logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Part 6 Diusir Lagi

Part 6
Gegas aku mengangkat bayi tersebut dan membasuhnya dengan air. Namun, tali yang ada di pusat bayi ini masih terhubung ke dalam. Dengan kondisi panik, ku bawa bayi tersebut ke kamar dan segera menghubungi Mbak Dewi.
“Mbak, bayinya lahir!” ucapku dengan nada panik saat Mbak Dewi telah menjawab panggilanku.
“Di mana, Dek?” tanya Mbak Dewi ikutan panik.
“Di kosan, Mbak. Gimana ini?” tanyaku panik.
Bayi ini tak berhenti menangis sejak tadi. Tiba-tiba aku kembali merasakan mulas di perut. Sekuat tenaga aku mengejan karena mulas yang tak tertahan. Keluarlah segumpal daging yang cukup besar dengan diiringi darah yang cukup banyak.
“Dek, Mbak kesana sebentar lagi. Tunggu hujan agak reda.”
Suara Mbak Dewi terdengar samar di gawai yang tergeletak di lantai. Keadaan yang panik membuatku terpaku tanpa tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Tangis bayi yang tak henti sedari tadi menambah kepanikanku. Ingin rasanya ku bekap saja bayi ini agar tak lagi bersuara. Tiba-tiba suara ketukan terdengar sayup-sayup diselingi suara hujan yang mulai mereda. Gegas aku membukakan pintu, berharap Mbak Dewi yang datang.
“Kisha, aku dengar suara bayi dari arah sini. Bayi siapa? Kenapa pakaianmu darah semua?” berondong pertanyaan dari Mbak Steffy, penghuni kos tepat di sebelah kamarku.
Aku terdiam mematung melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Terlebih setelah mendengar semua pertanyaannya. Melihat keadaanku yang berlumur darah dan hanya bisa mematung, sedangkan suara bayi yang menggema di kamar, segera ia nyelonong masuk ke kamar tanpa menunggu persetujuan.
“Kisha, kamu melahirkan?” teriakan Mbak Steffy menyadarkanku dari lamunan.
Gegas aku menyusulnya ke kamar. Kulihat ia sedang mengambil kain untuk menutupi tubuh bayi mungil itu. Kemudian ia berdiri dan berlari keluar. Tak lama ia datang kembali dengan membawa sebuah tas berisi perlengkapan medis, mengeluarkan gunting dan memotong tali bayi yang tersambung ke gumpalan daging tadi. Aku hanya mampu diam berdiri di dekat pintu melihat apa yang ia lakukan.
Mbak Steffy adalah mahasiswi tingkat akhir di Sekolah kesehatan yang berada di belakang kosan kami. Namun, aku lupa jurusan apa yang ia ambil. Selama tinggal di sini kami hanya dua kali mengobrol, itu pun hanya basa-basi saja. Tangannya tampak sangat terampil mengurus bayi mungil yang baru saja keluar dari perutku. Ia mengambil hijab lebar yang ada di antara tumpukan baju di sudut kamar kemudian melilitkannya di tubuh mungil itu.
“Kisha, bersihkan dirimu dan ganti pakaian kemudian susui bayi ini!” Perintahnya mutlak dan harus kulakukan.
Segera aku membersihkan diri dan berganti pakaian seperti yang diperintahkan Mbak Steffy. Ia membantuku untuk menyusui bayi ini. Setelah aku merasa nyaman dengan posisinya, ia meninggalkanku ke kamar. Kupandangi bayi mungil yang berada di pangkuanku. Dengan lahapnya ia menyesap air susuku. Rasa haru menyeruak di antara rasa benci dan penyesalan. Tak terasa setetes bening jatuh ke pipiku.
“Kisha, kalau hari sudah terang, kamu kuburkan plasenta ini.” Mbak Steffy menyerahkan bungkusan plastik padaku.
Ku letakkan bayi mungil yang sudah tertidur lelap ini di lantai beralaskan selimut tebal dan mengambil bungkusan yang diserahkan Mbak Steffy tadi. Ia duduk tepat di hadapanku dan menatap tajam mata ini.
“Mbak, aku mohon jangan ceritakan pada siapapun.” Aku memegang tangan Mbak Steffy sembari memohon padanya.
“Jelaskan padaku!” ucapnya datar.
Dengan uraian air mata, aku menceritakan semua masalahku pada Mbak Stefy, yang ternyata adalah Mahasiswi kebidanan di Sekolah Tinggi Kesehatan. Mbak Stefy mendengarkan semua ceritaku tanpa mencela sedikit pun.
“Kisha?” Terdengar suara di depan pintu masuk yang tak terkunci sedari tadi. Serentak kami menoleh ke arah sumber suara. Tampak Mbak Dewi yang baru saja datang dengan jas hujan di tangannya. Segera ia masuk dan menghampiri kami.
“Mbak saudaranya Kisha, kan?” tanya Mbak Stefy saat Mbak Dewi sudah duduk di antara kami.
Aku dan Mbak Dewi saling berpandangan. Sesaat kemudian Mbak Dewi pun menceritakan hal yang sebenarnya. Tampak raut wajah Mbak Stefy yang tadinya tegang menahan amarah kini berubah lebih santai.
“Aku nggak bisa janji untuk merahasiakan ini. Walau bagaimanapun, bayi ini kelak akan menangis dan pasti suaranya akan terdengar oleh yang lain,” jawab Mbak Steffy saat kami meminta untuk tidak menyebarkan berita tentang kelahiranku.
Apa yang dikatakan Mbak Steffy benar. Tak ada lagi yang bisa aku tutupi disini jika suara bayi ini terdengar oleh yang lain Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan. Bayangan akan gunjingan para penghuni kosan ini pun membuat gelisah hatiku. Belum lagi jika ibu kost tahu masalah ini. Ancaman akan diusir dari sini pun menghantuiku.
***
Suara bayi terdengar di telingaku. Aku terbangun dan berharap semuanya hanya mimpi. Namun, semua ini nyata. Bayi yang berada di sampingku sedang menangis keras. Mungkin ia merasa lapar atau haus. Segera kuangkat dan kususui. Ia kembali tenang, tapi suara bisik-bisik di luar terdengar di telinga ini. Tak lama terdengar suara ketukan di pintu yang telah terkunci. Aku terdiam, apa yang harus aku lakukan sekarang.
“Kamu diam aja di situ. Susui anakmu, biar Mbak yang keluar.” Mbak Dewi datang dari belakang kemudian membuka pintu. Aku bergegas membawa bayiku ke kamar.
“Mbak, apa benar Kisha melahirkan?” tanya seseorang pada Mbak Dewi.
“Iya. Sekarang ia sedang di kamar istirahat, ada yang bisa saya bantu?” tanya Mbak Dewi berusaha tenang walau getaran suaranya mampu menembus telingaku.
“Nggak ada. Hanya mau memastikan saja. Nggak nyangka, ya, hijabnya lebar ternyata untuk menutupi kehamilannya,” sinis perempuan yang bertanya tadi kemudian terdengar suara langkahnya menjauh.
Mbak Dewi kembali ke kamar diiringi Mbak Steffi di belakangnya. Kuletakkan bayi ini ke atas kasur yang sudah dibersihkan Mbak Dewi tadi malam.
“Aku nggak bilang sama mereka, tapi mereka mendengar suara tangis bayi ini tadi,” ucap Mbak Steffy sambil mengangkat bayi yang baru saja tertidur.
“Nggak apa, Mbak. Itu sudah menjadi resiko untukku,” jawabku serak menahan tangis.
Mbak Steffy hanya diam. Tangan bergerak lincah membuka kain yang menutupi tubuh mungil itu dan membawanya ke kamar mandi. Tak lama ia kembali dengan membawa bayi yang sudah dimandikannya.
“Kamu belum membeli pakaiannya?” tanya Mbak Steffy sambil meletakkan bayi itu ke atas kasur. Aku dan Mbak Dewi tersentak. Sesuatu hal yang kami lupakan untuk membeli perlengkapan bayi ini.
“Mbak ke pasar dulu untuk membeli keperluan bayi ini, ya,” ucap Mbak Dewi setelah beberapa saat kami terdiam.
Baru saja Mbak Dewi akan beranjak, terdengar suara teriakan dari arah luar.
“Kisha, saya tidak mau ada bayi di kosan saya! Apalagi itu adalah anak haram! Segera kalian pergi dari sini!” Suara Bu Dian pemilik kosan ini menggelegar membuat semua penghuni keluar dari kamarnya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (112)

  • avatar

    sangat bagus

    25d

      0
  • avatar
    HasminaNur

    cerita a bgus bgt,,,terharu bgt n ccok lah

    29d

      0
  • avatar
    YarabiBimbi

    keren

    31/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด