logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 2 Persetujuan Ibu

“Sayur sawi aja ya, Mas. Kita harus hemat,” celetuk Anya pagi itu saat Putra telah bersiap memakai seragam pabrik yang berwarna biru muda.
Pria itu selesai mengibaskan tangan ke seragamnya. Lalu melihat ke meja makan. Ya, benar-benar hemat dan irit seperti yang dikatakan oleh istrinya. Di atas meja itu hanya ada satu mangkuk sayur sawi dan magic com saja. Tak ada lauk, tak ada sambal sebagai pembangkit selera makan. Putra menghela napas. Teringat akan pembicaraan kemarin, dia pun hanya diam. Dia tahu diri, karena sebagai lelaki dia tak bisa mencukupi segala kebutuhan istrinya itu.
Putra menarik kursi makan yang sudah termakan teter itu. Sepertinya kayunya memang kurang bagus. Dua tahun saja sudah tak bagus. Dia memilih kursi dan meja makan yang murah waktu itu. Ternyata pilihannya memang semurah harganya.
Demi mengisi tenaga, Putra memakan juga sepiring nasi yang diambilkan oleh Anya. Menghabiskannya selagi Anya sendiri tak memakan apa yang dia sediakan.
“Kamu nggak makan?” tanya Putra.
“Nggak. Aku nggak selera,” sahut Anya yang duduk di samping Putra, memainkan ponselnya.
“Mas, ponselku sudah penuh memori. Kamu beliin lagi ya?” pintanya, menunjukkan layar ponselnya yang tertulis memory penuh.
Nyaris tersedak mendengar segala permintaan Anya, Putra langsung meraih gelas berisi air putih. Dia meneguknya dengan cepat.
“Kenapa, Mas?”
“Kaget dengernya. Kamu ini, bukannya ponsel itu masih bagus, Anya? Kamu masih bisa menghapus gambar-gambar dan video yang tak digunakan. Kalo mau ponsel, kamu tunggu dulu. Kemarin kamu bilang kepengen rumah, sekarang ponsel. Mana dulu yang lebih penting?” tanya Putra, memberi pilihan.
“Huh, ya beda lah ponsel sama rumah. Ponsel kan murah, Mas. Dua juta aja dapet. Masa dibandingin sama rumah? Dasar kamu aja yang kurang usaha, Mas!” gerutu Anya, berdiri dengan menghentakkan kursi dan pergi dari ruang makan.
Putra menggelengkan kepala melihat kelakuan sang istri. Dia ingat saat pertama kali bertemu, wanita itu masih sangat polos. Dia menjadi yakin untuk meminangnya dengan kepolosan Anya. Namun, sejak tinggal di rumah kontrakan dan entah dari mana dia mengenal teman-temannya itu, segalanya berubah. Anya yang semula tak mengenal kosmetik dan benda-benda bermerk, sekarang berubah drastis. Bahkan sekarang dia menuntut macam-macam.
Pria itu meraup wajahnya. Memandang piringnya yang sudah kosong. Kemudian menutup sisa sayur dengan tudung saji. Putra terpaksa mencuci sendiri piring dan gelas kotornya di tempat cuci piring. Beberapa peralatan masak kotor pun belum disentuh oleh Anya. Wanita itu sedang ngambeg seperti biasa. Putra sangat pusing dengan permintaannya yang makin bermacam-macam itu.
Karena takut terlambat, Putra hanya mencuci piring dan gelas kotornya sendiri lalu berpamitan di depan pintu kamar yang dikunci rapat.
“Mas kerja dulu ya, Anya.”
Putra menunggu, menempelkan telinganya di pintu. Tak terdengar jawaban dari dalam.
“Anya? Kamu baik-baik aja kan?”
Masih saja tak ada jawaban dari dalam. Sepertinya wanita itu masih sangat marah. Putra yang sudah diburu waktu, tak lagi bisa merayu istrinya. Dia pun bergegas menyambar jaket dan kunci sepeda motornya. Kemudian mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang menuju ke pabrik tempatnya bekerja.
***
Anya telah berdandan cantik pagi itu usai suaminya pergi satu jam yang lalu. Dia berniat ke rumah ibunya. Perutnya sangat lapar tapi tak ada yang bisa dimakan di rumah. Anya memesan taksi online lalu menunggu di depan.
“Pagi Mbak Anya. Mau pergi ya?” tanya salah satu tetangga yang sedang menyapu halaman rumahnya sendiri.
“Iya, Bu.”
“Oh, cantik sekali Mbak Anya. Pasti perawatan, ya? Beda lho dari awal datang ke sini. Sekarang makin trendy dan halus kulitnya,” puji wanita paruh baya itu.
“Iya, Bu. Makasih,” sahut Anya tersipu.
“Pantes Mas Putra kayaknya sayang banget sama Mbak Anya. Kerja keras demi Mbak Anya. Jangan capek-capek Mbak, biar cepat punya anak,” celoteh wanita itu.
Anya hanya tersenyum kecut. Sayang? Anak? Sepertinya dia belum memikirkan hal itu. Jika sayang, sudah pasti akan menuruti permintaannya. Anya mengelus ponselnya yang ingin dia ganti itu. sebuah pesan dari taksi online mengatakan bahwa sebentar lagi dia akan sampai. Anya tak lagi memperdulikan wanita tetangganya itu dan fokus membalas chat di aplikasi.
Tak lama, sebuah mobil datang lalu Anya segera menaiki mobil itu setelah konfirmasi. Tanpa berpamitan pada wanita yang tadi menyapanya, membuat wanita itu menggelengkan kepala.
***
Lima belas menit kemudian, Anya telah sampai di rumah sang ibu. Rumah yang sederhana dengan banyak tanaman hijau menghiasi teras rumah. Begitu sampai, wanita itu langsung masuk.
“Lho, sendirian lagi, Nya? Mana suami kamu?” tanya Bu Asih, ibu Anya.
“Kerja lah, Bu. Ibu masak apa hari ini?”
“Opor ayam sama sambel, kesukaanmu. Tuh, di dapur. Ambil sendiri kayak biasa.”
Tak menunggu lagi, Anya segera masuk ke dapur mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang dia suka. Tak ingat dengan apa yang dimakan suaminya tadi pagi.
“Kamu nggak masak? Kok kayak kelaparan gitu, Nya?” celetuk Bu Asih melihat cara makan Anya.
“Nggak, Bu. Tadi cuma masak sawi. Nggak enak,” ujarnya mengerutkan hidung.
“Memangnya suami kamu nggak kasih uang?”
Bu Asih duduk di sebelah anak perempuannya. Dia menatap anaknya dengan sayang.
“Ya kasih, Bu, tapi sedikit. Jadi aku harus hemat dong,” kilah Anya. Padahal dia yang terlalu boros dengan pengeluaran.
“Ya bagus, dong. Bisa hemat.”
Rumah besar milik Bu Asih dan Pak Joko, ayah Anya itu adalah peninggalan sang nenek. Mereka tinggal di situ dan terbiasa menggunakan tungku lalu mencari kayu untuk memasak. Bu Asih jarang menggunakan gas. Mereka terbiasa hidup hemat. Anya pun jarang sekali membeli barang-barang yang bagus. Dia seringkali iri dengan teman-temannya dulu. Namun, karena lingkungannya sederhana, barang-barang yang dimiliki teman-temannya pun murah.
“Hemat demi bisa membeli rumah, Bu.”
Perkataan Anya membuat Bu Asih semringah. Dia berbinar mendengarnya. Senang jika anak pertamanya itu akan membeli rumah sendiri. Bagaimanapun, suatu kebanggaan jika sang anak dengan suaminya bisa memiliki rumah.
“Bagus Anya. Ibu dukung kalian. Tujuan kalian itu bagus. Bisa membeli rumah sendiri.”
“Aku mau rumah yang besar, Bu. Dengan banyak perabot yang mahal seperti rumah teman-temanku. Nggak lagi di rumah kontrakan, sempit lagi!” sungut Anya, menghabiskan nasidi piringnya sampai tandas.
“Cita-citamu bagus, Nak. Namun, apa keuangan suamimu mampu?” tanya Bu Asih.
“Ya harus lah. Mas Putra harus punya uang banyak dengan cara apapun. Aku nggak semangat tinggal di rumah itu. kalo nggak ada orangnya di rumah, mungkin orang akan mengira rumah itu berhantu, Bu.”
Bu Asih mendekik mendengar celotehan Anya. Anaknya itu sangat berubah. Sekarang dia punya keinginan besar, bukan lagi seperti dulu. Polos.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (19)

  • avatar
    V17skw2024Vivo

    baguss

    27d

      0
  • avatar
    MaulanaFikri

    bagus sekali cerita nya

    13/08

      0
  • avatar
    HayatiNur

    ok baik

    02/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด