logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 14 Bentakan Pertama

“Aku belum pernah melihat seorang programmer begitu cepat menemukan masalah dan menyelesaikan coding.” Suara Trojan yang entah sejak kapan berdiri di belakang Sobig. Bukan hanya Trojan saja tetapi Mac juga ada di sana. Mereka dengan mata memelotot dan belum percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kamu benar-benar hebat, Emma.” Puji Trojan lagi.
Emma hanya menyeringai dan langsung bangkit berdiri dari kursi Sobig. “Mohon bimbingannya untuk kerja selanjutnya,” pinta Emma pada ketiga lelaki yang menatap kagum padanya.
“Aku akan membantu kamu,” ucap Mac.
“Aku juga.” Trojan juga tidak mau kalah. Mereka berebut untuk menolong Emma. Sangat langka menemukan wanita cantik dan jenius seperti Emma.
“Apakah diperbolehkan?” tanya Emma lagi. Sebelumnya sudah diberitahuka oleh Ryan bahwa Emma-lah yang harus menyelesaikan semua pekerjaan hari ini.
“Aku akan meretas cctv di ruangan kita ini.” Trojan berinisiatif agar pertolongan mereka tidak ketahuan. Mac mengangguk setuju. “Komputer di sana biarkan aku saja yang memperbaikinya,” lanjut Trojan.
“Aku yang akan menginstalnya,” tukas Mac. Ruby dan Page yang sejak tadi berdiam diri kini datang bergabung. Sedangkan Linux sudah dengan earphone besar dan mendengung sebuah lagu milik Michael Bolton.
“Aku tidak ingin ikut campur.” Sobig yang sejak tadi mendengar rekan-rekan kerjanya berinisiatif membantu Emma tidak ingin terlibat. Ia tidak mau melawan perintah CEO baru yang belum pernah bertatap muka dengan mereka.
“Bukankah Emma sudah menolongmu?” tanya Trojan.
Sobig hanya terdiam dan enggan menjawab pertanyaan Trojan. Tangannya langsung memegang mouse dan mematikan komputer di hadapannya. “Lain kesempatan aku akan membalas pertolonganmu hari ini,” ucap Sobig lalu bangkit berdiri menuju pantry.
Trojan dan Mac hanya menggelengkan kepala. Selain introvert, setiap kalimat yang keluar dari mulut Sobig selain pedas juga ambigu bagi telinga yang mendengarnya.
“Aku dan Page akan menolong secara diam-diam. Kamu tenang saja, Emma.” Ruby dengan senyum khasnya. Page di sampingnya juga mengiyakan ucapan Ruby.
“Aku tidak ingin membuat kalian terlibat dalam punishment yang aku terima. Aku akan berusaha dahulu sampai batas kemampuan yang aku miliki.” Emma yang memiliki prinsip tidak ingin membuat orang lain terlibat dalam masalahnya merasa berat menerima kebaikan dari rekan-rekan kerjanya.
Drt..drt…
Ponsel Json berdering sebelum mulutnya menimpali perkataan Emma. Jari telunjuknya langsung menginstrusikan pada yang lainnya agar jangan bersuara. Semua langsung menutup mulutnya masing-masing dan menahan napas.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Json setelah menekan tombol hijau di layar ponselnya.
“Baik, Pak.” Json dengan sikap sopan dan nada lembut. Ia menunggu sampai sambungan telepon tersebut ditutup oleh penelepon. Semua mata menatap penuh tanya ke arah manajer tim IT ini.
“Emma di panggil ke ruangan CEO. Ada masalah pada komputer beliau,” ucap Json.
Emma terkejut dengan ucapan Json. Di hari pertamanya bekerja, ia harus memasuki ruangan sakral itu. sangat jarang pegawai yang masuk ke sana. Selain Ryan dan orang terdekat CEO, tidak ada lagi yang bisa masuk ke sana.
“Selamat Emma. Kamu adalah orang pertama di tim IT yang akan melihat langsung wajah CEO baru kita.” Mac dengan kedua jempol mengarah pada Emma.
Emma terlihat gelisah. Ia sangat tidak percaya diri ketika bertemu dengan orang yang memberi hukuman padanya. Namun dalam hatinya Emma berusaha optimis dan membuktikan bahwa ia layak berada di Alves Corp. Setelah menarik napas panjang dan mengehmbuskannya perlahan, Emma berusaha tersenyum dan mengembalikan rasa percaya dirinya.
“Dimanakah ruangan CEO?” tanya Emma.
“Tepat di atas ruangan kita ini, Emma,” jawab Trojan.
Emma pun beranjak pergi menuju ke lift. Semua mata yang memandang punggung wanita jelita itu menaruh harapan penuh agar dapat menyelesaikan masalah komputer sang CEO.
Jantung Emma berdetak tak karuan. Bukan karena kelebihan kafein atau pun jatuh cinta tapi karena rasa gugup yang memenuhi tubuhnya. Tumpuan pada kakinya seakan lemah. Tangan kanannya langsung memegang dinding lift. Dalam hatinya terus menguatkan diri agar dapat berdiri teguh menghadap CEO.
“Kamu bisa Emma. Dia juga makan nasi, menghirup oksigen dan juga dapat mati.” Emma bergumam dan terus meyakinkan diri.
Ting!
Seiring pintu lift terbuka, Emma masih berat untuk melangkah keluar dari lift tersebut. Ia menutup matanya dan kembali menarik napas dan dihembuskannya pelan. Ia meremas kedua jemarinya dan dengan sisa rasa percaya dirinya keluar dari lift tersebut.
Aroma gardenia langsung menyambut kedatangan Emma. Di sudut ruangan terdapat tanaman gardenia yang mekar dengan indahnya. Emma berjalan menuju pintu masuk dengan tulisan CEO di atasnya.
“Emma…” Emma langsung berbalik menuju sumber suara. Baru di sadarinya jika ada sebuah meja kerja di sana. Ryan yang sedang memeriksa beberapa berkas langsung meletakkan berkas di meja. “Silahkan masuk.” Ryan langsung bangkit berdiri dan membukakan pintu untuk Emma.
Emma langsung melangkah masuk. Dalam hatinya berharap agar situasi ini cepat berlalu. Emma enggan mengangkat wajahnya dan tetap menunduk mengikuti langkah kaki Ryan. Ia berhenti tepat di belakang Ryan.
“Petugas IT sudah datang, Pak.” Ryan bergeser ke kiri karena Emma berdiri tepat dibelakangnya. Emma dengan ragu-ragu mengangkat wajahnya. Baru di sadarinya jika ruangan itu sangatlah mewah. Ruangan yang di dominasi dengan nuansa monokrom dan beberapa lukisan terkenal di dindingnya. Mata Emma mulai menyelidik setiap sudut ruangan. Jendela kaca setinggi sepuluh meter dengan gorden berwarna navy terikat rapih di sampingnya. Yang lebih mengejutkan adalah pemandangan yang terlihat di balik kaca. Pemandangan seluruh isi kota dan hamparan laut lepas. Gedung Alves Corp merupakan gedung tertinggi di kota ini. Untuk sejenak, Emma melupakan kecemasannya.
“Ehem…” Suara dehemen yang tidak asing. Mata Emma yang sebelumnya tertuju pada pemandangan di luar jendela langsung beralih menuju sumber suara. Sebuah kursi eksekutif dengan punggung tinggi dan bantal yang luas membelakangi Emma dan Ryan. Sedangkan sang penghuni singgasana hanya tampak punggung dan kepalanya saja.
“Silahkan periksa komputernya, Emma.” Perintah Ryan dan langsung pamit pada atasan dan berjalan keluar dari ruangan.
Emma masih berdiri di tempat dan enggan menuju ke komputer yang terletak di samping kursi dimana CEO duduk. Suasana sangat canggung dan sunyi. Untuk meredakan kegugupan yang menjadi-jadi di hati, Emma melihat sebuah  bunga hortensia di meja kerja CEO yang sudah berbunga. Entah bagaimana metode perawatan bunga tersebut sehingga begitu cantik dan imut.
“Apakah dengan melihat komputer ini bisa kembali normal?” Bariton berat dan dingin dari balik kursi menyadarkan Emma. Karena terburu-buru melangkah Emma hampir terjatuh karena ujung kakinya menyentuh ujung meja. Mendengar hentakan kaki Emma membuat kursi itu seketika bergerak dan menuju ke arah Emma yang sudah salah tingkah dan membenarkan kemejanya.
“Ma-maaf, Pak,” ucap Emma dan enggan menatap wajah sang CEO. Udara yang sebelumnya terasa dingin kini seakan membara di telinga Emma. AC di ruangan tersebut seakan tidak berfungsi.
“Kapan kamu akan mulai memperbaikinya?” Dahi Emma berkerut. Suara itu sepertinya tidak asing. Emma ingin melihat wajah pemilik suara tersebut namun diurungkannya. Emma hendak melangkah dan...
“Kamu bisa kerja tidak!?” Suara bentakan mengagetkan Emma dan sontak netra keduanya beradu.
“Kamu?”

Book Comment (469)

  • avatar
    Liaaaa

    aaaa cinta banget sama cerita ini, setelah menunggu lama dan pemasaran akhirnya bab 150 adalah akhir dari cerita, thanks you thorr telah memberikan cerita terbaik, selalu semangat thorr❤️

    01/04/2022

      1
  • avatar
    Arif Karisma

    Cerita ny sungguh menarik dan menghibur saya suka sekali dengan alur ceritanya

    27/03/2022

      0
  • avatar
    Umayyachan

    suka suka suka, pdhl baru baca setengahnya tpi kuudah jth cinta dari bab 1❤ semangat updte sesering mungkin ya thor 💪

    29/12/2021

      1
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters