logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Dimas

Beberapa tahun kemudian. 
Sebuah panggilan telepon masuk. Andra segera mengambil ponselnya. Nama Reisa tertera di layar. 
"Apaan?" 
Andra menutup laptop dan menjawab telepon. Hari ini ada banyak laporan yang harus dia selesaikan. Laki-laki itu sedang fokus menyelesaikannya sedari pagi, saat tiba di kantor. 
"Ndra. Temenin aku makan siang, dong. Aku sendirian, nih!" 
Terdengar suara syahdu wanita di seberang sana. Reisa, si pemilik suara adalah seorang wanita cantik, mungil dengan rambut panjang tergerai. Bulu matanya lentik juga suara yang manja. 
"Dimas mana?" 
Nada suara Andra terdengar malas. Selalu begini, hampir setiap hari terjadi. Sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Sekalipun status Reisa sudah bertunangan dengan Dimas, tetapi dialah yang selalu menemani. 
"Lagi meeting sama klien. Gak sempet nemenin aku katanya. Tadi barusan aku telepon dia. Kamu mau kan, Ndra?" Suara manja Reisa kembali terdengar, berusaha membujuk dan merayu. 
Andra menarik napas panjang. Entah sudah untuk yang ke berapa kali ... ini terjadi. Dalam hatinya selalu bertanya, Dimas ini sebenarnya cinta atau tidak dengan sahabatnya. Hubungan mereka seperti main-main saja. 
Reisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan dirinya, sedangkan Dimas selalu sibuk. Begitulah alasannya? Sibuk apa, bekerja atau bersama wanita lain?
Andra masih asyik mendengar ocehan suara di seberang sana, saat Reisa kembali merayu. 
Rei, tunangan lu tu bukan lagi meeting. Tapi, lagi di hotel gue, check-in sama cewek. Parahnya, dia sengaja make hotel gue buat main. Buat nunjukin kalau dia bebas ngelakuin apa aja, dan gue lemah. Gue gak berani ngasih tau lu kenyataan yang sebenarnya.
Andra ingin menceritakan semua kepada Reisa, tetapi niatnya urung. Sahabatnya itu sudah terlanjur cinta mati dengan Dimas sejak dulu. Matanya buta, telinganya tuli. Apa pun ucapannya tak akan didengar.
Gue berharap suatu saat, lu tau dan ngeliat kebenaran dengan mata kepala lu sendiri. Gumam Andra kesal. 
Andra menggelengkan, tak habis pikir dengan kelakuan Dimas. Dia kembali membuka laptop. Matanya masih terfokus menatap layar di depan. Tangan yang satu digunakan untuk menelepon, sedangkan yang lain mengetikkan laporan. 
"Lu mau makan di mana emangnya?" 
Akhirnya kata itu yang terucap dari bibir. Andra menyerah, menuruti kemauan Reisa. Jika tidak, wanita itu bisa merajuk berhari-hari.
"Fried chicken aja, ya. Tempat makan biasa waktu kita kuliah dulu. Abis itu aku mau nonton ada film horor bagus deh. Itu penari-penari apa gitu namanya." 
Reisa panjanh lebar menjelaskan dan terus mendesak agar keinginannya segera dituruti. 
"Ya udah. ketemuan di sana. Kalau gue jemput lu, ntar kena macet. Tunggu satu jam lagi gue sudah nyampai di sana. Oke?" 
Deal. Akhirnya negosiasi selesai. Selalu, Reisa yang menjadi pemenangnya. Andra tak mau berdebat panjang, cukup ikuti saja maunya apa.
"Oke. Jangan lama ya, Ndra." 
Suara Reisa terdengar senang. Akhirnya, hari ini dia punya teman makan siang.
"Baik, nyonya!" 
Setelah menutup telepon, Andra kembali mengutak-atik pekerjaannya, mengecek dan mengirim email, juga memeriksa beberapa laporan. Setelah dirasanya cukup, dia segera berangkat menuju tempat makan, sesuai dengan yang telah dijanjikan.
* * *
"Ndraaaaaa ...." 
Reisa datang dan langsung memeluk tubuh menjulang di hadapannya. Sambil berjinjit dia mendekap Andra, sahabat yang sudah dia anggap sebagai kakaknya sendiri.
Andra membalasnya dengan enggan. Bukannya dia tidak suka, tapi tidak tahan. Tidak tahan ingin balas meluk terus, dan tidak mau melepaskan lagi. 
Tahan, Andra. 
Suara hatinya mengingatkan. Kalau Reisa sudah manja, dia malah jadi kepikiran yang tidak-tidak, yang sudah pasti jika itu dilakukan jadinya .... Ah, sudahlah.
"Kamu kenapa, sih? Gak suka ya ketemuan sama aku?" 
Reisa menarik lengan Andra dan berjalan menuju sofa di pojokan. Sejak dulu memang itu tempat favorit mereka. Kebetulan juga hari ini cukup lengang dan banyak kursi kosong. Biasanya memang penuh sesak. 
Restoran siap saji tempat mereka makan ini memang nomor satu di dunia. Jagonya ayam, begitu labelnya. Biasanya sih, anak-anak yang paling suka makan di sini. Namun, mereka juga suka sejak dulu saat masih mengenakan seragam putih abu-abu.
"Gue males kalau cuma dijadikan ban serep." 
Andra memilih duduk bersebelahan dengan Reisa, lalu meletakkan ponsel dan kunci mobil di meja. Sementara wanita itu malah duduk bersandar dengan nyaman. Tangannya bergerak membuka tas, mencari-cari di mana ponsel berada. 
"Jangan gitu, dong. Tega banget kamu biarin aku makan sendirian." 
Reisa merajuk dengan bibir yang ditekuk. Ekspresi wajahnya yang seperti itu, malah membuatnya nampak semakin menggemaskan. 
"Lu tunangan sama Dimas, tapi jalan sama gue. Makan sama gue mulu. Mending kalau kayak gitu, lu tunangan aja sama gue. Beres." 
Andra melipat tangan di dada. Wajahnya serius memperhatikan sosok cantik dihadapannya. 
"Ih, apaan sih." 
Reisa mencubit lengan Andra. Hal itu tidak membuat Andra merasa sakit, justeru malah geli dan ingin mencubit balik. 
"Kan dia lagi sibuk. Kerjaan dia banyak."
Andra membuang muka, pura-pura melihat ke samping. Dalam hati berkata, "Sibuk sama cewek lain dia. Lu ga dianggep, cuma dibawa kalau ada pesta atau pertemuan bisnis. Seperti boneka di dalam lemari kaca. Cuma jadi pajangan."
Ingin Andra meneriakkannya, hanya saja selalu tertahan. Dia tak tega jika sampai Reisa terluka. 
"Gue juga banyak kerjaan, tapi masih bisa nemenin lu makan atau jalan. Masa' dia sama sekali gak punya waktu buat lu?" Kata itulah yang akhirnya terucap di bibir Andra. 
"Kamu kok gitu? Gak suka banget kalau aku sama Dimas." Ada nada kecewa dari suara Reisa. 
"Emang gue gak setuju dari dulu kalau lu pacaran sama dia," kata Andra tegas. 
"Kamu gitu terus." Wanita itu kembali merajuk. Bibirnya ditekuk, tanda tak suka. 
Harapan Reisa sederhana saja sebenarnya. Dia ingin Andra menyukai Dimas. Ingin mereka akur, karena dia menyayangi keduanya.
Andra menelan ludah saat melihat itu. Hatinya berucap, "Rei, kapan gue bisa nyentuh bibir mungil lu. Udah bertahun-tahun gue nahan, masih sabar aja sampai sekarang."
"Ya udah, makan aja dulu dah kita. Napa jadi berantem gini," lanjut Reisa.
"Lu mau yang mana, original atau crispy?" tanya Andra.
"Dua-duanya. Paha atas, ya. Sama es krim terus french fries. Eh, burger-nya enak juga. Ya kan, Ndra?" ucap Reisa cepat. 
Sejak dulu Reisa tidak berubah, porsi makannya cukup banyak. Andra menggeleng melihat tingkahnya. Biarpun begitu, dia tetap menyayangi sahabatnya. Sayang sekali malah. 
"Ndra, Ndra. Kamu kenapa? Bengong aja dari tadi." Reisa mengipaskan tangan di depan wajah lelaki itu karena sejak tadi melamun saja.
"Enggak. Itu aja pesenan lu?" tanya Andra terbata.
"Iya. Kamu mau makan apa?" Reisa balik bertanya.
"Samain aja. Lu tunggu bentar gue pesenin dulu." Andra hendak berdiri saat sepasang tangan lembut menahan lengannya. 
"Kamu bayarin, ya?" 
Reisa tertawa geli, sementara Andra membalasnya dengan senyuman.
"Iya. Apa sih yang engga buat tuan puteri?" 
Andra balas menggenggam jemari Reisa, lalu dengan cepat melepaskannya dan berjalan menuju kasir. 
***
Pintu ruangan Andra terbuka. Sesosok lelaki gagah masuk dengan santainya tanpa permisi. 
"Lu tadi makan siang sama Reisa?" 
Andra berhenti mengerjakan laporan, lalu meletakkan mouse yang sedari tadi setia menemani. 
"Iya. Kenapa?" jawabnya singkat. 
"Lu suka ya sama tunangan gue?" 
Dengan pongahnya lelaki itu berdiri di depan meja kerja Andra. Kedua tangannya terselip di saku celana. 
"Kalau iya, kenapa?" balas Andra ketus. 
Andra malas berbasa-basi dengan orang ini. Dia melipat tangan di dada, ingin tahu apa maksud orang ini datang.
"Lu jangan ngimpi, Ndra. Dari dulu juga, Reisa sukanya sama gue. Bukan lu!" 
Sebuah jari telunjuk dihadiahkan ke wajah Andra, itu membuat suasana semakin panas. 
Andra mengepalkan tangan, mencoba menahan amarah. Selama ini dia cukup sabar, sepertinya sesekali harus diberi pelajaran juga. 
"Lu brengsek banget sih jadi laki. Reisa itu cewek baik-baik. Kenapa lu mainin perasaannya?" Mereka berdiri berhadap-hadapan, saling mengadu kekuatan.
"Siapa yang mainin dia, Ndra? Gue serius, kok," jawab Dimas tegas.
"Maksud lo apa? Tunangan sama Reisa, tapi di belakang dia, lu maen sama yang laen? Di hotel gue pula. Lu sengaja?" Suara Andra mulai meninggi.
"Itu kan cuma buat gue have fun. Kalau sama Reisa ya gue serius lah, mau nikahin dia." 
Ini yang Dimas cari. Saat emosi lawannya mulai terpancing.
"Gue ga rela sahabat gue tertular penyakit kelamin gara-gara lu." Kini, gantian jari Andra yang menunjuk. 
"Enak aja lu ngomong. Gue maen aman. Gak bakal nularin dia," ejek Dimas. 
"Sialan!'
"Lagian, Reisa kan gak bisa diajak seneng-seneng kayak mereka. Kalau cuma makan atau jalan sih itu pacaran anak abege. Gue butuhnya yang lain," kata Dimas enteng.
Tangan Andra terkepal. Sebuah tinju melayang ke wajah tampan Dimas. Di matanya terpancar sejuta amarah. Sejak dulu dia sudah memberi peringatan kepada lelaki untuk menjauhi sahabatnya. Namun, sepertinya keberuntungan berpihak kepada Dimas. Saat ini mereka malah sudah mengikat janji. Reisa yang memang sedari dulu menyukainya, teramat bahagia saat pertunangan itu terjadi. 
Andra sendiri hanya bisa menyimpan luka dalam hati. Sakit, pedih, karena sejak mereka bersama, otomatis dia juga harus dekat dengan si player ini.
"Lu boleh ngomong macem-macem ke Reisa apa pun tentang gue. Dia gak bakal percaya. Terima aja cinta lu bertepuk sebelah tangan," ejek Dimas.
Andra menarik kerah baju Dimas. Tinggi mereka berimbang. Hanya saja tubuh Andra lebih berotot dan berkulit gelap. Dimas sedikit lebih halus, putih dan bersih. Jika saja dtanya, siapa yang lebih tampan? Tentu saja Dimas dengan tampang baik-baiknya.
"Lu lelaki pengecut, Ndra! Sama perasaan sendiri saja takut. Badan aja lu gedein. Nyali ciut," ejek Dimas lagi.
Brak! 
Dimas terjatuh akibat dorongan yang sangat kuat. Napas Andra tersengal-sengal karena emosi yang memuncak. 
"Gue sayang sama Reisa. Gue ada buat melindungi dia, bukan ngerusak. Lu emang gak pantas bersanding dengan wanita sempurna dia."
"Memangnya lu bisa apa?" Dimas berdiri tegak dan kembali menantang.
"Gue bisa ngelakuin apa pun, yang bisa bikin lu batal nikah sama dia!" Andra mengancam.
"Lu mau apa? Nidurin dia?" 
Dimas tertawa sinis. 
"Lu, jaga omongan!"
"Gue tahu Ndra, lu beda tiap ngeliat dia. Pura-pura aja jadi sahabat. Padahal lu ngiler. Iya, kan?"
"Keluar lu dari ruangan gue. KELUAR!" Suara Andra menggelegar.
Dimas tertawa mengejek. Dengan santai laki-laki itu berjalan ke pintu sembari mengusap wajahnya yang lebam akibat bekas pukulan Andra tadi.
"Nama lu udah gue black list dari hotel ini. Lu, kalau mau mesum jangan pernah di sini. Gue masih baik gak ngeloporin sama Reisa."
Dimas berbalik sambil memegang gagang pintu. 
"Kita lihat aja nanti," ucap Dimas sembari membanting pintu.
Prang! 
Andra melempar gelas di mejanya.

Book Comment (71)

  • avatar
    Mapafi des Laia

    saya suka dengan ceritanya

    03/03/2023

      0
  • avatar
    Gem Bocil

    sangat berkualitaa

    05/02/2023

      0
  • avatar
    Jasmine

    jos

    04/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters