logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Berebut Harta Warisan

Waktu berlalu seperti mimpi bagi Elena. Baru tadi pagi dia membuatkan nasi goreng buat suaminya, siang harinya dia sudah menjadi janda.
Elena duduk terpekur di pusara. Satu persatu tetangga dan kenalan yang ikut mengantar Fajar ke tempat peristirahatan terakhir sudah berangsur pulang. Meninggalkan Elena sendiri disitu. Bersimpuh membelai batu nisan, yang bertuliskan tanggal lahir dan berpulang suaminya.
Fajar Kurniawan Bin Hendrawan
Lahir : 30 Juli 1989
Wafat: 30 Juni 2021
Makam Fajar berada ditengah-tengah, diantara makam kedua orangtuanya. Sebagai bukti pengingat bahwa Fajar adalah anak yang berbakti. Anak yang rela mengorbankan hidupnya untuk berbakti pada kedua orangtuanya. Dulu dia mengorbankan pendidikannya demi merawat kedua orang adik kembarnya yang masih kecil karena ibunya meninggal. Lalu dia mengorbankan pekerjaannya demi merawat bapaknya yang sakit. Baru saja bisa menata kehidupan keluarga kecilnya yang akan kedatangan seorang malaikat kecil, ternyata giliran dia yang berpulang. Takdir memang tidak ada yang tahu. Elena hanya bisa berharap semoga Fajar bisa beristirahat dengan tenang dan bahagia disana.
Elena mengelus perutnya, yang disambut janinnya dengan gerakan dan tendangan yang membuat Elena terkejut senang. Seolah-olah janin mungil itu ingin mengatakan pada ibunya bahwa ‘Bu, aku ada disini. Aku siap untuk menggantikan Ayah menjaga ibu. Please, jangan menangis lagi ya Bu.’
"Sehat-sehat ya Nak di dalam," bisik Elena sambil mengelus perutnya dengan lembut. "Raga Ayah boleh pergi, namun jiwanya tetap bersama kita. Ayah akan menjaga kita dari atas sana."
Sekali lagi Elena mencium batu nisan suaminya dan membisikkan salam perpisahan. Lalu wanita yang sedang hamil tua itu bangkit dengan susah payah, lalu melangkah meninggalkan pemakaman yang tidak terlalu jauh dari rumah itu.
Di teras depan rumahnya, ternyata ada duo kembar Rani dan Raya sedang menunggu.
"Mbak," panggil Rani.
Elena menghampiri adik iparnya. Muka Raya tampak masih kecut, penanda dia masih menyimpan marah pada Elena. Marah yang entah kenapa, sangat tidak beralasan. Seolah-olah Elena yang sudah membuat Fajar meninggal.
"Kami pamit mau pulang," ujar Rani.
"Pulang?" Elena mengerutkan kening. "Nanti malam kan ada tahlilan Mas Fajar di rumah kita. Banyak yang mesti kita persiapkan. Apa kata tetangga kala kalian tidak hadir?"
"Halah!" Raya mengibaskan tangan. "Yang kayak gitu tak penting. Cuma ngabisin duit!"
Elena mengucapkan istigfar. "Maksud kalian apa? Yang barusan meninggal itu kakak kalian! Kok tega-teganya membahas masalah duit?"
"Kalau kamu punya duit buat bikin acara tahlilan, ya silahkan aja. Tapi dilarang keras menjual barang-barang di rumah untuk biaya."
“Astagfirullah. Kalian kok berpikir begitu sih? Uang, uang terus yang dipikirin. Gaji Mas Fajar juga sebagian besar untuk biaya kuliah Rani, uang pensiun Bapak juga sama Rani. Mbak pegang uang apa? Mas Fajar cuma ngasih uang belanja satu juta untuk sebulan.”
Rani dan Raya serentak mencibir, membuat hati Elena berdenyut sakit.
"Lagian barang apa? Toh semua barang berharga di rumah ini sudah kalian jualin sejak Bapak meninggal."
"Terpaksa! Aku butuh uang buat bayar SPP. Siapa suruh kalian tak lagi kasih aku uang?," tanya Rani sambil menyilangkan tangan di dada.
'Ya Allah. Astagfirullah..’, kembali Elena beristigfar dalam hati.
Baru saja jasad suaminya terkubur, kedua adik iparnya yang diasuh Fajar waktu kecil dengan mengorbankan hidupnya sendiri, sudah berani bicara soal uang. Sungguh Elena tak habis pikir, terbuat dari apa hati kedua gadis ini?
Kedua mertua Elena, Pak Hendra dan Bu Ida memang sangat memanjakan kedua putrinya itu semenjak kecil. Memang sudah sangat lama mereka merindukan suara tangisan dan gelak tawa anak kecil di rumah ini. Keinginan yang baru terwujud setelah Fajar berusia sembilan tahun. Tak tanggung-tanggung, Tuhan memberi dua anak perempuan sekaligus. Bapak Hendra dan Bu Ida, merasa amat sangat gembira.
‘Baby with silver spoon on their mouth’
‘Anak emas’
‘Intan payung’
Demikian orang-orang menyebut kedua anak kembar itu, karena saking dimanjakan sewaktu kecil. Kebetulan pula Rani dan Raya memiliki wajah yang cantik seperti boneka, dengan kulit putih pualam dan bulu mata lentik. Jadilah mereka anak kesayangan keluarga. Bahkan bisa dibilang Fajar tak obahnya seperti anak tiri yang terabaikan, karena perhatian kedua orangtuanya kini beralih ke si Adik Kembar.
"Fajar, ayam gorengnya buat Adek, ya? Kamu makan pakai tempe aja."
"Fajar, kamu ke sekolahnya jalan kaki ya, Nak. Bapak cuma bisa mengantar si kembar."
"Fajar, kamu tak usah beli baju lebaran ya, Nak. Duit kita cuma cukup buat Adek."
"Fajar, kamu jaga rumah ya? Bapak dan Ibu mau ajak Adek jalan-jalan. Mobil kita kecil, tak muat kalau pergi semua."
Adek
Adek
Adek lagi
Adek terus
Dari kecil Fajar terpaksa mengalah demi kedua anak kecil nan manja itu. Dari terpaksa, akhirnya menjadi terbiasa. Kedua adiknya tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik, tapi sangat manja.
Puncaknya saat Ibu mereka menderita kanker usus besar. Fajar yang waktu itu sudah duduk di bangku SMA mesti pontang-panting mengerjakan semuanya. Mengurus rumah, merawat Ibu, dan mengasuh adik-adiknya. Tak ada waktu lagi untuk bermain. Bahkan belajar pun cuma sesempatnya. Alhasil nilai-nilai Fajar merosot tajam, bahkan terancam tidak lulus ujian akhir.
Karena itulah, setelah Ibu meninggal dan Fajar menyelesaikan sekolahnya dengan susah payah, Fajar memilih untuk tidak melanjutkan kuliah. Selain khawatir hanya akan menghabiskan uang, Fajar juga mengkhawatirkan kedua adiknya. Siapa yang akan mengurus mereka? Sementara Bapaknya sibuk bekerja.
Malangnya Fajar, jerih payahnya sama sekali tidak mendapat penghargaan dari adik-adiknya. Bahkan disaat jasadnya baru dimakamkan pun, kedua adiknya sudah berani bicara tentang harta.
"Maaf Mbak, motor Mas Fajar aku ambil, soalnya aku butuh buat pergi kerja,“ ujar Raya sambil mendorong sepeda motor Fajar dan menstarternya. Raya bekerja sebagai Sales Promotion Girl yang tempat kerjanya memang terkadang berpindah-pindah.
“Oya, rumah ini juga mau kami jual,” ujar Rani menyambung. “Aku juga butuh uang untuk menyelesaikan skripsi. Sekarang kami sudah tidak punya siapa-siapa yang akan memberi kami uang. Ibu dan Bapak sudah meninggal, sekarang Mas Fajar juga sudah menyusul Ibu dan Bapak. Kami sekarang sebatang kara."
Rani sedikit terisak, entah sedih karena kakaknya telah tiada atau karena sedih tak ada lagi orang yang akan memberinya uang. Sementara Raya bersikap acuh dengan memainkan gas sepeda motornya. Tingkah keduanya itu mulai menarik perhatian beberapa tetangga yang masih bertahan di rumah itu, untuk membantu dan menghibur Elena. Beberapa ibu-ibu terlihat menggelengkan kepala dan memandang Elena dengan iba.
Dari dulu para tetangga memang tidak terlalu menyukai si kembar. Selain tidak mau bergaul dengan tetangga, keduanya juga cenderung bersikap acuh. Jarang menyapa saat berpapasan, bahkan tersenyum pun enggan. Akibatnya para tetangga lebih memilih menjaga jarak dari keduanya. Berbeda dengan Elena yang bersifat ramah, sopan dan periang. Walau belum lama tinggal di rumah ini, tapi cepat bisa berbaur dengan tetangga.
Elena tercenung. Tanpa sadar dia terduduk di trotoar.
Sebatang kara. Elena juga sebatang kara. Elena bahkan tak pernah merasakan kasih sayang orangtua, karena dari kecil dia sudah menjadi penghuni panti asuhan. Rani masih punya saudara kembarnya, Raya. Bahkan Raya punya anak, walau anaknya diasuh oleh mantan mertuanya. Mereka sama sekali tak paham apa artinya sebatang kara.
Elena menelan ludahnya yang terasa sangat pahit.
"Kenapa dijual? Bukankah almarhum Bapak dulu berpesan bahwa rumah ini tidak boleh dijual. Nanti Mbak tinggal dimana kalau rumah ini dijual?," tanya Elena sedih. Refleks tangannya menyentuh dan mengelus perutnya. Tidak lama lagi dia akan melahirkan. Kemana dia akan membawa bayi ini? Dengan apa akan dibiayainya bayi ini?
"Tenang saja, nanti Mbak juga akan mendapat bagian kalau rumahnya sudah laku terjual," ujar Rani tanpa memandang Elena. Dia seperti sudah tidak sabar untuk segera pergi dari situ, mungkin agak jengah dengan para tetangga yang sesekali mencuri pandang ke arah mereka.
Elena mengangguk pasrah. Sadar dirinya bukan siapa-siapa dimata Rani dan Raya. Cuma orang lain yang kebetulan menikah dengan kakak mereka. Seorang ipar yang tak pernah dianggap.
"Baiklah Nanti kami kabari kalau ada orang yang mau datang buat melihat rumah. Mungkin besok aku akan memasang iklan penjualan rumah. Sementara sebelum rumah ini terjual, silahkan Mbak tinggal disini. Tapi awas kalau ada barang-barang yang hilang. Rumah ini mau dijual beserta isinya," ujar Rani lagi dengan wajah tak bersahabat.
Kemudian kedua saudara kembar itu berlalu. Rani mengendarai motornya sendiri, sedangkan Raya mengendarai motor Fajar yang diambilnya secara paksa.
Elena masih terduduk di tempatnya, bahkan lama setelah itu dia belum juga beranjak. Kekhawatiran akan masa depan mulai menggerogoti hatinya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (357)

  • avatar
    Rici Gustina

    kasih sama elea

    8d

      0
  • avatar
    ApriliaAulira

    mantap

    9d

      0
  • avatar
    Keeple keceh

    Mntapp

    10d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด