logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Hari H

Tiga jam berikutnya Ayu melalui banyak hal. Untung saja Roy mengirim sopir untuk mengantarnya ke Plaza. Dia dan ibunya yang antusias naik di belakang BMW hitam. Ocehan tak henti-hentinya keluar dari mulut ibu dan berkata terus-menerus bahwa semuanya akan berjalan sempurna.
Karena saat dia melangkah ke dalam ruang ganti satu jam sebelum pernikahan, dia menanggalkan gaunnya yang dibungkus dengan jubah sutra. Rambut hitamnya dibuat bergelombang sempurna oleh seorang wanita yang ceria dan gemuk. Wajahnya tidak terlalu membutuhkan banyak sentuhan karena secara alami bersinar, terlepas dari apa yang dia rasakan saat ini. Gaun itu merupakan prioritas terakhir dan itu adalah tugas yang lebih sulit. Kerudungnya jauh lebih menantang karena praktis menutupi lantai di belakangnya tetapi tidak nyaman digunakan untuk bergerak.
Ayu sempat beristirahat lima menit sebelum berjalan di pelaminan. Ibunya telah hilang dan dia tidak terlalu peduli. Dia sudah tidak tahan lagi dengan obrolannya yang tidak berguna. Pun masih belum pulih dari hadiah yang dia terima pagi ini.
Seseorang mengetuk pintu lalu wanita cantik berambut cokelat melongokkan kepalanya ke dalam. "Bolehkah saya masuk?" Ran bertanya.
"Ya, tentu saja," kata Ayu yang mulai berdiri.
"Oh, tidak, jangan berdiri. Saya tahu kamu lelah," calon iparnya melambaikan tangannya. Dia mengenakan gaun emas cantik yang berhenti tepat di bawah lututnya dan dipasangkan dengan sandal hak emas. Rambut cokelat lurus tergerai indah di belakang punggungnya. Dia memegang buket bunga tulip di satu tangan dan menyerahkannya kepada Ayu. "Ini milikmu." Ayu pun tersenyum canggung. "Namaamu, Ayu, kan?"
"Ayu. Kamu bisa memanggilku Ayu atau Yu, terserah kamu nyaman yang mana," jawabnya.
"Dengar, Ayu." Senyum Ran berubah hangat, "Maaf tentang makan malam terakhir. Yeyen di luar batas. Seharusnya saya tidak membiarkan dia membujuk saya untuk membawanya."
"Tidak apa-apa. Saya terkejut, tapi bisa mengatasinya lebih cepat dari kebanyakan orang, saya," jawab Ayu yang menambahkan dalam hati, "Bukannya saya peduli dengan yang telah dilakukan calon suami dengan temanmu."
"Jangan khawatir; dia tidak akan datang ke pesta pernikahan. Saya bilang padanya kalo ssaya akan mengakhiri persahabatan jika dia datang." Ran mencoba bercanda untuk mencairkan suasana. "Dia hanya sedikit patah hati, itu saja. Oh, saya tahu Roy mungkin memberitahumu segalanya, jadi kurasa saya tidak perlu menjelaskannya."
"Tidak, sebenarnya saya gak minat,'" pikir Ayu sambil tersenyum. "Ya, tentu saja dia melakukannya."
"Saya sangat berharap kita akan menjadi teman."
"Ya, itu tidak akan menjadi masalah," katanya seketika. Dia menyukai Ran karena tidak seperti kakaknya sama sekali. Sebenarnya, Ayu menyukai seluruh keluarganya yang dia pertimbangkan jika dia diadopsi.
"Yah, semoga berhasil. Roy bilang gak ada temanmu yang bisa menjadi pendamping dan dia pikir saya akan menjadi wakil yang sempurna. Kuharap kamu tidak keberatan."
"Tidak, tidak apa-apa. Saya bilang padanya kamu sempurna." Ayu berbohong. Dia benar-benar lupa tentang detail itu.
Ayu jadi sedih bila membicarakan soal teman. Yah, dia tidak memiliki banyak teman seperti mereka, tetapi dia senang mendapatkan di pernikahannya. Dia menggeleng secara mental. Tidak, sebenarnya dia tidak ingin teman-temannya melihat dirinya menikah dengan orang asing. Dua tahun lalu, mereka mengharapkan Ayu menikah dengan bahagia. Namun sekarang Ayu tidak bisa mengatakan bahagia, jadi lebih baik mereka tidak ada di sini. Mereka lebih baik pergi ke mana pun di belahan dunia mana pun, asal bukan di pernikahan ini.
Ran tampak senang dan memberi Ayu pelukan kecil, seraya memberitahu bahwa sudah waktunya pernikahan dimulai. Tenggorokan Ayu tercekat mendengar berita itu. Sepertinya dia tiba-tiba disambar dari belakang tanpa pemberitahuan. Ya Tuhan, ini benar-benar terjadi!
"Roy sudah menunggumu." Ran tersenyum padanya sambil mengulurkan tangan untuknya. Ayu meraihnya dan memasukannya dalam hati, seumur hidup.
Ayahnya sudah menunggu di pintu masuk. Dia juga lupa bahwa dirinyalah yang akan menyerahkan Ayu kepada Roy. Tanpa sepatah kata pun, dia mengaitkan tangan di lekukan lengannya..
"Ayah minta maaf soal ini, Ayu. Ayah benar-benar minta maaf."
"Apa yang sudah terjadi biarlah terjadi, Ayah. Lupakan saja." Ayu balas dengan berbisik, sudah lelah berkomentar. Ayu tahu jika Ayahnya sudah menyesali apa yang dilakukan, tetapi tetap saja, kepahitan di pihaknya akan bertahan sedikit lebih lama sampai akhirnya bisa mengerti mengapa Ayah melakukan.
Musik dimulai dan semua orang di depan barisan—semuanya orang asing—mulai berjalan perlahan menyusuri lorong. Semua orang menoleh untuk melihatnya. Ayu melihat kembali ke arah mereka, bersyukur marena kerudung itu dia bisa tidak tersenyum.. Semua orang asing—tidak termasuk ibunya yang sekarang duduk bersama Rika dan Ris Punda, mereka sudah seperti berteman sejak lahir, kursi kosong di sampingnya kemungkinan besar untuk ayahnya. Dengan mata penuh dengan wajah-wajah baru di sekelilingnya, Ayu melihat sekeliling dan hampir terkesiap. Dia tidak pernah menyadari The Terrace Room yang dia dan Roy kunjungi kemarin bisa menjadi lebih indah. Lampu-lampu emas tergantung dari langit-langit yang tinggi, bunga-bunga mahal di sepanjang lorong—semuanya serba emas.
Ayu bertanya-tanya bagaimana perasaannya jika dia bisa berjalan menyusuri lorong dua tahun lalu. Dia yakin itu akan terasa seratus kali lebih baik, mengetahui bahwa pria yang menunggunya akan mencintai dengan sepenuh hatinya. Dia melihat ke depan lalu melihat Roy, tampan seperti biasa dalam tuksedo hitam dan dasi kupu-kupu. Ya benar, "Dia pasti akan mencintaiku selamanya," sinisnya.
Seorang pria tampan berambut hitam berdiri di samping pengantin pria, kekaguman terlihat di kedua wajah pria itu saat memandang Ayu. Ayu merasa wajahnya memanas ketika menyadari bahwa dirinya menjadi objek perhatian mereka.
"Ya Tuhan, dia aktor yang hebat!"
Ayu kesal ketika Roy meraihnya setelah berjabat tangan dengan ayah. Tangannya terasa hangat saat digenggam.
"Kamu kedinginan," bisiknya di telinganya.
"Di luar dingin," Ayu berbohong tanpa ragu-ragu.
Ayu tidak dapat menjawab karena pendeta mulai membaca doa. Ayu berusaha sangat keras agar tidak memikirkan perut yang lapar. Dia baru sadar bahwa sejak bangun tidur belum ada sedikit pun malanan yang masuk ke mulutnya.
Akhirnya, setelah menjalani gerakan sumpah, yang setengah hati diucapkan oleh mereka berdua, tentu saja, mereka akhirnya menandatangani dan menyegel akad nikah yang akan mengikat mereka seumur hidup. Nah, dalam kasus mereka, akan mengikat selama enam bulan dan Ayu sudah takut akan itu.
"Kamu bisa mencium pengantinmu, Roy," kata pendeta sambil tersenyum.
Jantung Ayu mulai berdegup kencang saat tangan Roy—yang kini mengenakan cincin kawin yang tadi ia selipkan ke jarinya—mengangkat cadarnya dengan seringai. "Hai, Nona Punda," katanya, menatap mata sebelum bibirnya turun dan bertemu dengan bibirnya. Itu sedikit lebih lama dari kecupan kemarin. Sekarang lebih lembut. Ayu menciumnya kembali, dan tidak memberi kesempatan untuk menikmatinya sendirian. Kerumunan bertepuk tangan.
"Hai kembali, Tuan Punda," sapanya jahat, alisnya terangkat menantang. Dia tidak mengharapkan untuk menciumnya kembali dengan intensitas seperti yang dia lakukan - itu jelas terlukis di wajahnya.
Roy mencondongkan tubuh lebih dekat dan berbisik, "Saya menantikan bulan madu yang kamu atur untuk kita."
Panca Indera Ayu melonjak dalam kewaspadaan penuh saat napas Roy menggelitik telinganya dan tangannya bergerak ke belakang punggungnya. Ayu secara mental menepis sensasi menyenangkan itu, mengingatkan diri sendiri mengapa dia benar-benar ada di sana. "Oh, jangan khawatir, Sayang, saya tahu kamu akan menyukainya."
Kerumunan bersorak saat Roy memimpin Bandung-nya menyusuri lorong dan keluar dari The Terrace Room.
*****
Beberapa jam berikutnya lebih dihabiskan di aula lain, gelas anggur berkilauan, taplak meja emas, kursi perak, dan orang-orang berpakaian luar biasa. Ayu menari setiap tarian dengan Roy, ayahnya--Jenar, bahkan pria terbaik yang akhirnya dia kenal sebagai Zacky Bar.
"Akhirnya, senang bertemu denganmu," ucap teman suaminya. Dua menatap Ayu, mata hitamnya gelap karena kekaguman, dan tidak berusaha keras menyembunyikannya. Ayu bertanya-tanya, apakah dia tahu tentang alasan sebenarnya mengapa Roy menikahi dirinya?
"Yah, senang akhirnya bisa bertemu denganmu juga," katanya dengan aman.
Zack memamerkan gigi putihnya yang sempurna, "Roy bilang kamu sudah lama bertemu?"
"Ya, benar. Kami bertemu melalui seorang teman."
"Siapa?"
"Siapa? Siapa?"
"Siapa temannya? Kurasa saya harus tahu, karena siapa pun dia, dia punya banyak teman yang cantik." Zak menatapnya dengan tajam.
Ayu tiba-tiba merasa aneh dan tidak nyaman.
"Yah? Siapa teman ini?"
"Roy tidak memberitahumu?" tanya Zsck
"Tidak, dia tidak melakukannya," jawabnya.
"Saya tidak apa?" Suara Roy bertanya di belakang mereka.
Ayu menghela nafas, lega untuk pertama kalinya mendengar suara suaminya.
"Tidak ada, saya hanya bertanya Bandung-mu siapa yang memperkenalkan kalian berdua," Zack nyengir pada temannya. Tarian mereka telah berhenti.
"Siapa? Zacky? Kamu tidak mengenalnya." Roy berbohong dengan mudah dan menatap temannya dengan tatapan tidak sabar. "Bolehkah saya mendapatkan Ayu kembali sekarang?"
Zacky terkekeh lalu membiarkannya pergi, "Tentu saja, Bung."
"Terima kasih," kata Roy tanpa memandang temannya, meraih tangannya dan memeluknya erat-erat.
"Hampir saja. Lo seharusnya lebih spesifik ketika memberi tahu gue tentang kisah kita."
"Berbohong saja setiap kali hal seperti itu terjadi lagi," kata Roy di samping telinganya.
"Gue gak bisa berbohong semudah yang lo lakukan." Ayu berbohong dengan berbisik. Tentu saja dia pembohong yang baik.
"Kalau begitu ganti topik," kata Roy sederhana, memutar-mutarnya. "Sekarang, beri saya kecupan, biar semua orang melihat."
"Persetan gue bakal-" Roy memotongnya dengan kecupan.
Ayu meleleh sekali lagi. kecupannya mulai membuatnya khawatir. Dia tidak suka kehangatan dan kehangatan yang mengalir bawa ke indera kewanitaannya.
Tapi kemudian, dia tidak bisa membiarkannya menikmati sendirian. Ayu menciumnya kembali, mengunci tangannya di tengkuk, dan ujung jarinya menelusuri rambut cokelat gelapnya. Dia menyeringai ketika merasakan bahunya membeku dan berkontraksi sebagai tanggapan.
Ayu tidak membiarkan dua menyelesaikan kecupannya sendiri. Dia memulainya, jadi dia yang akan mengakhirinya.
Ayu menempatkan senyum manis di wajahnya. "Bisakah kita pergi sekarang? Kaki gue capek dan gue gak mau berbaur dengan orang-orang asing ini."
"Bagaimana dengan orang tuamu?" Roy bertanya.
"Mereka bakal senang lihat gue pergi sama lo, terutama ibu." Ayu melihat dari balik bahunya di mana ibu sekarang mengobrol dengan Rika dan Ris di satu sudut, dengan anggur di tangan. Ya Tuhan, seseorang harus mengambil gelas itu dari ibu sebelum ibu melakukan sesuatu yang bodoh. "Ya, kurasa kita harus pergi sekarang."
"Kamu gak sabar ya, mau bulan madu?" Roy bertanya dengan nakal.
Wajah mereka terpisah beberapa inci, Ayu tertawa kering, "Ya, terlalu pusing buat lihat wajah lo begitu lo tau ke mana kita akan pergi," katanya.
Wajahnya berubah kosong, alarm merayap masuk. "Apa maksudmu?"
"Oh, Sayang, jangan khawatir. gue akan jaga lo dengan baik."
Sekarang, sudah waktunya untuk pembalasan.

Book Comment (127)

  • avatar
    HiaJulita

    baik

    1d

      0
  • avatar
    Tiara Ara

    Seruuu abiiissss❤️❤️

    12d

      0
  • avatar
    Koko Ucul

    Bagus ccc

    26d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters