logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Berpisah dengan anak-anak

Aku masih ada di kamar ini, kamarku dan Hanum. Memandangi fotonya tanpa jemu. Menciumi bajunya sambil duduk bersandar kasur. Semua keluarga yang mengetahui kelakuanku, akan merasa prihatin dan iba. Bagaimana tidak, sudah tiga hari ini, aku tak bersemangat melakukan apapun. Hanya menangis sambil mencium baju Hanum. Mungkin lama-lama aku bisa dianggap gila oleh orang-orang.
Jangan tanya anak-anak padaku, aku mengurus diriku sendiri saja tak bisa, apalagi melihat kondisi anak-anak. Memang aku seorang ayah yang payah. Aku terpuruk, tak tahu kapan bisa bangkit lagi.
Sebelum masa cutiku habis, banyak juga teman-teman dari perusahaanku yang takziyah. Teman dari perusahaan yang lama banyak juga yang turut datang mengucapkan bela sungkawa. Kami sudah seperti saudara, sehingga kami biasa bercanda.
Seperti saat ini, di tengah kegalauanku mereka bahkan ada yang nyeletuk,
"Udah, Pak Dimas, yang lalu biarlah berlalu, pandanglah masa depan. Kulo nggadah stok kenalan kathah. Beaken njenengan purun, kulo padosaken sing kualitas super."
(Saya punya stok kenalan –perempuan– banyak. Kalau kamu mau, saya carikan yang kualitas super.)
Mendengar candaan mereka, aku cuma tersenyum kecut. Aku tahu, mereka cuma menghiburku. Untung mereka teman akrabku, jadi candaan ngawur mereka tak kumasukkan dalam hati.
"Mana mungkin direktur kok jomblo. Berani taruhan aku, belum kering tanah kuburan istrinya, pasti udah kawin lagi. Secara, yang ngincer kan banyak," celetuk mereka yang tanpa sengaja kudengar.
Aku cuma tersenyum miris. Senaif itukah aku? Ah tak mungkin. Aku setia pada Hanum, tak akan ada yang bisa menggantikan posisinya.
*****
Tiba saat hari keenam, aku mulai masuk kerja. Semua karyawan di perusahaan baru yang belum sempat ke rumah, mengucapkan bela sungkawa padaku di kantor. Sebisa mungkin aku tak meluruhkan air mata. Ahh aku memang lelaki cengeng yang terlalu mencintai istri.
Aku berusaha profesional, semua pekerjaanku ku selesaikan dengan baik. Aku sedikit terhibur dengan keberadaan teman-temanku disini dan juga pekerjaan mengalihkan sedikit kesedihanku.
Tiba waktu pulang, aku sendiri lagi. Di rumah dinas Situbondo sendirian. Mau pulang ke rumah Sidoarjo, takut berangkat besok telat, karena perjalanan menghabiskan waktu hampir dua jam setengah, itupun kalau tidak terjebak macet.
Aku membawa sepotong baju milik Hanum dari Sidoarjo, karena dia belum sempat menginap sama sekali jadi tak ada satu pun bajunya ada disini. Kuhirup aroma bajunya, kupandangi fotonya, dan aku menangis lagi.
Hari Sabtu, aku cuma masuk setengah hari. Aku bergegas pulang ke Sidoarjo, karena hari ini acara selamatannya Hanum.
Sampai rumah, aku mencari keberadaan ketiga jagoanku. Diantara mereka, jagoan ku yang bungsu yang kelihatannya masih belum ikhlas ditinggal ibunya, merokok di pojokan kamarnya, padahal masih SMP dan dia sama sekali belum pernah merasakan ataupun memegang benda itu sebelumnya. Neneknya sudah berulang kali menasehatinya, namun tak digubrisnya. Aku pun hanya melihat, tak berniat mengganggunya. Kunasehati juga percuma, aku tahu perasaannya saat ini sedang sama denganku. Dia hanya butuh pelampiasan untuk mengurangi kesedihannya.
Aku masuk kamar lagi, dan seperti biasa, aku memeluk baju Hanum. Pintu kamar yang tak tertutup rapat, membuat ibu yang suara sandalnya terdengar dari kamar, mampu melihat keadaanku dari luar. Kubiarkan saja, karena saat ini aku butuh sendiri, tak butuh siapa-siapa.
❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️
Aku kembali ke Situbondo dengan ditemani ibu. Beliau memaksa ikut denganku, karena melihat kondisiku yang labil, mungkin takut aku menjadi gila. Ibu yang paling tahu kondisiku. Mungkin dibanding anak-anakku, aku yang paling terpukul. Jadi, ibu tak tega meninggalkanku hidup sendiri tanpa ada yang mengurus.
Selang dua minggu setelah kepergian Hanum, sikapku tak berubah. Ketika pulang, aku hanya menciumi baju Hanum dan menangis. Aku rindu, sangat rindu. Tak rindukah kau padaku, sayang? setidaknya temuilah aku dalam mimpi untuk mengobati rasa ini. Rindu ini menyesakkan.
Ibuku jadi semakin panik dengan keadaanku. Bagaimana tidak, makan pun, jika tidak di suapi ibu, aku tidak akan makan. Sehingga, selama dua minggu bobotku turun hampir enam kilo.
"Le, rabio maneh!"
(Nak, menikahlah lagi!)
Tutur ibuku membuatku seketika diam. Mungkin ibu geregetan melihat sikapku yang terus-menerus seperti itu. Sikap yang tak wajar. Bahkan jika di sampingku tak ada yang menyemangatiku, mungkin aku layak masuk rumah sakit jiwa. Hufft.
"Yang kuingat hanyalah Hanum, Bu. Bagaimana bisa jiwaku bersama orang lain sedangkan pikiranku hanya padanya."
Kucoba berkongkalikong dengan ibuku. Tak mungkin aku menikah. Ini mustahil. Tanah Kuburan Hanum saja masih basah. Ya meskipun tak ada larangan bagi laki-laki menikah lagi setelah ditinggal pasangannya, tapi ini kurang etis, apalagi tinggal di kampung. Pasti akan jadi bahan gunjingan.
"Dengarlah kata ibu! Saat ini yang kau butuhkan adalah teman hidup, teman untuk bersandar, teman untuk berbagi kesedihanmu."
"Kalau begitu, tinggallah bersamaku, Bu. Ajaklah ayah juga. Agar aku tak sendirian di sini."
"Bagaimana dengan anak-anakmu?"
"Aku akan membujuknya supaya mau ikut denganku."
"Jika mereka tak mau?"
"Entahlah" aku mengerdikkan bahuku.
"Menikah!"
Aaaagrhhh usul ibu membuatku tambah pusing saja. Perkawinan itu bukan main-main. Apalagi aku tak mungkin bisa mencintai orang yang baru kukenal.
Jum'at sore aku pulang ke Sidoarjo untuk menemui anak-anakku, dan ibu tentu saja ikut denganku. Aku membujuk mereka, agar mau ikut pindah denganku.
Setelah berbicara dengan ketiga anakku, si sulung, Dika, rupanya menolak ikut denganku. Karena sebentar lagi dia akan PKLI di Surabaya. Aku maklum, toh dia juga sudah dewasa dan mandiri. Kafe yang dulu dipegang Hanum, sekarang diteruskan oleh Dika. Lumayan, dia sedikit demi sedikit bisa berbaur dengan masyarakat sekitar.
Si tengah, Bahfi, menolak ikut juga, karena dia sudah cocok tinggal di Sidoarjo, katanya. Dia juga ingin membantu Dika mengelola kafe ibunya.
Sedangkan si bungsu, Rasya. Awalnya dia diam saja. Akhirnya ketika dia angkat bicara, dia menolak ikut. Katanya, kalau dia ikut, dia akan kehilangan kenangan bersama ibunya. Ahh nak, tahukah kamu, akupun juga enggan meninggalkan rumah ini. Ini adalah rumah kita bersama, rumah kenangan kita. Kalau saja bukan karena pekerjaan dan tanggung jawabku sebagai pencari nafkah, aku akan tetap tinggal di sini membersamai kalian.
"Baiklah, bila kalian semua menolak pindah denganku. Dengarlah, anak-anakku! Apapun yang terjadi, jangan kalian tinggalkan sholat. Kunci utama hidup adalah selalu bersyukur dan berdoa, dan itu hanya bisa dilakukan dengan sholat. Maaf, bila selama ini Ayah belum bisa menjadi ayah yang baik buat kalian. Kalian sudah dewasa, ayah yakin kalian sudah memilih keputusan terbaik buat diri kalian sendiri."
Aku merangkul mereka bertiga, menangis bersama. Aku tahu mereka berat, sama denganku. Setelah ditinggal oleh ibunya, mereka harus berpisah denganku.

Book Comment (65)

  • avatar
    RachmanAchmad

    sangat sedih

    20/08

      0
  • avatar
    MingAsmir

    cerita bagus

    17/07

      0
  • avatar
    Tantri Tantra Octaviani

    ceritanya bagus sekali, saya suka

    30/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters