logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 3: Merah

Mina meletakkan tangan di dahinya, lalu menghela secara dramatis. "Amel sama gue udah di apotek! Gue berdua lagi beli tiga tester kehamilan, biar lo tahu hamil apa enggak ... jadi gausah panik, oke! Sebentar lagi antreannya. Abis ini gue berdua dateng ke situ."
Aku hanya menatapnya, dia menoleh ke arahku setelah mengantongi ponselnya. Itu ide yang luar biasa. Dia mengedipkan mata padaku, lalu dengan sok percaya diri berbicara kepada kasir-meminta tiga alat uji kehamilan.
Aku menghela lega. Entah apa yang akan kulakukan, jika tanpa dia—sahabat terbaikku.
Kami sudah kembali ke asrama. Mina menyodorkan Paper Bag, berisi alat uji kehamilan. "Nah, ini. Ada cara pakainya," katanya. Tanganku gemetar saat mengangkatnya.
"Kamu bisa pakeknya, Amel." Dia menepuk pundak, memberitahu bahwa semuanya pasti baik-baik saja.
Yah ... aku pun mengharap demikian.
Aku melenggang ke kamar mandi dan mengunci diri di dalamnya. Paket sudah kubuka. Seraya menggigit bibir, aku membaca instruksi tentang cara penggunaan.
Kutatap bayangan diri di cermin. Betapa alat uji ini, akan mengubah hidup, apa pun hasilnya. Sesabar apa pun, aku tetap harus menelan empedu. Baik, akan kumulai pengujian ini!
Tiga alat ... dan ... hasilnya tetap konsisten. Meski sudah menyangkalnya, tetapi inilah buktinya. Dengan lemah aku duduk di lantai keramik kamar mandi, dan bersandar di dindingnya. Kupeluk lutut dan memeluknya ke arahku-mengayunkan diri, akhirnya ... terasa air mata mengalir.
Dua garis, dua garis merah!
Positif.
Aku ... hamil.
A aku ... tidak bisa berbuat apa-apa. Waktu takbisa kembali.
Ya Tuhan .... Aku akan menjadi seorang ibu!
Entah sudah berapa lama berada di posisi itu. Mungkin Mina sudah bosan merasa khawatir di luar. Pintu kamar mandi sudah terketuk sebelumnya, tetapi aku mengabaikannya. Aku ... benar-benar takbisa bicara. Hanya terus menatap ketiga batang itu, sambil menangis dalam diam. Meski terus berharap, semoga sebuah garis terhapus. Doaku ternyata tak terjawab, dua baris tetap ada dan tertawa.
"Ya Tuhan, Amel!" Mina menghela saat melihatku. Kunci tergantung di tangannya. Sepertinya dia memutuskan untuk membuka kamar mandi sendiri, karena tidak mendapat jawaban.
Dia segera bergegas ke sisi, lalu menarikku ke dalam pelukan, menjentikkan pandangan ke tiga batang uji di lantai. Dia membelai punggung. "Udah, gak papa, Mel. Gak papa."
Tangisanku mengeras, bahu bergetar menahan air mata. Tidak lagi peduli apakah air mata ini sudah membasahi bajunya. Kucengke1ram lebih erat dan mencurahkan seluruh rasa kegelapan.
Bagaimana mungkin aku masih baik-baik saja?
Aku hamil, dan akan menjadi seorang ibu di usia dua puluh. Ini bukan yang kurencanakan, ini bukan yang kuinginkan!
Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bayi ini tetap harus kujaga. Dia adalah bagian kepribadianku. Tidak peduli seberapa hancurnya diri sekarang, aku tidak berpikir untuk menyingkirkannya. Selain itu, tangisan ini juga disebabkan oleh perasaan yang takjelas. Kekecewaan dan kemarahan, pada diri sendiri, pada orang yang membius, dan pada Handoko; kebahagiaan karena sekarang ada malaikat di dalam rahim, ketakutan karena tidak tahu apakah bisa menjadi seorang ibu.
Mina membantu berdiri. Aku pun berhenti menangis, mencuci muka, lalu mengernyit saat melihat bayangan di cermin; mata sembab, hidung merah, dan rambut acak-acakan. Kemudian Mina menuntun ke ruang tamu. Aku meringkuk di sofa, tidak berbicara. Dia pun hanya duduk diam di sebelah.
Mina bangun dan pergi ke dapur, lalu kembali dengan semangkuk besar es krim, dan sebungkus besar Keripik Kentang. "Nih, makan. Kamu butuh ini!" katanya sambil menyerahkan mangkuk.
Aku pun mengangguk dan mengatur duduk di sofa. "Makasih ...," kataku, parau.
Dia tersenyum. "Lo pasti baik-baik aja, Mel."
"Ya."
Kami makan dalam diam setelah itu. Kutenggelamkan kesengsaraan dalam es krim saat Mina mengunyah keripik-nya. Setelah habis tiga mangkuk, aku pun merasa lebih baik. Yah ... itu ide geniusnya-membawakan es krim. Aku akan berterima kasih padanya ketika bertemu di akhirat.
Kuregangkan tubuh ini dengan lesu, di sofa. Mina berada di kaki jadi aku meletakkan kaki di pangkuannya.
"Rencana lo sekarang gimana?" tanya Mina
"Gue harus bertemu sama dokter lah, Min!"
"Yess ... itu bagus. Gimana kalo setelah acara kelulusan aja?"
Aku menghela, menyisir rambut dengan jari-jari. "Gue mau pulang aja, gak mau ninjau ujian dewan dulu. Nanti aja kalo udah lahiran."
Karena aku yakin, mempersiapkan diri untuk ujian akan meningkatkan stres. Aku tidak ingin kesehatan bayi terancam. Jadi, aku memilih untuk fokus Debay terlebih dahulu.
Aku juga tidak perlu mencari pekerjaan, karena secara finansial, uang yang ditinggalkan orang tua sudah cukup stabil. Itu lebih dari cukup untuk seluruh durasi kehamilan.
"Emang lo yakin mau pulang? Sama siapa kamu tinggal di sana?"
"Nanti saya cari pembantu."
Karena orang tua sudah meninggal, hanya pengasuh yang mengelola rumah kami. Aku juga tidak punya saudara kandung alias anak tunggal. Sedangkan sanak saudara yang lain tinggal di AS.
Mina menghadapku. "Kayaknya gue gak setuju deh, Mel. Lo kan tau kalo gue sama Lazam mau ngekost. Kenapa gak ikut sama kami aja?"
Mina dan Lazam sudah menjalin hubungan selama hampir setahun. Mereka benar-benar saling menyukai, memutuskan untuk menikah dan tinggal bersama setelah lulus kuliah.
"Please, Amel. Gue gak tega lo sendirian dalam keadaan hamil gitu. Pokoknya gue mau temenin sampai lahiran. Debay nanti jadi anak angkat gue juga."
"Anak angkat?"
Mina menyeringai. "Ya. Gue pasti sayang bangeeet ...."
Kuputar mata ke arahnya. "Hadeeeh ... oke."
Mina benar sih, setidaknya aku punya seseorang yang tepercaya selama kehamilan, agar membuatku tetap merasa nyaman.
"Bagus! Jadi, kita mulainya besok?"
"Gue kan mau ke dokter dulu, Min."
"Oke, nanti kita pergi bareng."
"Ya."
Keesokan harinya, Mina dan aku hanya diam selama perjalanan ke kampus. Kami memutuskan untuk mengambil mobilnya, jadi dia yang mengemudi.
Kami baru saja kembali dari dokter. Sudah kami duga, dokter juga mengkonfirmasi kehamilan. Katanya aku hamil tiga minggu, dan jatuh tempo pada tiga belas Desember. Namun, dokter juga mengatakan, bisa jadi aku melahirkan sebelum atau beberapa hari setelah itu. Beliau meresepkan vitamin dan menginstruksikan, apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Lalu kembali ke sana bulan depan untuk janji yang lain.
"Jadi," seru Mina. "Kamu mau ngasih tau kapan?
Aku meliriknya sedikit, lalu melihat ke luar jendela. Aku tahu apa yang dia maksud-dan siapa yang dia maksud. "Gak tau, Min," jujurku. Memang sama sekali belum terlintas di pikiran.
Haruskah aku memberi tahu Handoko tentang keadaan ini? Bagaimana cara mengatakannya? Hey, Handoko, aku hamil, kamu ayahnya! Apakah dia bakal percaya? Sedangkan kami tidak saling mengenal, bagaimana cara mendekatinya?
Sebenarnya, selain itu ... aku takut. Takut melihat dia bereaksi. apakah dia akan marah, atau justru menerimanya? Meskipun jika dia tahu lalu memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa, itu bukanlah masalah. Aku bisa mengatasinya sendiri. Ya, memang aku lebih suka itu.
Sambil mendesah, aku menyeka telapak tangan yang berkeringat-di celana Jins-ku. Dengan tidak menatap Mina, aku berbicara. "Kita berdua tau sih, dia pria yang baik dan suka jalan, tapi gue ragu bisa gak ngomong sama dia."."
Mina tidak menjawab, tetapi sepertinya setuju.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (100)

  • avatar
    Rizal AkbarMuhammad

    bagus novelnya

    7d

      0
  • avatar
    Alzh Rni

    mantapp lahh cerita nya

    10d

      0
  • avatar
    Pri Agustin Wojayanti

    iya

    24/07/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด