logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Sorry My Husband

Sorry My Husband

Yudhi Nita


บทที่ 1 Permintaan

Kedua alis Anya bertaut melihat kedatangan suaminya, Putra. Petang itu, pukul tujuh malam, dia bukannya menyambut sang suami dengan melepaskan jaket atau membuatkan minuman hangat seperti yang dilakukan oleh banyak wanita untuk menyambut kedatangan suaminya, akan tetapi malah duduk di atas sofa dengan melipat kedua tangan di dada dan kaki kanan menopang ke kaki kiri. Tak ketinggalan dengan sorot pandangan mata yang tajam, menghunus ke wajah suaminya itu.
“Kapan mau beli rumah, Mas?” sambutnya ketus.
Belum juga Putra meletakkan pantatnya di kursi demi mengurangi kepenatan tubuhnya seharian bekerja sebagai buruh pabrik, tapi istrinya sudah menanyakan hal yang membuat kepalanya semakin cenut-cenut.
“Tunggu, Dek. Mas mau nabung dulu. Makanya, kamu jangan minta segala macam barang yang tak berguna kalau Mas dapat gaji,” ujarnya halus.
“Apa, Mas? Barang tak berguna?? Menurutmu, apa yang kuminta itu tak berguna? Iyalah, lipstik, bedak, tas, sepatu, itu tak berguna buatmu, Mas. Namun, buatku itu PENTING!” sahut Anya mengurai tangannya, meremas sisi kursi.
Hari itu, Anya merasa sangat kesal. Teman-temannya ingin datang ke rumah untuk arisan bergilir. Berdalih karena sedang ada perbaikan rumah. Namun, nyatanya dia menolak karena selain jelek, rumah itu masih kontrakan. Apa yang akan dikatakan oleh teman-temannya itu? Selama ini Anya selalu mengimbangi mereka.
Tiga bulan yang lalu, salah satu anggota arisan yaitu Regina, istri seorang pengusaha tekstil. Dia selalu mentraktir teman-temannya di kala sang suami mendapat banjiran pesanan. Tak tanggung-tanggung, mereka diajak ke sebuah restoran termahal di kota itu. Sekalian arisan di sana. Bulan setelahnya, Aminah istri seorang pedagang emas membawa mereka piknik ke luar kota bersama dengan keluarganya. Namun, Anya tak mengajak serta suaminya karena dia malu. Bulan kemarin, Vera membawa semua anggota arisan ke rumah barunya. Sedangkan rumah lama pun tak kalah mewah karena suaminya seorang pelayaran.
Anya merengut melihat Putra hanya mendesah pelan, menata sepatunya di rak lalu berjalan membawa tasnya ke kamar. Sebentar lagi pria itu akan mandi. Kemudian dia akan masuk ke ruang makan. Anya melengos, dia sengaja tak memasak hari itu. Tadi dia sudah makan di rumah ibunya.
Wanita itu masih bergeming di tempat duduknya semula, menunggu reaksi Putra. Benar saja, lima belas menit kemudian, pria itu bertanya pada Anya.
“Dek. Kamu nggak masak?”
“Males, Mas. Dapurnya sempit,” sahutnya, puas sekali.
Dalam hati, Anya menyalahkan Putra yang tak mampu mengusahakan rumah untuknya. Padahal mereka belum juga dikaruniai anak. Anya ingin menunda itu, sebelum mereka memiliki rumah sendiri. Mana bisa dia menerima teman-teman dan keluarganya datang menengok di rumah sesempit itu? Bisa-bisa semua akan mempermalukannya karena semua mengira Anya adalah orang kaya dilihat dari penampilannya.
Seperti biasa, Putra hanya terdiam menahan diri mendengar ucapan menyakitkan dari sang istri. Dia membuka lemari. Ada satu bungkus mie yang tersisa. Pria itu mengambilnya, lalu memasaknya sendiri.
“Kamu udah makan, Dek?” tanyanya. Sesempat itu menanyakan tentang istrinya, padahal hatinya sangat kecewa.
“Udah, lah. Tadi di rumah Ibu,” sahutnya lalu membuka gawai untuk memeriksa akun media sosialnya, membuka status teman-temannya yang tak henti, bergantian memamerkan segala yang baru saja mereka beli.
Bulan ini Anya hanya membeli satu baju gamis pink seharga lima ratus ribu rupiah. Awal bulan, dia menghabiskan seperlima gaji suami sebagai jatahnya dalam waktu beberapa menit saja. Wajahnya kecut tatkala melihat status Vera yang baru saja mengunggah foto dirinya bersama dengan keluarga, berjalan-jalan di luar negeri.
‘Sekali-kali ikut suami ke Eropa.’ Begitu bunyi statusnya.
Anya berdecak. Dia iri. Sangat iri. Putra tak pernah mengajaknya ke tempat wisata yang terdekat sekalipun. Dia selalu bilang akan lembur, lembur dan lembur. Jika Anya protes, pasti Putra hanya mengatakan jika pertengahan bulan uang akan ludes. Maka dia selalu lembur agar mendapat tambahan bonus.
Pria itu selalu pergi jam enam pagi dan pulang pada jam delapan malam sampai di rumah. Anya tak habis pikir dengan lelaki itu.
“Kenapa Mas nggak cari kerjaan lain?” tanya Anya iseng saat menggulirkan status temannya yang lain, memamerkan makanan-makanan yang mahal. Dari sepuluh anggota arisan itu, delapan orang sudah membuat status.
Bau mie yang lezat menyeruak dari dapur yang sempit, dibawa oleh Putra ke dekat Anya duduk. Mie dengan imbuhan nasi panas. Untung saja masih ada nasi di magic com. Jadi, lumayan untuk pengganjal perut Putra.
“Dek, cari kerja tak segampang membalikkan tangan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Mas ini sudah berumur lebih dari tiga puluh tahun dan tak memiliki ijasah tinggi. Pengalaman pun hanya bekerja sebagai operator mesin. Jika ada, pasti akan mulai dari awal lagi, Dek. Masih mending ini Mas masih bisa bekerja di sana. Tak mendapatkan pemutusan hubungan kerja. Kita patut bersyukur, Dek.”
Anya mendengkus. “Bersyukur gimana, Mas. Lihat yang lebih tinggi lah, biar ada kemajuan. Lihat ini lho teman-temanku. Bisa beli ini-itu, pergi kemana-mana mereka suka. Suami mereka kerja dengan banyak penghasilan, Mas!” jawab Anya, menunjukkan status teman-temannya, mengulang apa yang dia lihat tadi.
“Dek, Mas sudah berusaha. Namun, jika managemen keuangan kamu tak teratur, ya tetap boros jatuhnya.”
Anya melirik mie dan nasi yang sepertinya lezat diseruput oleh Putra dengan sangat enaknya. Nampak pria itu kelaparan.
“Pasti Mas kan mau makan enak, nggak cuma mie doang. Harusnya Mas cari pekerjaan lain. Pasti ada Mas yang penghasilannya lebih dari tiga juta per bulan,” ujar Anya, ngeyel.
“Udah lah, Dek. Mas capek, mau habisin makan dulu, lalu istirahat. Besok pagi-pagi berangkat kerja. Jangan lupa beli sayur ya, Dek! Mas butuh sarapan besok,” pintanya.
“Iya, tapi uangnya tinggal satu juta empat ratus ribu rupiah, Mas.”
Putra mendesah, tak kaget mendengarnya. Baru awal bulan, uang yang diberikan pada sang istri sudah habis satu juta rupiah. Baru kemarin dia mengulurkan uang, hari ini juga sudah hampir habis. Kepala Putra berdenyut. Dia harus berusaha lagi. Apa yang bisa dia lakukan untuk menyenangkan sang istri?
“Tadi aku bayar arisan lima ratus ribu rupiah sama gamis buat dipake di acara sunatan anaknya Erren, katanya besar-besaran. Jadi ya nggak sembarangan pakai baju. Masa aku pake baju yang itu-itu aja. Malu dong, Mas.”
Putra hanya diam mendengar celotehan sang istri. Mau bagaimana lagi, uang sudah ditukar menjadi gamis. Padahal banyak gamis yang sudah dibeli memenuhi lemari, masih sangat banyak jika untuk ganti-ganti saja. Namun, entah seperti apa jalan pikiran istrinya itu. Putra tak bisa mengerti.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (19)

  • avatar
    V17skw2024Vivo

    baguss

    27d

      0
  • avatar
    MaulanaFikri

    bagus sekali cerita nya

    13/08

      0
  • avatar
    HayatiNur

    ok baik

    02/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด