logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Bolos

POV Rasya
Lusa ayah akan menikah. Rasanya sakit hati ini mendengar kabar ayah akan menikah lagi. Tak rela rasanya tempat ibuku digantikan dengan wanita lain, meskipun aku tahu, ayah juga tak menginginkan ini.
Pelajaran bahasa arab kali ini terasa membosankan, padahal biasanya aku yang paling antusias, karena aku memang menyukai pelajaran bahasa, termasuk juga bahasa jawa. Dulu ayahku membiasakan berbicara dengan bahasa ngoko lugu dengan kami anak-anaknya. Namun, sekarang banyak memakai bahasa indonesia, setelah tahu kesulitan Mas Dika membiasakan memakai bahasa indonesia di bangku kuliahnya. Kadang beliau juga bermain cangkriman (tebak-tebakan dalam bahasa jawa) dengan kami, siapa yang kalah, maka akan kena tolet bedak. Seseru itu kehidupan kami dulu. Tiba-tiba ketika pergantian jam pelajaran, aku diajak Rafi–teman sekelasku– membolos, karena melihatku di kelas hanya melihat jendela dan tak memperhatikan pelajaran.
Rafi di sekolah sudah terkenal sebagai anak badung. Sudah berkali-kali dia dipanggil oleh guru BP karena ulahnya. Namun, ayahnya selalu menyelamatkan karena beliau salah satu pengurus di yayasan sekolah ini.
"Sya, bolos yuk!" ajaknya, ketika jam menunjukkan angka sepuluh.
"Kemana?"
"Ya, kemana aja. Sesukamu, yang penting gak bete di kelas."
"Ya, udah. Ayok!"
Entah keberanian darimana aku mengiyakan ajakannya untuk kabur dari sekolah. Ketika pergantian jam pelajaran, kami menyelinap ke belakang sekolah dan memanjat pagar. Baru kali ini aku bolos, agak gugup juga ketika aku memanjat pagar ini, takut ketahuan guru.
Setan dan iblis hari ini pun seolah mendukung kenakalanku. Semua berjalan sesuai rencana. Motorku yang kutitipkan di parkiran tetangga sekolah langsung kuambil. Aku menyuruh Rafi memboncengku, dan pasrah kemanapun dia mengajakku.
Ternyata dia mengajakku ke arah Pacet, dan memilih singgah di salah satu warung kopi di sana.
"Eh Mas Rafi, bolos lagi, Mas?" tanya sang empu warung.
"He he he yaaa gitu deh, Mak. Daripada ngantuk di kelas, kan mending kesini."
"Kamu mau pesan apa, Sya?" tanya Rafi padaku yang dari tadi hanya diam.
"Ngikut kamu aja deh," jawabku singkat.
"Mak Yem, kopi dua sama mi goreng pedes dua, ya."
Ternyata Ibu penjual itu bernama Mak Yem, mirip dengan tetangga rumahku yang kakinya lumpuh, tapi anak-anaknya tak ada yang mau merawat. Ibu penjual itu mengacungkan jempolnya.
"Mikirin apa, Sya?"
".........."
"Cerita aja, gue pasti dengerin. Kalo elo mau sih."
Hmmm aku memang butuh teman curhat. Tak ada salahnya jika aku berbagi sedikit, sudah sesak aku menyimpannya sendiri. Tampaknya Rafi juga tak suka mengumbar cerita, karena di kelas tak pernah kutemui dia banyak bicara dengan yang lain. Hanya saja dia memang sering membuat ulah di sekolah, sehingga dia di cap sebagai anak badung.
"Aku ingin ibuku kembali, Fi."
"Menemani ayah sampai tua nanti. Aku sayang mereka, dan aku tak ingin ada yang menggantikan posisi ibu," kulanjutkan kalimatku.
"Semua orang punya umur masing-masing, Sya. Kita gak bisa maksain umur, sebab itu di luar kuasa kita."
"Tak tahukah Tuhan, bahwa aku masih membutuhkan ibu? Hatiku serasa ikut terkubur dengan jenazah ibu, Fi. Mati."
"Tuhan lebih tahu kemampuan kita. Tuhan ingin kau mandiri tanpa ibumu, Dia ingin kau tegar, setegar Nakula dan Sadewa yang ditinggal Dewi Madrim ketika masih sangat kecil. Mereka bahkan juga ditinggal mati oleh ayahnya, Raja Pandu. Namun, mereka bisa tumbuh dan menjadi raja di Bumi Retawu dan Sawojajar, meskipun mereka diasuh oleh seorang ibu tiri."
"Aku bukan Nakula maupun Sadewa, Fi."
"Tapi Tuhan memilihmu untuk menjadi seperti mereka."
"........"
Aku diam dan tak mengelak apa yang dikatakan Rafi, karena dia memang benar.
"Udah jam satu, balik yuk!" ajakku.
Rafi mengiyakan ajakan ku. Kami menyusuri pemandangan yang menyejukkan mata, seindah itu sebenarnya karunia Tuhan, tapi kenapa hatiku masih serasa kosong.
❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️
Sudah dua hari ini aku bolos dengan masih memakai seragam sekolah. Sendiri, dan tak ingin ditemani siapapun. Tepat hari ini ayah akan melangsungkan pernikahannya dengan wanita, yang kutahu namanya Nabila. Aku tak tahu apakah dia cantik atau tidak, dan itu tidak penting buatku. Bagiku, ibuku cuma satu, ibu Hanum.
Biasanya, ketika aku tak masuk sekolah, aku selalu takut. Meskipun aku sakit, aku akan berusaha masuk sekolah, selagi masih bisa ditahan. Siswa teladan menjadi gelarku sejak kelas delapan, dan akulah yang digadang-gadang menjadi ketua OSIS tahun ini. Namun, sejak bolos dengan Rafi kemarin, aku jadi berani tak sekolah ketika sedang suntuk.
Dua hari ini, aku pamit pada Mas Dika berangkat sekolah, namun aku pergi ke tempat yang aku singgahi kemarin dengan Rafi. Aku tak begitu mengerti tempat yang tenang di sekitar sini, karena tempatku hanya sekolah dan rumah, jarang sekali aku jalan-jalan di alam bebas.
Aku duduk sambil memesan kopi di warung mak yem, sesekali aku menyulut rokok dan memainkan ponsel.
Tiba-tiba dari arah belakang ada yang menyapaku. Dua orang lelaki yang memakai jeans belel dan berpotongan rambut cepak.
"Sendirian aja, Dek?"
"Iya, Mas."
"Aku lihat dari tadi banyak melamun, lagi mikirin apa?"
"Gak mikirin apa-apa mas, lagi suntuk aja."
"Mumpung masih muda, sekolah yang bener, Dek. Biar tuanya gak kayak saya. Sekarang istri lagi ngelahirin tapi saya masih belum bisa menjemputnya, karena uangnya kurang."
"Lah kok sekarang Masnya di sini? Gak nungguin istrinya?"
"Ni lagi nyari pinjaman uang. Dari tadi belum nemu-nemu juga. Mungkin lagi apesnya saya, Dek."
Entah apa yang di pikiranku, tiba-tiba saja merasa iba akan keadaannya tanpa curiga sedikitpun.
"Ya udah, Dek, aku duluan ya. Jangan suka melamun, ntar kesambet setan kredit, lho!" lanjutnya.
"Eh bentar, Mas. Nih aku ada uang, tapi gak banyak sih, cuma tiga ratus ribu. Moga aja bisa membantu." Ketika berangkat tadi kebetulan aku membawa uang agak banyak, karena aku memang sudah di jatah oleh ayah selama seminggu ini. Aku pun bukan termasuk anak yang suka menghamburkan uang, atau jajan berlebih, jadi jatah yang di beri ayah sebagian besar selalu aman di tabunganku.
"Waaah makasih, Dek. Sangat membantu sekali ini. Sekali lagi makasih, ya. Oh iya, sebagai rasa terima kasih, ini aku punya sesuatu, barangkali aja adek butuh pas lagi melamun atau pas pusing."
Dia menyodorkan sebuntel plastik yang berisi tiga butir obat berbentuk bundar.
"Apa ini, Mas?" semakin penasaran aku dibuatnya.
"Sudah, simpan aja, Dek. Barangkali suatu saat kamu butuh pas pusing atau pas lagi stress."
Mereka berdua langsung naik motor dan melambaikan tangannya padaku. Ku bolak-balik bungkusan itu. Ah masa iya itu barang terlarang yang selama ini cuma kulihat di TV. Tak ada salahnya kalau cuma kubawa, nanti di rumah akan kucari tahu sendiri.
Akupun beranjak dari bangku dan berniat membayar pada Mak Yem. Namun ketika melewati bangku yang ditempati Mas yang tadi, aku menemukan kartu nama yang tergeletak begitu saja. Aku memungutnya dan membacanya sekilas, kubawa keluar dan berniat membuangnya di sampah. Entah kenapa tanganku tiba-tiba saja tak jadi membuangnya, malah memasukkannya di saku celanaku. Kemudian aku pulang pas jam pulang sekolah.
Sebenarnya benda apa yang di bawa Rasya? dan sebenarnya siapakah lelaki tersebut?

Book Comment (65)

  • avatar
    RachmanAchmad

    sangat sedih

    20/08

      0
  • avatar
    MingAsmir

    cerita bagus

    17/07

      0
  • avatar
    Tantri Tantra Octaviani

    ceritanya bagus sekali, saya suka

    30/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters