logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Chapter 2.

Mendapat tamparan, lelaki itu geram. Dia lantas ingin membalas tamparan Amira, tetapi Irene datang dan menahannya. "Maafkan dia, Pak. Dia baru bekerja di sini. Jadi, dia belum tahu dengan situasi di tempat ini," jelas Irene.
Lelaki itu menatap Amira kesal. "Untung ada Irene, kalau tidak aku akan menghajarmu," ucap lelaki itu sambil menyentuh pipi kirinya yang ditampar Amira.
Irene lantas membawa Amira ke ruangannya. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menamparnya?" tanya Irene marah.
"Dia telah menyentuhku. Itu pelecehan!"
Irene tersenyum sinis. "Amira, jangan membuatku tertawa. Di tempat ini, itu hal biasa. Mereka itu adalah mesin pencetak uang buat kita. Jika pelayananmu bagus, mereka akan memberikanmu uang. Bahkan, kamu bisa menjadi wanita mereka. Apa kamu tidak mengerti hal itu?"
Ucapan Irene membuat Amira merasa kalau dirinya telah salah langkah. Dia terduduk memikirkan nasib diri yang kini berada dalam dunia yang sangat berbeda. Dunia yang ingin dihindarinya.
"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus berada di lingkungan kerja seperti ini? Kalau aku meninggalkan tempat ini, apa aku bisa mendapatkan pekerjaan untuk membayar biaya rumah sakit ibu?"
Amira dihadapkan pada pilihan yang sulit. Hati kecilnya ingin dia pergi meninggalkan tempat itu. Namun, akalnya masih mengharapkan pekerjaan yang belum tentu bisa dia dapatkan setelah pergi dari tempat itu.
Dengan berat hati, dia kembali memulai pekerjaannya. Kali ini, dia bertekad untuk menjaga dirinya. Dia tidak akan terjerumus seperti karyawan yang lain.
Gadis-gadis itu begitu senang saat dipeluk oleh lelaki yang berpenampilan necis dengan dompet yang tebal. Amira hanya tersenyum miris saat melihat mereka diajak keluar entah ke mana.
Sebagai karyawan baru, dia belum terlalu paham dengan keadaan tempat itu. Namun, hari demi hari dia makin menyadari kalau tempat itu tak lebih seperti sebuah tempat pelacuran berkedok kafe.
Sudah seminggu Amira bekerja di tempat itu. Sebaik mungkin, dia memberikan pelayanan yang wajar. Walau dia menyadari, tidak semua pelanggan memiliki tujuan yang buruk saat berkunjung ke sana. Bahkan, ada beberapa orang yang dengan tulus memberikan tip padanya.
"Ambil uang ini. Sayang, gadis baik sepertimu harus bekerja di tempat ini," ucap salah satu pelanggan sambil memberikan beberapa lembar uang padanya. Amira menerimanya seraya tersenyum.
"Terima kasih, Pak."
Lelaki setengah baya itu mengangguk dan beranjak pergi. Amira tersenyum melihat uang itu. Setidaknya, uang yang dihasilkannya selama seminggu hampir mencukupi untuk membayar biaya pengobatan ibunya.
"Bagaimana, kerja di tempatku enak, bukan? Aku perhatikan, kamu mulai disukai oleh pelangganku. Ternyata aku tidak salah mengajakmu bekerja di sini," ucap Irene sambil duduk di salah satu kursi.
Amira hanya tersenyum. "Terima kasih, tapi aku tidak akan bekerja di sini dalam waktu yang lama. Aku ingin mencari pekerjaan lain. Maaf, aku tidak ingin menyinggungmu, tapi ...."
"Aku mengerti. Ah, sudahlah. Lakukan saja apa maumu." Irene lantas bangkit dan meninggalkan Amira.
Saat waktu luang, Amira berusaha mencari pekerjaan lain. Dia tidak ingin bekerja di kafe selamanya. Dia merasa kalau pekerjaan itu tidaklah cocok untuknya. Walau begitu, dia hanya bisa bersabar karena penghasilan dari sana sangat menggiurkan. Namun, hati kecilnya selalu berontak dan ingin meninggalkan tempat itu.
Walau sudah mencari pekerjaan, nyatanya nasib baik belum juga menghampirinya. Dengan hanya bermodalkan ijazah SMA, dia tidak mungkin bisa mendapatkan pekerjaan kantoran.
Amira duduk di bangku taman sambil memerhatikan buku tabungannya. Yang tersisa hanya beberapa ratus ribu saja. Dia juga sudah berusaha menghemat. Bajunya hanya beberapa lembar dan tidak pernah membeli yang baru. Beruntung, Irene memberikannya beberapa potong baju.
Amira sudah membayar tunggakan biaya rumah sakit dari uang pemberian Irene dan tip dari pelanggan. Itu pun masih kurang. Bahkan, dia tidak merasakan uang hasil jerih payahnya sendiri. Semuanya habis untuk biaya rumah sakit ibunya. Walau begitu, dia tidak mengeluh. Semua dilakukannya dengan ikhlas sebagai bakti pada wanita yang sudah melahirkan dan merawatnya sejak lahir ke dunia.
Saat ini, Amira tengah bersiap di ruang ganti. Dia ditugaskan untuk melayani pelanggan yang akan datang untuk mengadakan pertemuan di sana.
"Kamu harus melayani mereka dengan baik. Mereka adalah para pengusaha muda. Ingat, jangan ceroboh," ucap Irene mewanti-wanti.
Bersama dua orang gadis lainnya, Amira menyuguhkan beberapa pesanan. Di dalam ruangan khusus, pertemuan dilaksanakan. Sudah ada dua orang lelaki di tempat itu. Sepertinya, mereka masih menunggu salah satu teman yang masih dalam perjalanan.
"Kalian bertiga jangan keluar dari sini. Aku ingin kalian melayani kami," ucap salah satu lelaki pada Amira dan dua temannya.
"Baik, Pak!" jawab dua gadis kompak. Sementara Amira hanya diam.
"Hei, kamu dengar 'kan apa yang aku bilang tadi?" tanya lelaki itu pada Amira.
"Iya, Pak!"
Lelaki berusia tiga puluh tahunan itu menatap Amira. Dia memerhatikan Amira saat menghidangkan beberapa pesanan di atas meja. "Ternyata dia sangat cantik. Malam ini aku harus bisa bersamanya," batinnya dengan tatapan tak biasa.
"Maaf, aku terlambat," ucap seorang lelaki yang baru saja datang.
"Ah, silakan duduk. Tidak apa-apa, Pak. Itu tidak jadi masalah," jawab seorang lelaki seraya tersenyum ramah.
Lelaki yang baru datang itu lantas duduk. Dia melihat hidangan yang sudah tersaji di atas meja. Dia tersenyum.
"Jadi, apa kita bisa mulai pembicaraan kerjasamanya?" tanya seorang lelaki sambil mengeluarkan sebuah map.
"Baiklah, kita mulai," jawab lelaki yang baru datang. Dia lantas membaca lembaran yang ada di dalam map. Kepalanya tampak manggut-manggut saat membaca kata demi kata di kertas itu. Tak lama, dia pun meletakkan map di atas meja.
"Baiklah, aku setuju dengan kerjasama kita. Aku akan menandatanganinya sekarang."
Tanpa ragu, dia lantas menandatangani lampiran kerjasama antar dua perusahaan. Kedua lelaki itu tersenyum lebar saat lelaki itu menyetujui kerjasama mereka.
Setelah selesai, ketiga gadis lantas dipersilakan untuk ikut bergabung.
"Maaf, tapi aku tidak butuh dengan pelayanan ini." Lelaki itu menolak halus saat rekan kerjanya menawarkan seorang wanita padanya.
"Karena urusannya sudah selesai, maka aku akan pergi," lanjutnya sambil menyimpan surat perjanjian kerjasama di dalam tasnya.
"Kenapa buru-buru? Kita nikmati saja malam ini. Apa Bapak tidak suka gadis-gadis ini? Aku akan meminta untuk membawakan gadis yang lebih cantik dari mereka."
"Tidak perlu!" Lelaki itu lantas bangkit dan berniat pergi. Akan tetapi, langkahnya tertahan saat mendengar suara seorang gadis yang menolak saat disentuh. Sontak, dia pun berbalik. Tatapan matanya tertuju pada Amira yang berusaha melepaskan tangannya dari genggaman salah satu rekan bisnisnya.
"Apa kamu ingin dia menyentuhmu?" tanyanya pada Amira. Amira lantas menggeleng. "Lepaskan dia! Jangan buat malu di tempat ini," lanjutnya sambil menatap lelaki itu.
Lelaki itu tersenyum sinis. Dia kemudian melepaskan tangan Amira kasar.
"Jangan munafik! Bukankah, kamu juga menginginkannya? Katakan saja, jangan malu. Empat tahun menduda bukanlah perkara gampang. Seharusnya, kamu ...."
"Cukup!"
Lelaki itu terdiam. Dia menatap wajah lelaki yang berdiri di depannya lekat.
"Ah, untung saja aku belum beranjak dari tempat ini. Jadi, aku bisa tahu kelakuan rekan bisnisku yang tidak bermoral. Baiklah, aku rasa kerjasama kita berakhir sampai di sini."
Tanpa ragu, dia merobek kertas perjanjian kerjasama yang baru saja ditandatanganinya. Kedua lelaki itu menatapnya tak berkutik.
"Aku tidak suka bekerjasama dengan orang tak bermoral seperti kalian. Aku tidak akan rugi. Walau aku telah kehilangan istriku, aku tidak menjadi lelaki bajingan yang mengumbar napsu di sembarang wanita karena wanita layak untuk dihormati bukan untuk disakiti. Mengerti!"
Lelaki itu lantas pergi. Salah satu lelaki berlari mengejarnya, tetapi dia sudah tidak ingin lagi bekerjasama dengan mereka.
"Ini semua salahmu!"
Amira mendapat tamparan di pipinya. Lelaki itu bahkan ingin memukulnya, tetapi ditahan oleh temannya.
"Apa yang kamu lakukan? Ini semua salahmu! Apa kamu tidak bisa sedikit bersabar? Lihat ulahmu, kita telah kehilangan kerjasama yang kita tunggu dari tahun lalu. Kita tidak bisa lagi membujuknya!"
"Dasar berengsek! Munafik! Laki-laki itu harus diberi pelajaran!" seru lelaki itu marah.
Amira yang mendengar hal itu lantas bergegas pergi. Dia berusaha mengejar lelaki yang membelanya tadi. Setelah mencari, dia akhirnya menemukannya di area parkir. Dia segera menghentikan mobil yang dikendarai oleh lelaki itu.
"Ada apa? Kenapa kamu menghentikanku?"
"Maaf, Pak. Sepertinya mereka tidak suka karena Bapak telah membatalkan kerjasama dengan mereka. Bapak harus hati-hati karena mereka sepertinya ingin melakukan sesuatu yang buruk pada Bapak," jelas Amira dengan napas terengah.
Lelaki itu menatapnya. Dia terkejut saat melihat sudut bibir Amira yang berdarah dan bekas tamparan di pipi kirinya. "Apa dia menamparmu?"
Amira hanya diam dan menunduk, tetapi dia kembali mengangkat wajahnya. "Terima kasih karena Bapak sudah menolongku. Terima kasih. Sebaiknya, Bapak berhati-hati."
Amira lantas pergi. Lelaki itu mengepalkan tangannya. Dia marah karena mereka telah menyakiti gadis itu.
Sementara Amira, menjadi sasaran kemarahan dari lelaki itu. Menurutnya, Amira-lah penyebab semua masalahnya.
"Apa kalian tahu kerugianku karena pembatalan kerjasama itu? Hanya karena gadis murahan sepertimu, aku harus kehilangan usahaku. Kalian harus bertanggungjawab!" serunya marah.
"Kenapa aku yang disalahkan? Aku hanya bekerja bukan menjual diri!" Amira mencoba membela diri, tetapi lelaki itu semakin menyudutkannya.
"Gadis berengsek! Apa kamu masih ingin mengelak?"
"Amira, diamlah! Bukankah aku sudah bilang untuk tidak melakukan kesalahan? Apa kamu ingin membuat usahaku bangkrut?"
Irene terlihat marah. Dia sudah memberikan kesempatan pada Amira, tetapi rupanya gadis itu terlalu sulit untuk ditaklukkan.
"Kalau memang aku hanya menyusahkanmu, saat ini juga aku akan berhenti bekerja. Aku tidak sudi tubuhku disentuh oleh lelaki bejat macam kalian."
Amira lantas bergegas pergi, tetapi lelaki itu segera menarik tangannya seraya melayangkan tamparan. Sontak, Amira terhuyung ke belakang. Karena tamparan itu, dia merasakan pusing. Irene hanya melihatnya tanpa melakukan apa pun. Bagaimana tidak, dia ternyata telah menerima uang karena Amira telah dijual pada lelaki itu.
"Perempuan angkuh sepertimu harus dibungkam. Aku ingin lihat perlawananmu saat aku akan merasakan nikmatnya tubuhmu."
Amira yang setengah sadar kemudian dibopong. Dia dibawa keluar dari kafe. Tubuhnya yang kini lemah akan dibawa ke suatu tempat.
Amira diletakkan di dalam sebuah mobil yang terparkir. Mobil itu melaju meninggalkan pelataran parkiran.
Malam itu, hujan gerimis turun membasahi bumi. Amira merasakan kalau tubuhnya tidak berdaya. Samar-samar, dia hanya mendengar suara tawa yang membuatnya muak.
Perlahan, dia membuka mata dan melihat lelaki yang membuatnya mengalami masalah. Dia menyadari kalau saat ini dirinya berada dalam sebuah mobil yang sedang melaju. "Dia akan membawaku ke mana?" batinnya khawatir.
Amira melirik dan melihat jalanan yang ramai dari balik jendela. Hujan rintik membasahi jendela yang terlihat samar. Tubuhnya begitu lemah, hingga dia tidak mampu untuk menggerakkan tangannya. Perutnya yang kosong dan akibat tamparan yang cukup keras membuatnya sempat kehilangan kesadaran.
Mobil terus berjalan, hingga berhenti saat di persimpangan lampu merah. Tak menunggu lama, Amira bergegas membuka pintu. Walau tubuhnya lemah, dia berusaha untuk kabur.
Lelaki itu keluar dari mobilnya saat menyadari kalau Amira telah keluar. Dia menarik tangan gadis itu dan memaksanya untuk kembali masuk.
"Lepaskan aku!" elak Amira sambil melepaskan tangannya dari lelaki itu.
"Tolong aku!" teriak Amira pada pengendara motor.
"Jangan pedulikan dia. Dia ini adikku. Maaf, dia mengalami gangguan jiwa," ucap lelaki itu pada pengendara tersebut.
"Bohong! Aku bukan adiknya. Tolong, dia ingin membawaku ke suatu tempat." Amira mengiba di depan beberapa pengendara motor, tetapi lelaki itu mampu meyakinkan mereka kalau dirinya mengalami gangguan jiwa.
Hujan turun semakin deras. Amira telah basah kuyup. Dia berusaha berontak saat lelaki itu memaksanya masuk. Bahkan, ada beberapa orang yang membantu lelaki itu untuk membawanya kembali ke dalam mobil.
"Tidak! Aku tidak ingin pergi dengannya! Lepaskan aku!"
Walau berontak, nyatanya dia kalah. Dia telah kembali ke dalam mobil. Lelaki itu tersenyum puas saat melihatnya menangis tak berdaya.
"Malam ini, keangkuhanmu akan takluk di tanganku. Lihat saja, kamu akan berakhir menjadi wanita yang tidak berharga. Aku akan menghancurkan kehormatanmu!" seru lelaki itu dengan tatapan yang membuat Amira meludahinya.
Lelaki itu menghentikan mobilnya. Dia menyeka ludah yang menempel di pipinya. Rahangnya mengeras dengan tangan yang mengepal. Dia menatap Amira tajam.
"Berengsek!" Dia lantas menampar Amira. Tak hanya itu, dia kemudian mencekik Amira yang tersandar di pintu mobil. "Mati kamu!" serunya geram.
Amira mencoba memukulnya, tetapi tenaganya semakin melemah. Dia merasakan kalau hidupnya akan berakhir. Air matanya jatuh saat wajah ibunya melintas di benaknya.
"Ibu, apa aku akan mati?"
Di saat dirinya pasrah, dia melihat seseorang berdiri di pintu mobil sebelah kemudi. Tangannya ingin menggapai, tetapi matanya perlahan menutup.
Tiba-tiba, jendela di pintu bagian kemudi pecah. Lelaki itu terkejut dan melepaskan tangannya dari leher Amira yang sudah tidak sadarkan diri.
Tubuh lelaki itu ditarik keluar. Tak hanya itu, rahangnya menjadi sasaran dari hantaman tinju oleh orang yang menariknya itu.
"Dasar bajingan!"
Tak hanya sekali, tetapi wajahnya menjadi sasaran pukul beberapa kali. Andai saja orang-orang tidak menghentikannya, lelaki itu mungkin akan berakhir di kamar mayat.
"Amankan dia! Ada gadis yang terluka di dalam mobilnya," ucap salah satu pemuda saat memeriksa di dalam mobil. Dia menemukan Amira yang sudah tidak sadarkan diri dengan luka di sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.
Mendengar hal itu, orang yang memecahkan kaca mobil tadi lantas mengeluarkannya dan membawanya ke rumah sakit.
Amira sempat membuka matanya perlahan dan melihat sosok yang dikenalnya. Dia kemudian menangis seraya memejamkan matanya.
"Tenanglah, kamu sekarang aman. Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi."
To Be Continued...

หนังสือแสดงความคิดเห็น (154)

  • avatar
    AmeliaIca

    Bgus skli

    3d

      0
  • avatar
    ranissafiyaa

    🥹🥹🫶🏻🫶🏻🫶🏻💗💗💗✨

    29/07

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus bgt sedikit nguras emosi alur ceritanya😘

    04/05

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด