logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Suapan Ayah

Akupun beranjak dari bangku dan berniat membayar pada Mak Yem. Namun ketika melewati bangku yang ditempati Mas yang tadi, aku menemukan kartu nama yang tergeletak begitu saja. Aku memungutnya dan membacanya sekilas, Anwar namanya, kubawa keluar dan berniat membuangnya di sampah. Entah kenapa tanganku tiba-tiba saja tak jadi membuangnya, malah memasukkannya di saku celanaku. Kemudian aku pulang pas jam pulang sekolah, agar aku tak ketahuan keluargaku jika aku bolos.
❣️❣️❣️❣️❣️
Sesampainya di rumah, aku langsung tidur, capek jiwa raga ini. Bingung juga harus melakukan apa di rumah ini sendirian. Semua orang sedang menghadiri pernikahan ayah, terkecuali aku. Malas aku, tak ada yang membuatku tertarik untuk kesana.
Hampir mata ini terpejam, tiba-tiba ponselku bergetar. Kulirik sebentar, ternyata ayah yang memanggil.
"Assalamualaikum, Nak. Apa kabarnya disana? kamu baik-baik saja, kan?"
"Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik, Yah."
"Kenapa dari tadi ayah telfon kok gak diangkat-angkat?"
"Maaf, Yah, tadi kan Rasya sekolah, jadi tidak bawa ponsel," jawabku agak canggung, sebab tak pernah sekalipun aku berbohong pada ayah.
"Sejak kapan Rasya kecilku mulai berbohong pada ayah? Hemm? Ada apa, Nak. Ceritakanlah pada ayah!"
Sudah lama aku tak berbincang serius dengan ayah, karena semenjak ibu meninggal, ayah menjadi pendiam.
Aku mulai membenarkan posisi dudukku, yang tadi duduk sembarangan, sekarang kusilakan kakiku di atas kasur.
"Kenapa Ayah bisa tahu?"
"Guru BP-mu menelfon ayah tadi. Beliau bilang, sudah dua hari ini kamu membolos. Ayah langsung menghubungimu, tapi tak diangkat-angkat. Apa ada masalah di sekolah, Nak?"
Aku baru ingat, dari tadi ponselku kumasukkan dalam ransel, jadi siapapun yang menghubungiku aku tak mengetahuinya.
"Tidak, Yah. Sekolahku baik-baik saja, hanya saja aku sedang suntuk di kelas, jadi kuputuskan untuk membolos saja."
Layaknya laki-laki yang kebanyakan menjaga gengsi untuk menutupi keadaannya sendiri, begitupun aku. Ayah sudah banyak pikiran, aku sungkan jika harus membebaninya lagi.
"Maaf, Sya. Ayah belakangan ini sering mengabaikanmu. Jika tak keberatan, tinggallah bersama ayah disini, temani ayah."
"Ayah sudah punya istri baru untuk menemani, aku nanti hanya akan jadi pengganggu untuk Ayah. Aku disini saja, sama Mas Dika dan Mas Bahfi."
"......"
Panggilan masih menyala, tapi kenapa ayah diam? Tak lama kemudian ku dengan suara sesenggukan. Ya Tuhaaan ... apakah ayahku menangis? Sepenting itukah aku, sampai ayah menangis hanya karena mendengar aku bolos? kukira usai menikah, aku sudah tak penting lagi baginya.
"Maafkan Ayah, Nak ...." Tiba-tiba Ayah bersuara lagi namun dengan suara yang agak serak.
"Hari sabtu kita ketemu dan bicara di rumah, ya. Assalamualaikum."
Ayah langsung menutup panggilannya tanpa menunggu jawaban salam dariku.
❣️❣️❣️❣️❣️
Hari sabtu ketika aku pulang sekolah, ayah sudah di rumah dengan istrinya. Aku langsung mencium tangan mereka. Meskipun aku belum sepenuhnya menerima dia sebagai ibu sambungku, namun untuk tata krama yang selama ini diajarkan oleh ayah, aku sedikit menyingkirkan gengsiku.
"Makan, yuk, Sya. Tadi aku beli gurame bakar kesukaan kamu. Kita makan sama-sama, ya!" pinta ayahku dengan hati-hati.
"Masih kenyang aku, Yah. Pulang sekolah tadi aku udah mampir di kantin beli sotonya Bu Siti," jawabku beralasan.
Ayah mendadak diam.
"Nanti sore saja aku makan, ya," sambungku.
Aku masuk kamar dengan malas, dan mengganti seragamku dengan kaos oblong bergambar secangkir kopi dihiasi asap diatasnya. Kulanjutkan dengan sholat dzuhur, kemudian berusaha tidur.
Ketika waktu menunjukkan pukul empat sore, kamarku diketuk ayah. Kemudian beliau masuk, membangunkanku agar lekas mandi dan sholat. Aku pun menurutinya.
Aku tak keluar sama sekali dari kamar, karena memang kamarku di fasilitasi ayah dengan kamar mandi dalam. Dulu, diantara kami tiga bersaudara, aku yang paling malas ke kamar mandi. Sampai aku dulu sering ngompol di kasur ketika malam, saking malasnya aku ke kamar mandi, karena menurutku terlalu jauh. Hal memalukan itu baru berakhir ketika aku kelas enam, ayah berinisiatif membuatkanku kamar mandi dalam.
"Sya, makan ,yuk. Katanya tadi sore aja makannya. Ini udah sore."
Ayah memanggilku dari luar kamar.
"Nanggung, Yah, udah jam lima. Nanti aja ya habis maghrib," Jawabku tanpa membukakan pintu. Menurut jadwal di kalender islam, waktu maghrib memang akan tiba dua puluh lima menit lagi.
Dulu biasanya ketika jam-jam segini, ibu selalu membuatkan kami camilan, entah pisah goreng, ote-ote, sosis goreng, ataupun makanan lain yang membuat kami selalu berkumpul sore hari.
"Siapa mau sosis goreeeeng?"
Teriak ibu kala itu. Kami bertiga yang sibuk berada di dalam kamar masing-masing, langsung keluar dan melahap sosis itu. Kalau ayah, jangan tanya lagi. Beliau sudah standby di ruang keluarga dari tadi sambil nonton TV, dan beliau pasti yang pertama mengincipi semua masakan ibu. Ahh mataku jadi basah lagi teringat ibu.
Tak ada suara ayah lagi dari luar kamarku. Namun tak lama kemudian, terdengar suara ayah dari speaker masjid. Begitu merdu suara adzan ayah. Aku yang tadi berniat sholat di kamar, langsung berangkat ke masjid memenuhi panggilan adzan ayah, di belakangku ternyata ada Mas Dika dan Mas Bahfi menyusulku. Sedangkan ibu sambungku, entah dimana dia. Mungkin masih di dalam kamarnya atau mungkin sudah berangkat duluan. Ahh apa peduliku.
Seusai sholat, kulihat ayah masih ngobrol dengan teman-temannya di serambi masjid. Aku bergegas pulang, langsung masuk kamar dan berselancar di dunia maya.
Tak berselang lama, di balik pintu ayah memanggil namaku.
"Rasya, ayah masuk, ya."
Tanpa menunggu jawabanku, ayah langsung masuk sambil membawa piring, yang rupanya berisi nasi dan ikan gurami bakar kesukaanku.
"Dari tadi katanya makan, kok gak makan-makan? Biasanya kalau ayah beli gurame, kamu yang paling awal makannya. kalau kamu sakit lambung akibat makan telat, kasihan kakak-kakakmu. Ayah juga tidak bisa menjagamu setiap hari. Jadi jangan sampai telat makan, Nak."
Sudah lama ayah tidak berbicara panjang seperti ini, apalagi menceramahiku.
"Aku masih kenyang, Yah," elakku.
"Ya udah, sini duduk samping ayah!"
Aku menuruti perintah ayah, duduk di tepi kasur dekat beliau.
Tanpa persetujuanku, tangan ayah yang berisi nasi dan lauk sudah berhenti didepan mulutku. Mau tak mau, aku yang sebenarnya sudah lapar dari tadi, langsung membuka mulutku.
Ayah menyuapiku. Hal yang sudah lama tidak beliau lakukan sejak aku kelas empat SD. Agak berkaca-kaca mataku melihat perlakuan ayah. Ternyata ayah memang masih menyayangiku. Aku langsung memeluknya, meskipun dengan air mata yang luruh, meluruhkan seluruh gengsiku sebagai laki-laki untuk tak menangis.
Akankah suapan tersebut membuat Rasya dan ayahnya saling bercerita tentang perasaan masing-masing? dan sanggupkah Rasya menerima keberadaan ibu barunya?

Book Comment (65)

  • avatar
    RachmanAchmad

    sangat sedih

    20/08

      0
  • avatar
    MingAsmir

    cerita bagus

    17/07

      0
  • avatar
    Tantri Tantra Octaviani

    ceritanya bagus sekali, saya suka

    30/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters