logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

6. Hutang

Bermesraan dengan suami sendiri adalah hal yang lumrah dan halal. Setelah melangsungkan pernikahannya dengan Rama, Nabila tidak sungkan untuk menunjukkan kemesraannya. Ritual mengantar dan menyambut Rama kerja bukan hanya cium tangan, pipi kanan kiri dan kening, tetapi mereka tak sungkan untuk cium bibir di depan pintu.
Nabila bersikap semakin manja dan bagaikan ratu di rumah tersebut. Rama, Permadi, dan Yunita selalu berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan Nabila yang berbalut kata ngidam. Semua harus dituruti dengan alasan agar keturunan Permadi yang akan lahir tidak ngeces. Tak peduli badan lelah pulang kerja atau tengah malam yang gelap, semua dilakukan katanya permintaan bayi yang masih dalam kandungan.
Pada awalnya Nadia merasa cemburu setiap menyaksikan kemesraan Nabila dan Rama, tetapi dengan berjalannya waktu semua rasa itu seakan menguap dan lama-lama biasa saja. Tetapi rasa sakit hati karena pengkhianatan itu masih terasa, dan lebih sakit lagi saat Nadia harus menyaksikan Rama mengelus perut Nabila yang mulai terlihat membuncit, Nadia harus menyaksikan senyum bahagia Rama dan Nabila disaat ia harus mengingat kepergian anaknya.
***
Dalam duka dan luka yang dia rasakan, Nadia merasa bersyukur. Tuhan memberi sahabat seperti Hanna yang setia menemani dalam keadaan sesulit apapun, dan juga masih diberi kesempatan menjalankan usaha yang bisa ia jadikan sumber nafkah hidupnya. Dengan menyibukkan diri menjalankan usaha bersama Hanna, ternyata sangat membantu Nadia mengalihkan rasa sedihnya dan menumbuhkan kembali semangat hidup Nadia.
Di kontrakan Hanna, sebuah rumah petak sederhana, Nadia dan Hanna sibuk packing barang-barang yang akan segera dikirim ke para pembeli. Jika biasanya Nadia dan Hanna akan berbagi tugas, tapi hari ini mereka tampak buru-buru karena akan keluar bersama untuk melihat kontrakan dan sudah janji dengan pemiliknya.
"Di gang sebelah ada satu rumah, lumayan luas. Tapi minta lima tahun dan dibayar dimuka." Dengan lincah tangan Hanna membungkus barang-barang pesanan.
"Kita bisa kehabisan modal kalau kontrak rumah itu." Nadia menatap Hanna, ada perasaan tidak nyaman karena sudah terlalu sering merepotkan sang sahabat. "Maaf ya Han, aku ngrepotin kamu terus."
"Ngomong apa kamu?" Hanna menjawab sambil tersenyum. "Sudahlah, kita ini kan satu tim. Kalau nggak ada kamu, aku repot sendiri. Kalau ada temannya seperti ini paling nggak ada teman ngobrol, biar nggak ngantuk." 
"Terima kasih Han." Dua sahabat itu saling berbalas senyum. "Kalau ruko di depan sepertinya strategis Han, kita juga bisa mencoba offline."
"Berarti harus ada yang jaga. Terus kalau salah satu atau kita berdua mendapat panggilan kerja, bagaimana ngatur waktunya?" Hanna menjeda kalimatnya, dua sahabat itu saling berpandangan memikirkan kendala yang sedang mereka hadapi. "Kita lihat dulu aja Dia, kamu nyamannya dimana? Bisa dukung usaha kita nggak? Nanti kita bicarakan lagi." Hanna menganggkat dua ibu jarinya sambil tersenyum lebar ke arah Nadia.
"Kalau yang di samping itu bagaimana?" Tanya Nadia.
"Kamar Mbak Mirna maksudmu?"
"Ya, sepertinya sudah lama kosong."
"Setelah menikah Mbak Mirna ikut suaminya, dia pun juga sudah resign dari pabrik tempatnya bekerja."
"Kenapa nggak kepikiran situ saja dari kemarin."
"Kemarin kamu bilang sekalian buat usaha, kalau bekas kamar Mbak Mirna sama seperti kamar ini, nanti kalau kita mau packing kamar penuh seperti sekarang." Hanna mengangkat kedua tangannya seraya menunjukkan kamar yang penuh barang dagangan dan hampir menyerupai gudang.
"Karena orderan kamu sama orderan aku semua dikerjakan di sini, jika ada dua tempat seperti dulu, kamar kamu akan sedikit lega, karena kita akan berbagi stock."
Hanna memperhatikan barang-barang yang sudah dipacking, seperti semua pesanan hari ini sudah selesai.
"Kita kirim ini dulu, nanti kita bicarakan lagi."
Nadia mengangguk dan segera membantu Hanna menata barang yang akan dikirim dan membereskan ruangan yang berantakan.
***
Nadia harus segera menemukan tempat tinggal baru, karena ia telah memutuskan akan meninggalkan rumah orang tuanya. Bukan hanya rasa tidak nyaman seatap dengan mantan suami dan mantan madu yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri, tetapi ada hal yang paling ia takutkan adalah fitnah.
Nadia dan Hanna harus mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan tempat yang akan mereka kontrak. Modal yang mereka miliki tidak banyak, jangan sampai semua habis hanya untuk sewa tempat, karena untuk saat ini Nadia dan Hanna sangat bergantung pada usaha online mereka.
Setelah melihat ke beberapa tempat yang akan di kontrak, Nadia dan Hanna mengistirahatkan sejenak diri mereka dengan menikmati makanan favorit mereka. Saat ini mereka sudah berapa di warung bakso langganan mereka sejak masih kuliah dulu. 
"Capek Han, kontrak di kamar kosong di samping kamu aja ya?"
"Serius?" Hanna tak percaya dengan pilihan temannya yang akan kontrak di rumah petak di sampingnya.
"Ya, lebih cepat lebih baik." Nadia menjawab singkat sambil menikmati bakso di depannya.
"Nanti aku temui pemilik rumahnya, kalau habis maghrib biasanya sudah santai, ngobrolnya enak." 
"Terima kasih Han."
Satu masalah telah terselesaikan, dua sahabat itu saling melempar senyum. Pindah ke rumah petak di dekat Hanna menjadi pilihan terbaik bagi Nadia. Tempat tinggal yang berdekatan akan memudahkan mereka berkerja sama, dan tinggal dikontrakan yang berbeda akan tetap menjaga privasi mereka masing-masing. Dan tentu saja Nadia tidak terlalu terbebani dengan masalah keuangan.
***
Motor matic yang dikendarai Hanna memasuki pekarangan rumah keluarga Permadi. Nadia segera turun dari motor Hanna. Nadia dan Hanna saling pandang saat melihat sebuah mobil mewah terparkir di halaman rumah, sebuah mobil mewah yang hampir tak pernah mereka lihat di jalanan. Hanna memajukan dagunya seakan bertanya siapa pemilik mobil tersebut, dan Nadia hanya mengedikkan bahunya, tanda bahwa dia tidak mengetahuinya.
"Ada tamu, aku langsung pulang saja." Hanna bergegas memutar motornya, setelah melambaikan tangan dan saling berbalas salam, Hanna segera melaju meninggalkan Nadia sahabatnya. Setelah Hanna sudah tak terlihat lagi dari pandangannya, Nadia segera memasuki rumah. 
Memasuki ruang tamu, dilihatnya Permadi sang ayah sedang duduk bersama seorang pria muda yang mungkin usianya diakhir duapuluhan atau awal tigapuluhan. Tak bisa dipungkiri wajah pria itu memanglah tampan, belum lagi pakaian yang membalut tubuhnya menunjukkan kalau dia juga pria mapan, dan jika memang mobil mewah yang terparkir di halaman rumah adalah miliknya sudah pasti dia bukan pria sembarangan. 
Tanpa sengaja Nadia dan pria itu saling bertatapan. Nadia lalu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan. Karena langkahnya yang terburu-buru justru membuat Nadia berjalan terpincang-pincang.
"Dia, ada yang ingin Pak Gio bicarakan denganmu."
Nadia menghentikan langkahnya, lalu memandang ke arah pria yang ternyata bernama Gio itu. Nadia berusaha mengingat pria bernama Gio yang sekarang berada di depannya, ada urusan apa hingga Gio ingin berbicara dengannya. Akhirnya Nadia menuju kursi kosong di depan Gio duduk.
"Pak Gio lah yang membawamu ke rumah sakit waktu kecelakaan kemarin."
"Terima kasih." Nadia tersenyum sambil menangkupkan kedua tangannya, tetapi Gio hanya membalas dengan tatapan mata yang dingin.
"Tidak perlu berlama-lama, kedatangan saya kemari untuk memberikan ini." Gio menyodorkan map berlogo rumah sakit tempat Nadia dirawat saat kecelakaan yang menyebabkan ia keguguran, dan juga di atasnya terdapat nota dengan kop sebuah bengkel resmi pabrikan mobil mewah.
Nadia mengambil map dan nota tersebut, lalu mengernyitkan dahinya melihat jumlah angka yang tertera di sana.
"Apa maksudnya ini?"
"Itu adalah biaya perbaikan mobil saya yang Anda tabrak, dan di dalam map itu ada biaya perawatan Anda di rumah sakit dan juga fisioterapi yang Anda lakukan."
Nadia segera mengambil map di depannya dan membuka untuk mengetahui biaya yang ia habiskan selama perawatan dan fisioterapi. Dia dirawat di ruang VIP yang tentunya untuk ruangan saja tidak murah, belum lagi biaya-biaya yang lainnya.
"Lalu?" Nadia menarik nafas dalam-dalam, perasaannya menjadi tidak enak setelah melihat jumlah uang yang tertera di dua nota tersebut.
Gio menyeringai sambil menatap tajam ke arah Nadia.
"Saya lihat Anda sudah sehat, sudah waktunya Anda membayar hutang, jika harus mencicil pun saya terima."
Nadia dan Permadi terkejut mendengar kata hutang dari Gio, terlebih lagi Permadi. Karena waktu itu, Permadi lah yang menerima bantuan dari Gio dan menganggap apa yang dilakukan Gio sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kecelakaan yang menimpa Nadia.
"Mak...maksud Anda, saya harus membayar ini semua?" Nadia mengangkat nota yang berada ditangannya, dan Gio hanya membalas dengan menyebikkan bibirnya sambil menganggukkan kepalanya.
"Maaf Pak Gio, bukankah ini murni kecelakaan? Putri saya tidak sengaja membuat mobil Pak Gio rusak, lagi pula Nadia juga terluka bahkan harus dirawat di rumah sakit."
"Jika hal-hal seperti ini terus dibiarkan, maka akan semakin banyak orang yang ugal-ugalan di jalan." Gio tidak terima dengan alasan yang diutarakan Permadi.
"Assalamualaikum." Terdengar suara Rama mengucap salam, dengan suara lirih Nadia dan Permadi membalasnya. Rama memasuki rumah dan terkejut melihat Gio berada di ruang tamu.
"Pak Gio." Rama menyapa Gio, dan hanya mendapat balasan tatapan tajam penuh amarah.
"Satu lagi yang harus Bu Nadia ketahui, tunjangan kesehatan yang di dapat Pak Rama dari perusahaan tidak bisa Anda terima, karena ternyata ada nama wanita lain yang menerima tunjangan tersebut untuk pemeriksaan kandungan. Oleh sebab itu Anda harus menganti biaya perawatan Anda selama di rawat di rumah sakit."
Rama dan Permadi terdiam saling pandang, sedangkan Nadia dari tadi membolak-balik nota yang ada di tangannya.
"Biaya bengkel sebanyak ini bisa buat beli mobil sendiri pak." Nadia tersenyum kecut, tak terasa air matanya mulai menetes. "Untuk biaya rumah sakit...." Nadia menjeda kalimatnya, dadanya terasa sesak untuk bicara. "Mengapa tak kalian biarkan saja aku mati bersama anakku?"
Tak bisa dicegah air mata Rama menetes mendengar ucapan Nadia, wanita yang pernah menjadi istrinya dan bahkan pernah mengandung benihnya. Dia pun merasakan kehilangan yang sama, kehilangan calon anak mereka.
Tetapi Gio justru hanya menyeringai seolah mengejek Nadia.
"Jika Anda mati, siapa yang akan membayar hutang Anda? Bukankah hutang adalah tanggung jawab yang harus diselesaikan?" 

Book Comment (305)

  • avatar
    WindrianiKartika

    iiiihhhhh..... seru.... mo cari tau alasan kenapa orang tua nya ngelakuin itu. kalo memang saling mencintai kenapa nikah sahnya ama Nadia. kenapa gak dari awal aja sama Nabila. pengen liat mereka pada nyesel. semangat terus wahai penulis^^

    18/03/2022

      1
  • avatar
    IbnatuSalmaibnatu

    baguss

    2d

      0
  • avatar
    Uda Hendra

    bagus

    3d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters