logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Karaoke

Ting.
Bunyi notifikasi dari ponsel Anya membuatnya segera mengaduk tas untuk mencari benda pipih kesayangannya itu. Anya membuka pesan dalam grup arisannya di sebuah aplikasi hijau. Wajahnya semringah saat membaca undangan untuk bertemu di sebuah karaokean ternama di kota itu.
“Bu, nanti jam sepuluh aku pergi ya?” pamitnya pada sang ibu yang sedang mengeluarkan tumpukan baju kering habis diangkat dari jemuran.
Kening Bu Asih berkerut. Biasanya anak perempuannya itu akan duduk di sebelahnya untuk ikut melipat tumpukan baju itu. Namun, kali ini dia bagai wanita yang sibuk entah mengurusi apa. Bu Asih belum menjawab ijin Anya, malahan memperhatikan tingkah polah anak yang telah berkepala dua itu.
Anya menepuk pipinya dengan lingkaran kecil yang sebelumnya di tepuk dulu ke sebuah bedak. Agak terbelalak, Bu Asih melihat merk bedak itu. Seperti yang dia lihat di televisi. Matanya meluncur ke sebuah pouch yang nampak penuh berisi peralatan make-up. Sepertinya mahal-mahal.
“Mau ke mana, Nya?” tanya sang Ibu akhirnya.
“Mau ketemu teman-teman doang,” sahut Anya. “Bosen di rumah nggak ada temen,” imbuhnya demi menghalau pertanyaan lain dari Bu Asih.
Anya memutar tutup lipstik yang akhirnya dia pilih karena sebelumnya, enam lipstik yang sempat dihitung oleh Bu Asih, dikeluarkan oleh Anya dengan mematut-matut pada baju yang dipakainya. Dia mengoleskannya ke bibir.
“Nya, apa lipstik yang kamu pake itu warnanya nggak terlalu nggonjreng?” ceplos Bu Asih yang sedari tadi memperhatikan anaknya.
“Ini baru trend, Bu. Kalo yang lembut-lembut biasanya kupakai arisan PKK di komplek aja, atau belanja di sekitar rumah,” jawabnya seraya memasukkan kembali pemerah bibir itu ke dalam pouch ungu.
Bu Asih meringis melihat anaknya. Selama ini, dia belum pernah melihat anaknya berdandan. Hanya kaget juga melihat perubahan kulit anaknya itu. Bu Asih agak bersyukur karena usai menikah, ternyata anaknya pandai merawat diri. Namun sekarang dia agak terkejut melihat dandanannya.
“Lho, lha kamu mau ke mana sih sebenarnya? Ketemu temen-temen tapi dandan kayak kondangan gitu?” celoteh Bu Asih. Tangannya melipat baju, tapi mata ke arah anak perempuannya.
“Ya gini semua dandanan temen-temenku itu, Bu.”
Hanya itu yang dikatakan oleh Anya, lalu dia beranjak merapikan baju kemudian meraih tangan ibunya, mencium punggung tangan wanita paruh baya itu dengan bersemangat.
“Ibu, aku berangkat dulu. Nanti aku langsung pulang ke rumah. Makasih opornya, Bu.”
“Eh, kamu nggak bawain opor buat suamimu?” tukas wanita paruh baya itu.
Anya terkekeh dalam hati. Gila apa bawa-bawa kresek berisi opor ayam ke tempat karaokean? Bisa ditertawakan teman-temannya.
“Nggak usah, Bu.”
“Katamu tadi nggak masak? Kasihan kan suamimu?” desak Bu Asih, hendak berdiri untuk mengambilkan opor.
“Nggak, Bu. Palingan udah makan di pabrik dia. Pulang-pulang juga tinggal merem,” dustanya.
Tak menunggu reaksi sang ibu, Anya bergegas pergi dari tempatnya berdiri. Berpamitan dengan berteriak pada ibunya yang menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
“Semoga mereka segera dikaruniai anak, biar Anya nggak kesepian di rumah,” gumamnya.
Bu Asih kembali melanjutkan pekerjaannya sambil menunggu anak-anaknya pulang dari sekolah. Dua adik Anya. Sementara sang suami bekerja di luar kota.
***
“Wah, Anya datang! Makin seru nih,” sambut Eva, salah satu primadona di arisan karena dia masih single dan belum memiliki suami. Namun, dia begitu banyak uang.
Anya pikir, orang tua Eva dari kalangan orang berada. Jadi dia bebas berfoya-foya dengan kartu kreditnya itu. Selain Eva, ada Dita dan Suli. Keduanya pun bebas karena suami-suami mereka adalah pebisnis. Anak-anak mereka sudah ada yang mengasuh.
“Ayo, mau nyanyi apa, Anya?” sambut Suli menyerahkan mic berwarna hitam yang menggelikan karena ujungnya terbungkus kain putih tipis.
Anya yang baru sekali itu datang ke tempat karaokean, menggelengkan kepala. Dia masih sibuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan karena naik ke tangga dengan berjalan kaki, sebelumnya bertanya pada karyawan yang bekerja di situ tentang room 21 yang ditempati oleh teman-temannya.
“Ayo, jangan malu, Anya. Di sini bukan ajang pemilihan bakat. Hanya melepas stress aja,” celetuk Dita.
Sementara itu, Eva sudah menyanyi dengan berjoget naik ke atas kursi.
“Nanti,” sahut Anya.
“Ya udah, kamu pilih minuman aja di menu itu. Ada makanannya juga,” sodor Suli pada Anya. “Kamu kayak ngos-ngosan gitu, abis ngapain sih?” kekehnya.
“Abis naik tangga,” sahut Anya.
“Lho, nggak naik lift?” tanya Suli heran.
Anya tergagap. Dia tak tahu ada lift. Hanya melihat ada tangga, ya dia berjalan melewati tangga. Tak disangka, dia harus berjalan sampai lantai empat.
“Eng ... mau olahraga aja,” kilah Anya, meringis lalu menarik menu.
Suli mengangkat bahu lalu bergeser lagi untuk menatap sebuah layar sebesar ipad dan menggulirkan jemari lentiknya di layar. Sepertinya dia sedang memilih lagu untuk dinyanyikan. Anya benar-benar belum paham berada di situ. Dia bersungut, kenapa suaminya tak pernah mengajaknya ke tempat seperti ini. Jadi dia katrok.
Sesudah menenangkan diri dan pikirannya, Anya melihat ke daftar menu. Kaget bukan kepalang. Menu yang paling murah saja seharga dua puluh ribu. Itupun hanya kentang goreng porsi kecil. Belum lagi minuman-minumannya. Anya meneguk saliva yang seketika kering kerontang. Dia terpaksa menulis dua menu di kertas. Untunglah gaji suaminya masih dibawa. Ada satu jutaan di dompet.
“Udah?” tanya Dita melihat Anya meletakkan kertas.
“Udah.”
“Ya udah, calling ke waitress. Kayak biasanya itu lho,” ujarnya.
Anya meringis, dia tak tahu apa yang dikatakan oleh Dita.
“Kamu aja Dit,” sahut Anya.
Dita nampak mengertukan dahi. Dia mengangkat bahu lalu beranjak dan memencet sebuah alat. Anya memperhatikan apa yang dilakukan oleh Dita. Baru dia tahu apa fungsi benda di sebelahnya itu.
“Kamu baru kali ini ke karaokean ya, Nya?” tanya Dita usai meletakkan lagi alat yang baru saja digunakan.
“Mmm ... udah tiga kali ini,” bohongnya. Tak mau lah dia dibully teman-temannya karena katrok.
“Oh, kok nggak bisa calling watress.”
“Lupa,” sahut Anya asal.
Dita melengos. Ada sedikit kesal yang berdesir di hati Anya melihat perlakuan temannya itu. Dia harus lebih dari Dita. Anya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa yang berbentuk L itu. Melihat teman-temannya bernyanyi riang. Ingin rasanya bergabung, tapi dia tak tahu cara memilih lagu. Jadi hari itu, Anya hanya menonton dan berfoto bersama teman-teman dengan background room karaokean.
“Pokoknya yang penting aku kelihatan ikut ke karaokean,” gumam Anya puas.
Eva mengunggah foto-foto mereka di room, lalu banyak komentar berdatangan dari ke-enam anggota lain. Mereka bilang iri karena tak ikut menyanyi bersama. Anya tersenyum puas.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (19)

  • avatar
    V17skw2024Vivo

    baguss

    26d

      0
  • avatar
    MaulanaFikri

    bagus sekali cerita nya

    13/08

      0
  • avatar
    HayatiNur

    ok baik

    02/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด