
    Keeple keceh

    Mntapp

    10d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด