logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Bertemu Kembali

“Oh, Mbak Lina? Saya kira room service. Mari masuk,” Mata almond itu melirik pada Kirara. “Em ... dan, ini?”
“Ini atasan saya, Mbak,” balas cepat Lina.
“Oh, yang tadi Mbak Lina ceritakan itu ... salam kenal, saya Azalea.” Tangan Azalea yang terulur pun segera disambut hangat Kirara.
Bukan Maya, tapi Azalea? Kakaknya? Pikir cepat Kirara. Hatinya kembali cemas, lalu di mana yang bernama Maya?
“Saya Kirara, owner Freya WO,” balas Kirara, dia pun segera menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan pelan. Dirinya harus segera mengenyahkan pemikiran bodohnya itu.
“Sadarlah dan jangan melakukan kesalahan!” lanjut Kirara dalam hati. Sejak kapan dirinya memikirkan hal lain saat sedang bekerja?
“Kenapa nggak nanti aja, Vin? Sekarang tuh penting, kita sedang mempersiapkan pernikahan kita.”
Tiga wanita di ambang pintu bergeming menatap ke arah yang sama, sejauh lima langkah dari tempat mereka berdiri, seorang wanita bersurai panjang terlihat jelas sedang merajuk pada kekasihnya.
“Maya, maaf ... ini juga penting, aku janji akan kembali satu jam lagi.”
“Pilih sebentar lalu pergi, oke?”
Kirara menahan napas. Satu tangan yang memegang tali tas bahunya itu mengerat. Rasanya ingin pergi dari sana sekarang juga.
“Apa mereka nggak sadar kalau di sini ada tamu?” dumal kesal Kirara dalam hati.
“Ehem!” Azalea berdeham, memisahkan Maya yang bergelayut manja di tangan Alvino. “Kalian ini, sampai kapan mau seperti itu di depan kami, hm?”
Maya melebarkan senyum, pipinya merona malu. Sepertinya Maya dan Alvino benar-benar tidak sadar kalau mereka sedang kedatangan tamu.
“Loh, Rara?” bingung Alvino, memandang terkejut pada temannya. Kenapa Kirara bisa ada di sini? Begitu pikirnya.
Maya juga sama terkejut seperti Alvino dan lagi-lagi, dia menangkap gerak-gerik tidak nyaman dari mereka berdua. Sejak kemarin dirinya terus memikirkan tentang Kirara. Bertanya pada Alvino pun percuma, tunangannya tidak mau memberitahu. Hanya berkata kalau mereka pernah menjadi partner kerja saja.
“Em, kalian, saling kenal?” tanya Azalea dengan telunjuk mengarah bergantian pada Alvino dan Kirara.
Lina melirik atasannya juga pada calon kliennya. Situasi tidak terduga. Jika mereka berteman, bukankah calon klien akan benar-benar jadi klien baru mereka?
Maya mendekat dan berbicara pelan pada Azalea. “Dia teman Vino, Kak."
“Ra, kamu kerja di Freya WO?” tanya Alvino. Kakinya melangkah maju mendekati temannya itu.
Kirara tidak menjawab pertanyaan Alvino, dia malah melihat jam tangannya.
“Maaf, sepertinya saya harus pergi sekarang. Saya datang ke sini untuk meminta maaf atas ketidaksiapan kami. Mohon maafkan kami dan semoga kalian cocok dengan Freya WO.” Kirara kembali mengedarkan pandangannya, menatap sekilas dua kakak beradik di sana.. “Saya permisi,” lanjut Kirara, sambil sedikit membungkukan tubuhnya sebagai kesopanan dan permintaan maaf.
Dengan langkah berat, Kirara pun menjauh dari sana. Mengabaikan panggilan berbisik dari Lina dan ekspresi tidak mengerti dari Azalea dan Maya. Jujur saja, sampai saat Azalea berdeham, Kirara sudah tidak lagi memandang Alvino.
“Kenapa hal yang nggak aku inginkan malah muncul di depan mata? Ini menyebalkan,” batin Kirara, pegangan pada tali tas bahunya kian mengerat.
Dalam hati berharap agar mereka tidak mengambil jasa WO Freya. Sungguh, Kirara ingin menghilang sekarang juga. Jika saja Cherry masih bayi, mungkin setelah pertemuan mereka, dia dan Cherry sudah menjauh dari kota ini.
Kirara menekan tombol lift. Berdiri menunggu dengan hati menggerutu. Tidak lama, terdengar denting sebuah pesan masuk ke ponselnya. Tanpa menunggu, Kirara merogoh tas bahunya.
"Ra!"
Kirara menoleh sekilas, di sana Alvino berjalan setengah berlari mendekati dirinya. Dia sudah menduga kalau Alvino akan mengikuti dirinya.
Abai. Kirara kembali melanjutkan tujuan untuk memeriksa gadgetnya. Sebuah pesan masuk dari Kalea pun terbaca.
[Bobby bilang, Vino ada di hotel Cassa. Hati-hati, jangan sampai kamu berada di sekitar hotel itu.]
Meringis pelan, Kirara sedikit menekan layar ponselnya. Sudah terlambat, bukan?
Mau membalas kembali pesan itu, tetapi Kirara urungkan sebab Alvino sudah berdiri di sampingnya bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.
"Bareng, ya?" basa-basi Alvino.
Kirara memutar bola mata kemudian menaruh kembali ponselnya sambil melangkah masuk ke dalam lift. Semoga di lantai berikutnya, ada orang lain yang ingin menaiki lift.
“Basement?” tanya Alvino menanyakan lantai tujuan Kirara. Wanita itu pun mengangguk membenarkan.
"Ponsel kamu sudah selesai di perbaiki, Ra?" Lagi Alvino bertanya usai menekan tombol lantai tujuan mereka.
Sial! Kirara lupa dengan alasan Davin yang bilang kalau ponselnya sedang rusak.
"Belum, ini ponsel Davin," balas Kirara. Ide itu muncul seketika. Jika bilang ini ponsel kekasihnya, mungkin Alvino akan sungkan meminta nomornya.
"Ponsel suamimu?"
Kirara yang sedang bersedekap dada sedikit terkejut dengan panggilan suami itu. Namun, dia enggan untuk membenarkannya. Sejak kemarin dia memang berharap Alvino berpikir kalau Davin adalah suaminya.
"Ah, apa nomornya yang kemarin itu? Kalau tahu ponselnya sedang ada sama kamu, aku pasti sudah--"
Kirara berdecak pelan. "Bukan, ini bukan nomor yang kemarin," singkatnya. Hatinya cemas menunggu kapan pintu lift ini akan terbuka, dia juga berharap akan ada orang lain yang menaiki lift atau ... ada panggilan masuk yang akan membuatnya sibuk mengobrol dengan ponsel.
Panggilan masuk? Kenapa tidak dia ciptakan saja? Tapi itu tidak mungkin ‘kan? Dia sedang berada di dalam lift! Tidak akan ada sinyal di sini! Dasar bodoh! Percuma saja dia membeo panjang di kepala.
Alvino memandang diam Kirara dari samping. Wanita dengan rambut yang tergelung anggun, pakaian feminim ... benar-benar masih tidak bisa dia percaya. Sejak kapan wanita ini merubah penampilannya sampai seperti ini?
Dulu, Kirara adalah wanita tomboy yang penuh semangat. Hobi akan fotografi begitu kental menyatu dalam dirinya. Apa pun yang menarik hati, wanita ini akan segera mengabadikannya.
Sampai kejadiaan di mana ketika dirinya mengutarakan cinta dan ingin hidup bersama dalam pernikahan ... wanita ini pergi tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
“Ehem!”
Kirara sengaja berdeham, sejak tadi dia melirik mengintip Alvino dari pantulan pintu lift. Pria itu benar-benar enggan melepaskan mata dari dirinya, membuat dia gugup dan tidak nyaman.
Alvino mengerjap. Suara dehaman yang menggema, membuat lamunannya buyar. Detik berikutnya, sepercik rasa senang pun hadir kala Kirara menolehkan wajah kepadanya.
“Kamu, kenapa nggak milih dulu?” basa-basi Kirara. Lebih baik berbicara apa saja daripada diam seperti ini, tetapi jangan sampai membahas tentang masa lalu.
Alvino menaikkan samar ujung alisnya. “Milih apa?”
Kirara kembali memandang ke depan sambil mengusap leher. “Lina bilang, kamu suka style outdoor? Kebetulan kami baru mengadakan style rustic, seperti--”
“Ra, selama ini kamu pergi ke mana? Kamu tahu, selama ini aku mencarimu,” potong Alvino, membuat Kirara membisu.
“Kapan pernikahan kamu--”
“Apa membahas pernikahanku begitu penting sekarang, hm?” Sela Alvino dengan suara penuh penekanan, wajahnya mengeras.
Kenapa Kirara terus menerus membahas tentang pernikahannya? Bukankah ada yang lebih penting untuk mereka bahas?
“Bukankah itu sudah jelas?” Kini, Kirara sudah menatap tegas Alvino. “Memang ada hal lain yang harus kita bahas selain pernikahanmu? Sebagai teman, aku hanya mau mendukungmu dan memberi restuku.”
Alvino mendengus dengan senyuman sinis. “Banyak yang lebih penting untuk kita bicarakan daripada pernikahanku, Ra!” Pria itu mendekat, membuat Kirara memundurkan diri. “Kenapa kamu pergi setelah aku mengatakan ingin menikahimu? Kalau ingin menolakku, katakan! Jangan pergi dan membuat aku--”
“Jangan salah paham!” potong tegas Kirara seraya membuang muka. Mengintip tubuhnya yang sudah mengenai dinding lift.
“Salah paham?” Alvino menatap tajam sambil mencengkeram pangkal lengan Kirara. Irisnya bergerak seolah ingin meneliti jelas wajah wanita yang begitu sulit dia lihat, wajah yang sampai detik ini masih begitu dia rindukan.
“Maksudmu, kamu pergi dan menghilang itu--”
“Lepasin aku, Vin! Kamu nggak pantas begini, aku ini istri orang! Kalau ada orang yang aku kenal melihat posisi kita--”
Kelopak mata Alvino menyipit. “Sekarang kamu beralasan seperti itu? Setiap kali aku membahas masa lalu, kamu selalu mengalihkan pembicaraan dan kamu masih berani bilang, jangan salah paham?!”
Ting! Pintu lift pun terbuka, mereka sudah sampai di lantai tujuan.
Kirara pun langsung menyentak tangan Alvino. “Masa lalu memang nggak akan bisa kita bicarakan lagi. Sekarang aku sudah memiliki suami dan aku harap kamu bisa menjaga sikapmu, Alvino!” tegasnya, kemudian pergi dari sana.
Alvino bergeming memandang punggung kecil Kirara yang kian menjauh. Tidak lama tangannya terulur cepat menghentikan pintu lift yang ingin menutup.
Apa begitu sulit untuk memberitahukan alasannya?
"Damn!" Alvino pun segera keluar dari ruang lift dan berlari mengejar Kirara yang ingin membuka pintu mobil.
"Kita bicara, Ra!" seru Alvino seraya menyambar pergelangan tangan Kirara.
“Kamu mau apa sih?!” seru Kirara, meronta berusaha melepaskan cekalan Alvino dari tangannya.
Dia terkejut dan tidak menyangka kalau Alvino akan mengejarnya. Temannya ini sudah tidak waras!
“Vino, lepasin, nggak! Kamu dengar nggak sih?! Mau aku teriak, hah?!” ancam Kirara, sesekali kakinya menahan untuk menghentikan Alvino, tetapi sia-sia. Tenaganya kalah dengan pria itu.
“Kita harus bicara, Ra!” tuntut Alvino masih terus menyeret Kirara.
“Bicara? Apa seperti ini cara orang yang mau mengajak bicara?” timpal Kirara sinis, sambil memperhatikan sudah sejauh mana Alvino menyeret dirinya.
“Kalau aku nggak melakukan ini, kamu akan terus menghindariku. Kamu pikir aku akan melepaskan kamu setelah bertahun-tahun mencarimu seperti orang gila?!”
“Kamu memang gila!”
"Apa?"
Mereka pun berhenti tepat di samping mobil putih. “Masuk,” titah Alvino.
Dia tahu bahwa ini salah, tetapi tetap harus dia lakukan. Firasatnya mengatakan, tidak akan ada lagi kesempatan lain untuk berbicara dengan Kirara kalau tidak sekarang.
Kirara menoleh, memandang mobil jeep di sampingnya. “Aku bawa mobil sendiri.”
Alvino menghela, genggaman tangannya dia lepaskan. Rasanya tidak tahu lagi harus bagaimana. Kirara selalu menolak bahkan tidak memberikan dirinya kesempatan untuk bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi sampai membuat wanita itu pergi darinya.
“Rara ... please bicara serius denganku, satu jam-nggak, setengah jam saja.”
Perlahan Alvino menyandarkan keningnya ke bahu Kirara, membuat wanita itu tersentak kaget. “Aku cuma mau tahu, kenapa kamu ninggalin aku tanpa mengatakan apa pun?” lanjut pria itu memelas.
Alvino memejam rindu sambil menunggu kebisuan Kirara. Diam-diam menikmati aroma lavender yang menguar dari tubuh Kirara. Satu-satunya wangi harum yang tidak pernah berubah.
“Kamu tahu, sejak kamu menghilang. Nggak ada satu hari pun aku berhenti memikirkan kamu. Bahkan dalam mimpi pun, kamu nggak mau bertemu denganku. Ra ... kamu benar-benar berhasil menyiksaku.”

Book Comment (328)

  • avatar
    GustiRaden

    terbaik

    2d

      0
  • avatar
    312Nurisah

    seruuu

    29d

      0
  • avatar
    KurniadiAbsallom

    terbaik

    18/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters