logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Berawal Dari Rasa Iba

Seorang pemuda sedang menunggu Om Ady di restoran mewah. Dia duduk seorang diri dengan secangkir cappuccino yang masih mengepulkan uap.
Khairul Anam. Lelaki tampan dan berwibawa yang telah menjadi CEO di usia muda karena sang papa memilih pindah ke luar negeri setelah bercerai dengan mamanya. Tak heran jika selama ini banyak wanita jatuh cinta dengannya. Sayangnya, tak ada satu pun yang mampu memikat hatinya.
Bahkan ia sempat dijodohkan oleh mamanya dengan Melody, seorang perempuan anggun yang berjilbab, dan anak seorang pemilik pondok pesantren.
Lain dengan Khair yang menganggap kedekatan mereka hanya sebatas teman, Melody justru memiliki perasaan yang berbeda. Berulangkali dirinya memberikan sinyal pada Khair tentang perasaannya, tapi selalu gagal. Khair tidak peduli, entah wanita seperti apa yang dia idamkan.
Om Ady menghampiri meja yang telah dipesan Khair, dia duduk begitu saja dan membiarkan kedua anak buahnya berdiri.
"Sepertinya kamu benar-benar sudah terpikat dengan rayuan wanita malam itu," ujar Om Ady setengah berbisik, suaranya terdengar mengintimidasi seolah Khair akan menyesal jika mencintai Lena. Padahal kalaupun yang dikatakannya benar, Khair tidak masalah. Baginya segala rasa itu datangnya dari Allah SWT dan dia sangat yakin, itu pasti yang terbaik untuknya.
Sejak kejadian malam kemarin, entah mengapa ada rasa lain dalam dada Khair. Seolah dia terdorong untuk melindungi wanita itu.
"Berapa nominalnya? Saya tidak punya banyak waktu." Khair memegang cek dan bolpoin, bersiap menulis berapa pun angka yang akan Om Ady minta.
"Hmm, sepertinya kamu ini pemuda shalih. Sayang sekali kamu mencintai perempuan seperti Lena, tapi ya sudahlah itu urusanmu."
'Cinta? Apa benar dia jatuh cinta pada pandangan pertama?'
Khair diam, dia berusaha mengabaikan setiap kata yang keluar dari bibir lelaki tua itu.
"Hutang ayahnya 10 juta, itu sudah beserta bunganya," jelas Om Ady.
"Boleh saya tahu ayah Lena meminjamnya untuk apa dan mengapa Lena bekerja di kelab malam?" tanya Khair. Sebenarnya dia sadar kalau dirinya bukanlah siapa-siapa dan tentu tidak punya hak bertanya seperti itu. Namun, melihat kondisi Lena, sepertinya perempuan itu menyimpan banyak beban dalam hidupnya.
"Saya heran kamu tidak tahu, padahal semua orang di sekitar sini paham. Ayah Lena seorang pe*abuk dan pej*di yang handal. Dia tidak segan-segan menjual putrinya supaya bisa mendapatkan uang. Itu sebabnya Lena dipaksa bekerja di kelab malam untuk membayar hutang ayahnya. Karena hanya di sana ayah Lena bisa mendapatkan uang tanpa menguras keringat," jelas Om Ady dengan muka menjengkelkan.
Khair terkesiap, ia telah salah menilai Lena. Pantas saja tadi malam gadis itu terlihat sedih, rupanya Khair telah mengatakan suatu hal yang menyakiti hatinya.
Astaghfirullah. Begitulah kehidupan, kadang yang tampak belum tentu sebenarnya.
Khair segera menulis nominal yang disebutkan Om Ady lalu memberikan cek itu kepadanya. "Saya harap Anda tidak mengganggu Lena dan keluarganya lagi."
"Tentu, terima kasih. Semoga kamu bisa membimbingnya menjadi lebih baik," ucap Om Ady menepuk punggung Khair, kemudian berlalu.
Seburuk apapun lelaki tua itu, ternyata dia masih memiliki sisi baik.
Khair menenggak setengah dari cappuccino miliknya lalu membayar minuman tersebut dan bergegas menuju rumah Aida.
Pria itu menjalankan mesin mobilnya dengan kecepatan sedang. Meskipun begitu, tak butuh waktu lama untuknya sampai di rumah Aida. Jarak antara rumah Aida dengan restoran cukup dekat, hanya memakan waktu beberapa menit saja.
"Eh, Nak Khair. Cari Aida?" Tante Nisa lebih dulu membuka pintu sebelum Khair sempat mengucapkan salam. Perempuan itu terlihat antusias, dia sangat berharap Khair menjadi suami dari keponakannya. "Sebentar ya, Tante panggil dulu Aidanya."
Khair mengangguk, lalu menghempaskan tubuhnya di kursi depan rumah Aida.
Tak lama kemudian, Aida turun bersama Lena. Tak sengaja Khair menatap mata Lena, ada sepersekian detik pandangan mereka bertemu, sebelum akhirnya pemuda itu dengan segera memalingkan wajahnya.
"Tampan sekali," gumam Lena.
"Kamu bicara sesuatu?" tanya Aida dengan suaranya yang lembut.
"Tidak, tidak apa-apa." Lena terlihat salah tingkah. Dia tidak mungkin mengatakan jika saat ini dirinya sedikit tertarik dengan Khair.
"Aida tolong kamu handle pekerjaan di kantor, ya! Pagi ini saya ada sedikit urusan dengan Lena," ucap Khair seraya memberikan beberapa dokumen pada Aida.
"Baik, Pak," sahut Aida tersenyum seraya mengambil dokumen itu dari tangan bosnya.
"Ayo kita berangkat sekarang," ajak Khair.
Meskipun pemuda itu tidak memandangnya, tapi Lena paham bahwa dirinyalah yang sedang diajak bicara.
"Saya permisi dulu, Aida," Lena menepuk lembut pundak Aida.
"Kamu lihat! Belum apa-apa perempuan itu sudah berniat menyingkirkan dirimu," ujar Tante Nisa yang sudah berdiri di dekat Aida.
"Aida berangkat dulu, Tan. Assalamualaikum." Aida mencium punggung tangan tantenya lalu beranjak menuju taksi yang sedari tadi sudah menunggunya. Aida rasanya malas meladeni Tante Nisa yang terus saja memprovokasi dirinya.
"Jangan nyesel nanti, kalau apa yang Tante katakan barusan benar-benar terjadi!" teriak Tante Nisa setelah Aida membuka pintu taksi.
***
"Tunggu, Pak." Lena menghentikan langkahnya, membuat Khair ikut berhenti.
"Kenapa?" tanya Khair tanpa menoleh sedikit pun.
Perempuan itu menarik napasnya dalam. Dia tampak menimbang-nimbang ucapannya, seolah yang akan dia katakan adalah hal yang berat. "Sebaiknya kita tidak pergi berdua, saya tidak mau bapak terjebak dosa lagi seperti malam itu."
Khair tersenyum, ternyata itu yang ingin Lena katakan. "Di dalam mobil ada Bi Inah, asisten rumah tangga Mama."
"Eh, kirain mau berdua lagi," sahut Lena. Kata itu meluncur begitu saja dari bibir tipisnya.
"Ayo, kasihan Bi Inah sudah nunggu lama," ajak Khair. Meskipun dia tahu asisten rumah tangga mamanya itu hanya menunggu beberapa menit saja.
"Kita mau ke mana?" tanya Lena dengan muka polosnya.
“Belanja keperluanmu. Saya tidak mau melihat kamu memakai baju kurang bahan seperti kemarin,” ujar Khair sembari membuka pintu mobilnya.
Lena melakukan hal yang sama, dia duduk di bangku belakang. Di sana sudah ada seorang perempuan setengah baya, mungkin itu yang namanya Bi Inah.
Bi Inah tersenyum dan beringsut sedikit dari posisinya semula, memberikan akses untuk Lena duduk di sampingnya.
"Maaf, Pak, tidak perlu repot-repot, lagian saya ini bukan siapa-siapa," ujar Lena. Dia merasa tidak pantas diperlakukan seperti ini. Mereka baru kenal dan tentunya tidak ada hubungan apa-apa.
Entah apa alasan Khair sehingga begitu peduli dengan Lena, padahal selama ini banyak orang yang sengaja menjaga jarak darinya.
"Ya, mungkin untuk saat ini ucapanmu benar." Khair memasang sabuk pengaman dan mulai menjalankan mesin mobilnya. Tentu saja dengan posisinya saat ini, dia tidak bisa melihat wajah Lena yang kebingungan.
“Maksud Bapak?” tanya Lena tak paham. Ucapan Khair seperti puzzle yang berputar-putar di kepalanya.
"Bukan apa-apa, memangnya saya ini terlihat seperti sudah punya anak?" Khair mencoba mengalihkan pembicaraan, walau dengan alasan apa pun dirinya terlalu ragu untuk menjelaskan perkataaannya yang asal-asalan itu. Pemuda itu menekan tombol CD-nya, dalam sekejap suara ayat-ayat suci Al-Qur'an mengalun merdu memenuhi udara.
Kalau boleh jujur Lena ingin mengatakan bahwa Khair sangat tampan, lebih tampan dari artis Korea. Namun, hal itu Lena urungkan karena terkesan tidak sopan.
"Hmmm, tidak," ucap Lena seraya memperbaiki posisi duduknya. Dia tidak terbiasa memakai pakaian seperti ini, dan itu membuatnya sedikit kerepotan. Apalagi ujung gamisnya yang kadang terinjak high heels, membuatnya semakin sulit bergerak. Dia lebih nyaman menggunakan dress selutut karena tidak gerah dan ribet.
"Lalu kenapa dari tadi kamu memanggil saya dengan sebutan pak?" Pertanyaan Khair membuat Lena salah tingkah.
Lena menatap Bi Inah yang sedari tadi tidak mengatakan sepatah kata pun. Perempuan itu hanya tersenyum geli sambil sesekali melempar pandangan ke luar jendela.
"Tapi Aida?" tanya Lena.
"Dia sekretaris saya, sementara kamu bukan. Panggil saya dengan sebutan yang lain," titah Khair. Membuat Lena seketika bungkam.
Panggilan seperti apa sih yang dia inginkan? batin Lena.
"Saya ada usul, Non. Bagaimana kalau Mas Khair, saja?" tawar Bi Inah. Akhirnya setelah sekian lama mematung Bi Inah angkat bicara juga. Sayangnya, tanpa disadari usulan itu nantinya justru akan menciptakan debar tersendiri dalam dada Lena. Ya, panggilan itu terlalu mesra baginya.
"Itu boleh juga." Khair terkekeh.
Lena tersenyum, dirinya bukan perempuan pemalu yang pipinya akan bersemu merah ketika digoda.
Dia tidak pernah menyangka pria seperti Khair ternyata bisa bercanda juga. Malam itu, Lena pikir Khair adalah pria dingin dan kaku. Tapi anggapannya salah, Lena justru merasa terhibur saat berada dekat dengannya.
Saat Khair dan Bi Inah fokus mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur'an, Lena justru menatap Khair. Meskipun dari belakang, tapi Lena bisa melihat bahwa pemuda itu memiliki pesona yang berbeda.
"Kita sudah sampai." Suara Khair membuyarkan seluruh lamunan Lena.
Lena turun dari mobil dengan mengangkat sedikit bagian bawah gamisnya. Dia takut kakinya terbelit dan menyebabkan tubuhnya jatuh. Namun, hal itu malah membuat orang di sekitar mall memandangnya dengan tatapan aneh.
"Jangan diangkat gitu gamisnya, nanti auratnya kelihatan. Lagian ini nggak sedang banjir," ucap Khair membuat Lena dengan segera menurunkan gamisnya.
"Maaf, habis ribet sih. Hmm, boleh ganti nggak?" sahut Lena dengan mimik muka memelas, cuaca yang terik membuat keringatnya bercucuran.
Lena berharap Khair akan membiarkannya melepas gamis itu dan mengganti dengan baju yang dia inginkan. Namun, pemuda itu malah menatapnya datar. “Mau ganti pakai apa?” tanya Khair.
Lena baru ingat kalau sekarang dia tidak punya apa-apa. Bahkan dia lupa gamis yang dipakainya adalah milik Aida.
"Lena, perempuan yang sudah akil baligh itu wajib menutup auratnya. Itu tidak akan mengurangi kecantikanmu, tapi akan semakin membuatmu terhormat dan istimewa. Sekarang, tahan aja. Gerah itu nantinya yang akan menyelamatkanmu dari api neraka," ujar Khair.
Apa sih dia, kok bawa-bawa neraka segala, batin Lena.
Mereka bertiga masuk ke pusat perbelanjaan. Lena tidak habis pikir, para wanita yang semula sibuk memilih pakaian kini malah menatap kagum ke arah Khair, layaknya lelaki itu adalah artis. Sayangnya, Khair tak peduli. 'Ck, dia terlalu naif atau bagaimana?'

หนังสือแสดงความคิดเห็น (34)

  • avatar
    DjibuFdlah

    ceritanya bagus bangat,mmberikan pljaran kpda dri sndri

    05/02/2023

      0
  • avatar
    PlatinFirdus

    sangat bagus

    01/02/2023

      0
  • avatar
    JAYVJAY

    ok kren

    01/06/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด