logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 Patungan

"Tambah lagi aja jamnya," ujar Eva melihat waktu yang hampir menuju akhir di layar.
"Iya nih, dua jam masih kurang. Anya juga belum nyanyi," celetuk Suli melirik ke arah Anya yang sedang menikmati kentang goreng dan colanya.
"A-apa? Eh, aku ... suaraku lagi nggak bagus," elak Anya.
"Nggak bagus apa kamu nggak bisa nyanyi? Kamu nggak pernah ke karaokean, kan?" tebak Dita yang seringkali berkata agak ketus.
"Bisa kok," sahut Anya yang mulai panas hati. Si Dita itu mudah sekali membuatnya kesal. Apa cuma dia yang bisa menyanyi dengan merdu?
Suli menyodorkan mic ke arah Anya. Sementara itu, Dita terkekeh dan menambah waktu mereka di room. Senang sekali membuat orang mudah terpancing emosi. Sejak pertama kenal dengan Anya, dia sudah menebak bahwa wanita itu gampang disulut emosinya.
Anya meraih mic dengan tangan dingin. Dia bergetar, belum pernah menyanyi selain di kamar mandi. Ya, dia adalah jago kamar mandi. Namun, hati Anya bilang bahwa dia harus percaya diri. Mungkin saja suaranya semerdu saat dia menyanyi solo di kamar mandi seukuran satu setengah meter di rumah kontrakannya itu.
"Mau nyanyi apa? Ketik aja di layar ini," ujar Eva. Wanita itu mulai mengeluarkan rokok dari tas lalu menyulutnya. Embusan asap membuat Anya terbatuk-batuk. Di rumah saja, Putra tak pernah merokok, jadi Anya gampang sekali batuk saat terkena asap rokok sedikit saja.
"Kamu cariin, Va. Dia nggak bisa tuh," olok Dita, mengangkat sebelah alisnya, melirik pada Anya dengan sinis.
Anya sangat geram. Sayangnya, apa yang dikatakan Dita benar. Dia tak bisa memilih lagu, meski sedari tadi memandang caranya dari kejauhan. Tak bisalah dia menyahut Dita, apalagi membalas dengan menunjukkan kemampuannya.
'Huh, terserah apa katamu Dit! Aku akan tunjukkan bahwa aku bisa nyanyi. Aku akan mengalahkan suaramu itu!' gerutu Anya dalam hati.
Ya, Dita yang seringkali menghabiskam waktu di karaokean, bahkan dia sering bercerita kalo di rumah dia pun memiliki studio sendiri untuk membuat konten cover lagu. Suaminya yang membuatkan. Itu membuat Anya iri. Makanya dia juga berniat akan meminta Putra untuk membuatkannya ruangan baru khusus untuknya menyanyi. Namun, kembali lagi ... harus menunggu waktu kapan mereka bisa memiliki rumah.
"Oh, baiklah."
Eva yang baik di mata Anya, mengambil alih untuk memilihkan lagu yang biasa Anya nyanyikan di rumah. Kembali Dita mengejeknya dengan mengatai bahwa lagu itu lagu jaman dulu dan sudah sangat ketinggalan.
Anya sangat geram. Dia sudah down duluan sebelum beraksi.
'Sialan banget sih, mulutnya Dita!'
Lagu dimulai. Anya pun mengeluarkan suaranya. Kedua temannya menahan tawa mendengar suara Anya yang mendekati cempreng itu.
Dita tertawa terbahak-bahak dan naas, dia memegang ponsel yang dikeluarkan untuk merekam suara Anya. Wajah Anya merah padam. Walau Dita semula bilang bahwa di situ hanyalah melepas stress saja, tapi nyatanya dia terbahak mendengar suaranya.
"Udah, ah."
Anya meletakkan mic itu ke meja. Dia melipat tangannya sambil mengerucutkan bibir. Beringsut ke samping lalu kembali menghabiskan kentang gorengnya, memilih tak menghiraukan kekehan teman-temannya. Apalagi, ponselnya ramai terdengar notifikasi dari grup.
Anya meraih ponsel, tambah malu melihat video dirinya yang sedang bernyanyi ditonton oleh anggota grup dan mereka semua berkomentar menertawakan suaranya.
Wah, cocok Anya bagus suaranya.
Komentar Aminah satu-satunya yang positif. Anya sangat lega, ada juga yang mengomentari suaranya bagus. Namun, semua itu pecah saat ada komentar susulan dari Aminah lagi.
Bagus buat jadi tukang kerupuk.
Emoticon tawa berhamburan di layar, bersusulan dari semua anggota grup, mereka mengeluarkan stiker tawa masing-masing. Biasanya stiker-stiker itu membuat Anya ikut tertawa. Namun kali ini wajahnya nampak masam sekali. Tawa itu melecehkannya.
Rasanya meradang, tapi Anya tak berani berbuat apa-apa. Jika marah, dia hanya akan ditendang dari grup. Tak maulah. Hanya persoalan suara, dia dimusuhi semua anggota arisan sosialitanya.
Jam tambahan itu hanya dihabiskan lagi oleh ketiga teman Anya. Mereka tak lagi meminta Anya menyanyi. Ruangan yang dibilang penghilang stress itu malah makij membuat stress untuk Anya. Seringkali dia meringis saat Dita menyanyi lalu mengubah lirik lagu menyindirnya sebagai 'Kang Kerupuk'.
"Yuk, udahan, yuk? Aku lupa kalo sore ini ada keluarga dari luar kota datang," celetuk Suli, memutar jam tangan bermerk Rol*x itu.
Anya pernah iseng mencari harga jam dengan pelat menarik, melingkari pergelangan tangan mulus Suli. Dia terperangah saat mengetahui harganya. Dua puluh juta! Tentu Suli tak membeli barang kaleng-kaleng. Itu pasti original. Penanda jamnya pun emas asli delapan belas karat.
"Yuk. Nanti patungan bayar ya! Kayak biasanya," ujar Eva.
Anya yang sekarang banyak terdiam, meringis dalam hati. Untung saja tadi dia hanya memesan satu piring kecil kentang goreng dan cola. Berjaga jika harus membayar. Mereka berjalan keluar dari ruangan lalu masuk ke dalam lift.
Hingga sampailah mereka di depan kasir. Eva menanyakan jumlah yang harus mereka bayar.
"Lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah," sahut penjaga kasir di depan usai memeriksa nomor room.
Kedua mata Anya terbelalak. Meski Eva bilang bahwa jumlah yang dibagi empat untuk dibayar patungan hanya yang lima ratus ribu rupiah, tentu saja itu mahal untuk Anya. Bukankah dia tak ikut menyanyi? Anya mendesah. Namun, demi menjaga image, dia pun menyerahkan uang sejumlah seratus dua puluh lima ribu rupiah itu untuk patungan. Dengan berat hati dia mengambil dua lembar uang merah lalu ditukar dengan kembalian oleh Eva.
"Untung ada tukang kerupuk, jadi kita patungannya ringan," seru Dita terkekeh, merangkul Anya.
Anya hanya tersenyum kecut. Ini benar-benar merugikan. Membayar mahal hanya untuk jadi bahan olokan di grup aplikasi hijau.
"Eh, besok lagi ya?" pamit Dita, mereka bertiga berpisah di parkiran untuk menaiki mobil sendiri-sendiri. Hanya Anya yang sedang mengetuk layar untuk memesan taksi online.
"Nya! Kamu dijemput? Suamimu pulang malam kan?" tanya Eva.
"Iya. Aku lagi pesen taksi online," sahut Anya mengalihkan pandangan matanya dari layar untuk menjawab pertanyaan Eva.
Nyaris saja dia sudah memencet pesan driver, sebelum Eva menawarinya tumpangan.
"Udah, naik aja. Aku anter!" ajak Eva.
Teman Anya satu itu memang sangat baik. Namun, satu masalah lagi. Anya tak ingin Eva mengetahui tempat tinggalnya yang bobrok itu.
"Eh, nggak usah lah, Va. Ngerepotin!" tolak Anya halus. Layar ponselnya sudah padam. Dia harus membuka lagi untuk memencet pesan driver, tapi tangan Eva menariknya untuk masuk ke mobil silvernya. Bersamaan dengan itu, suara klakson mobil hitam Suli melewati mereka. Disusul oleh klason mobil hitam juga milik Dita.
Sempat Anya berandai-andai berada di balik kemudi dan memakai kacamata hitam seperti Dita dan Suli. Pasti keren.
"Masuk aja. Aku anter. Aku free, kok!"

หนังสือแสดงความคิดเห็น (19)

  • avatar
    V17skw2024Vivo

    baguss

    27d

      0
  • avatar
    MaulanaFikri

    bagus sekali cerita nya

    13/08

      0
  • avatar
    HayatiNur

    ok baik

    02/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด