logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

4, Hari Baru di Kehidupan yang Baru

TING
Denting notifikasi terdengar dari ponsel Nayara. Melirik sekilas, pop up message terbaca dari abangnya.
Satria Jayantaka : Di mana lu?
Bersemangat, Nayara langsung mengabarkan keberhasilannya hari ini.
Ph Nay : Gue sudah dapat kos, Bang. Lu tenang aja.
Satria Jayantaka : Lu serius mau kabur?
Ph Nay : Mati aja lu, Bang sama bapak lu.
Satria Jayantaka : :D
Kesal, Nayara membanting asal ponselnya yang ternyata jatuh ke lantai. Ketika ingat bagaimana kondisi keuangannya sekarang, dia langsung memeriksa kondisi ponsel. Untung saja dia tidak memakai ranjang. Ponselnya masih bisa diselamatkan. Tidak ada hal buruk yang terjadi, hanya bunyi dug yang tadi membuatnya segera siuman dari kealpaannya.
Fyuhhh...
Gia terkekeh melihat kelakuan teman sekamarnya yang baru. Lalu mereka melanjutkan cerita mereka yang terputus. Ini hanya cara mereka mendekatkan diri saja. Hari itu, Nayara menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya oleh Gia. Dia menuruti semua perintah temannya, dia mengangguk mengerti untuk semua aturannya. Dia juga mengekor ke mana Gia pergi termasuk membeli makan malam di warteg terdekat. Nayara antusias memilih menu malam itu. Tapi melihat Gia hanya memilih satu menu, dia akhirnya mengurangi menunya. Dia sadar, dananya sekarang sangat terbatas. Sekarang, semua pengeluaran harus dihitung cermat. Tidak ada yang boleh terbuang percuma. Bahkan makanan pun tidak boleh ada yang tersisa dan terbuang. Dia sangat takjub dengan harga makanan di sana. Tidak menyangka uang sebesar itu bisa membuat perut kenyang.
"Nay, kalau kita berdua gini, kayanya mending kita masak nasi kali ya?" ujar Gia ketika mereka makan malam di kamar kos.
"Hah?" Nayara menghentikan suapannya. "Gue nggak bisa masak." Dia tidak bisa menyembunyikan kekalutannya. Memasak adalah titik kritis yang susah dia lewati.
"Masak nasi aja, lauk tetap beli. Kan pakai rice cooker. Gue punya rice cooker kok. Tinggal cuci beras, colok, beres. Selama lu nggak lupa jetrekin, aman kita."
"Oohh..." Sepertinya aku bisa belajar cepat jika yang disebut memasak hanya seperti itu, pikirnya dalam hati. "Terserah lu aja. Gue ikut. Nanti ajarin aja cara masaknya."
"Kita bisa ceplok telur aja kalau sudah ada nasi. Goreng tempe juga gampang. Kalau mau pakai sayur, bikin sayur bening aja. Pokoknya yang simpel-sinpel aja. Gampang banget. Kan ada dapur. Alat masak lengkap kok."
"Lu ajarin gue aja. Gue ikut. Sumpah, gue nggak ngerti apa-apa."
Gia terkekeh.
"Kita bikin uang kas ya. Buat beli beras, beli telur, beli sayur. Kalau beli buat keperluan kamar kita pakai uang itu. Termasuk buat belanja makanan yang kita makan berdua. Bayar berapa aja. Asal nominalnya sama biar nggak ribet ngitungnya. Kalau habis baru isi lagi."
"Siap. Atur aja." Matanya berbinar, sepertinya hidupnya akan lebih berwarna.
Ini malam pertamanya di kamar kos. Tanpa AC, hanya blower dan kipas angin yang ada. Panas. Jika ingat pilihannya, di kamar nyaman pun dia sulit tidur, apalagi di kamar seperti ini. Semalam pun di kamar hotel dia tidak tidur. Menjelang pagi baru dia bisa tidur. Untung saja dia terbangun sebelum waktu check out. Jika tidak, dia harus membayar kamar untuk dua hari. Sesuatu yang dulu tidak dia hitung mendadak dia hitung baik-baik.
Dalam gelap, dia memperhatikan siluet Gia yang tidur nyenyak lengkap dengan dengkur halusnya. Tidur dengan celana pendek dan kaus tanpa lengan dan tanpa selimut. Kakinya terbuka lebar.
Ah, Nayara ingin tidur seperti itu. Segera dia mencari outfit seperti Gia. Lalu mengganti piyama sutra dengan kaus Balmain dan training pack pendek Puma. Lalu mulai menghibur diri.
Ini hanya belum terbiasa saja. Nanti aku pun bisa selelap Gia.
Dia terus mengulang-ulang kalimat itu sampai akhirnya dia bisa menyusul Gia memeluk nyenyak tanpa mimpi apa pun.
***
Nayara menggeliat ketika suara-suara pagi semakin riuh. Benar-benar suara pagi yang penuh keriuhan manusia. Suara yang baru buat Nayara. Di rumahnya tidak ada keriuhan pagi seperti ini. Jika ada suara, berarti tak lama kemudiaan akan disusul suara teriakan, makian, benda pecah berkelontangan lalu dilanjut dengan suara-suara neraka lain. Tak pernah ada suara terbahak lepas di sana. Mengingat di mana dia sekarang, geliatnya semakin bertenaga. Hari baru di kehidupan yang baru telah datang. Meski dia tahu hidupnya akan berat, tapi seulas senyum tetap hadir di wajahnya yang manis.
Matahari menyapa kamar dari lubang angin. Masih sangat jauh di cakrawala. Tak ada yang mengenai tubuhnya yang berada persis di bawah jendela. Gia ikut menggeliat ketika wajahnya terkena cahaya.
"Morning, Girl," sapa Nayara.
"Morning, Room mate," Gia tersenyum ramah sambil terus menggeliat dan mengucek mata. "Gimana rasanya ngekos?"
"I think I'm gonna get used to it. ASAP."
"Senalam lu tidur kan?"
"Like a baby trough the night."
"Oke. Itu tandanya lu bakal bisa ngekos."
Kembali mereka terbahak bersama.
Acara mereka hari ini nyaris sama. Gia yang mengambil kelas karyawan karena harus bekerja office hour. Sementara Nayara, sambil menunggu jadwal kuliah sore, dia memutuskan ke kantor Papyrus untuk meminta pekerjaan lebih banyak demi mengejar rupiah yang lebih banyak. Lalu sebagai sesama pemburu rupiah Gia mengajak Nayara mencuci baju bersama. Tanpa diberitahu, Gia tahu bahwa Nayara nol besar di banyak urusan domestik. Nayara berpikir dia cukup meniru cara Gia. Pikiran itu membuat Nayara santai saja menerima ajakan Gia.
Gia hanya bersiul melihat outfit yang Nayara jadikan baju tidur.
Dan terbukti, Nayara benar-benar tidak bisa mencuci baju. Tapi dia cepat belajar. Walau masih sangat kaku, akhirnya dia bisa menyelesaikan mencuci dua pasang baju kotor. Walau wajahnya basah keringat dan tubuhnya basah air. Dia tetap ceria memeras cucian. Ketika akan menjemur Gia berkata:
"Nay, lu jagain deh baik-baik jemuran lu."
"Kenapa?"
"Kalau maling kenal merk, baju lu bakal diambilin."
"Hah?"
"Jemur dekat dinding sini aja. Nggak terlalu kena matahari sih. Tapi masih ketutup cucian gue." Gia menunjuk tali jemuran yang dia maksud. "Sini gue bantuin peras. Kalau nggak bagus keringnya baju lu bakal apek." Gia mengajari cara memeras dengan bantuan tali jemuran. Sampirkan pakaian, lalu putar terus hingga maksimal. Tapi teknik ini hanya bisa untuk tali jemuran yang kuat. Batang besi satu inchi kalau perlu.
"Tapi nggak semua bahan bisa lu giniin ya, Nay."
"Kenapa?"
"Sayang baju lu. Cepat rusak kalau terlalu diplintir. Yang tebal-tebal aja lu giniin. Macam jeans boleh lah. Sprei besar dan berat, masih oke lah. Handuk juga bisa. Kaus mah jangan. Lagian kalau tipis kan lu kuat peras pakai tangan."
Nayara mengangguk dengan mata berbinar. Merasa terberkati mendapat teman sekamar seperti Gia. Sampai detik ini Gia tidak bertanya kenapa dia kabur dari rumah. Tapi Nayara memastikan dia akan ceritakan semuanya pada Gia. Masih banyak waktu untuk itu. Saat ini, biarlah Gia membantunya beradaptasi dengan gaya hidup yang baru.
Sungguh, turun life style itu tidak menyenangkan. Nayara tahu itu. Tapi merasakannya langsung sungguh berat. Dan dia pun tahu, ini belum apa-apa.
Everything will be okay, Nay.
***
Bersambung

Book Comment (166)

  • avatar
    Yudi Prasetyo

    baguss

    10d

      0
  • avatar
    Pipit Fitriyanih

    meleleh selalu dengan kisah anaknya mba Sa..ini. percaya gak kalo aku sampe unduh semua jenis novel onlina buat baca kisah anak² mba Sa.. baru tau ada novelah setelah ngubek² watty. gak nyesel akhirnya bisa beres baca kisah manggala&nayara. semangat nulisnya mba Sa... ditunggu kisah ian&the geng yg lain... wkwkwk sorry mba aku beneran ngefans sama aurora&aa pada akhirnyaaa #pelukmbaSa

    20d

      0
  • avatar
    LuthfiLuthfi

    keren lah karangan nya 😂

    26d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters