logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Reaksi Ibu

Hanya malam sebelum pernikahan saja Ayu bisa membaca profil Roy. Roy berusia dua puluh sembilan tahun, lulus di Stanford dengan peringkat teratas di kelasnya. Setelah kematian ayahnya dan Jenar memutuskan untuk pensiun pada tahun 2005, ia mengambil alih kerajaan keluarga. Belum pernah menikah, juga belum punya anak. Tidak ada banyak hal dalam profil yang benar-benar memberitahunya sesuatu yang pribadi, jadi dia tidak repot-repot membacanya dua kali. Dia lebih peduli tentang bagaimana dia harus bertindak di pesta pernikahan. Dia mulai semakin gelisah. Jika dia mencoba menganalisis semuanya, satu hal yang muncul di benaknya adalah: Gila.
Dia memutuskan untuk tidak menelepon Soni dulu. Mungkin akan melakukannya setelah pernikahan. Karena Soni pasti tidak akan senang tentang itu. Akan banyak penjelasan yang harus diucapkan padanya pada saat mereka bicara. Sebelum tidur, Ayu membuat beberapa panggilan untuk pemesanan pesawat tambahan. Sebelumnya Roy memberinya paspor dan visa, dan namanya sangat membantu transaksinya. Bagaimanapun, Punda Industries selalu memiliki banyak akses pada hampir semua orang. Setelah mencetak tiket, dia melakukan lebih banyak panggilan internasional untuk reservasi lebih lanjut. Setelah hampir dua jam, dia melihat tiket pesawat, paspor, dan visa Roy dengan senyum jahat.
"Oh, gue yakin dia pasti suka naik pesawat.
Ayu tidak keras hati, tetapi dengan semua yang dilakukan Roy Punda dan ayah padanya, dia pikir pantas untuk melakukan lelucon kecil seperti ini.
Pernikahan akan berjalan sesuai dengan cara Roy, tetapi bulan madu akan berjalan persis seperti yang direncanakannya. Itulah satu-satunya yang meyakinkan dia sebelum pergi tidur.
*****
Esok harinya, orang tuanya tiba. Ya Tuhan, dia benar-benar lupa bshwa mereka akan tentu hadir di pesta pernikahan. Ibunya sangat senang mengetahui tentang pernikahannya. Ketika sebagian besar ibu menuntut penjelasan mengapa putri mereka memutuskan untuk menikah secara tiba-tiba, Fitri Suwarjo sangat senang dengan semuanya. Mungkin karena nama keluarga Punda yang menyertainya.
"Sayang, Ibu sangat bahagia. Tidak apa-apa, tidak usah berusaha menjelaskan. Ibu tahu mengapa kamu merahasiakannya dari kami," katanya sambil memeluk Ayu.
"Kamu seharusnya melihat wajahnya ketika Ayah memberi tahu dia berita itu," tambah ayahnya di belakang. Ayu masih marah padanya sehingga dia memilih untuk diam. Andi Suwarjo mengerti bagaimana perasaannya dan memilih untuk mundur sedikit dan membiarkan Bandung-nya berbicara.
"Sayang, bukankah seharusnya kamu bersiap-siap?" tanya ibunya. Baru pada saat itulah Ayu menyadari bahwa orang tuanya sudah berpakaian untuk menghadiri pernikahan.
"Bu, pernikahannya enam jam lagi. Apakah kalian begitu bersemangat?"
"Ya, tentu saja!" Fitri dengan lembut mengusapkan tangannya yang halus ke rambut hitamnya dan tersenyum. Ibunya benar-benar cantik. Dia selalu membawa keanggunan yang alami. Mata hitamnya seperti berlian dan usia memberinya cahaya baru alih-alih membuatnya tua. Sama seperti sekarang, dia mengenakan gaun merah yang mempercantik lekuk tubuhnya yang masih ramping. Sebuah kalung mutiara tergantung di sekitar kulitnya yang sempurna dan dia tampak seperti sepuluh tahun lebih muda. "Sekarang, ayo bersiap-siap. Gaun dan penata riasmu sudah menunggumu di Plaza."
"Bu! Baru jam tujuh! Pernikahannya jam satu!"
"Sekarang, berhentilah cengeng. Kamu harus mandi lama. Kamu perlu bersantai. Enam jam tidak cukup untuk itu," ibunya mendorongnya ke kamar. "Pergi isi bak mandimu dan mandilah dengan santai. Ibu membawakan berbagai jenis paket terapi aroma untukmu. Ibu akan mengambilnya." Ayu pasrah berjalan ke kamar mandinya lalu mengisi bak mandi. Tidak mungkin dia bisa berdebat dengan ibunya tentang ini.
Ayu menghabiskan hampir satu jam di dalam bak mandi dengan aroma lavender yang kuat dan banyak hal lain dari lilin yang dinyalakan ibunya. Sedangkan ayahnya memilih pergi ke Plaza untuk melihat apakah ada hal lain yang perlu dilakukan. Ayu merasa lega karena dia tidak perlu menghadapinya sekarang. Berbohong kepada ibunya, membiarkannya berpikir bahwa dia menikah karena keingingan sendiri saja, sudah cukup sulit. Kehadirannya hanya memperburuk keadaan.
"Bu, Ayu sudah selesai. Kayaknya Ayu gak bisa berendam lebih lama lagi. Kulit Ayu bakal rontok nanti," panggil Ayu dari kamar mandi, membungkus diri dengan jubah sutra yang diberikan ibu sebelumnya.
"Bagus. Sekarang keringkan dan pakai gaun itu." Valerie menunjuk gaun hijau limau di tempat tidurnya.
Ayu menghela nafas dan berjalan ke tempat tidur. Dia memperlambat waktu untuk berpakaian dan ketika selesai, dia heran pada ibunya yang sibuk mengemas banyak barang.
"Ibu lagi ngapain tuh?" Ayu bertanya dengan curiga.
"Ibu membelikanmu pakaian asli, Sayang," kata ibunya dengan suara bernyanyi. "Kamu harus menunjukkan kepada Roy tentang aset indahmu."
"Emangnya Ibu udah ketemu sama dia?"
"Tentu saja. Dia dan ayah ngasih tahu berita itu. Ibu tanya kenapa Roy gak bawa kamu. Ternyata, dia sangat manis. Katanya ingin mendapatkan izinku secara pribadi. Dia berani datang sendiri ke hadapan Ibu dan ayahmu."
"Oh gitu," hanya itu yang bisa Ayu katakan. "Jadi si Roy tidak menyebutkan tentang pertemuannya gue?", pikirnya sambil memperhatikan ibu. "Bu, apaan itu?"
"Yang mana?"
"Kotak itu!" tanyanya, wajahnya ngeri saat melihat kotak berwarna cerah itu.
"Jangan bilang kamu gak tahu ini apa?" tanya ibu polos seraya melemparkan kotak itu ke Ayu. "Ini untuk perlindunganmu. Kalau-kalau kamu belum ingin punya anak."
"Bu! Saya tahu apa itu!" Ayu mengambil kotak itu dari tangan ibunya. "Dan saya tahu betul untuk apa ini! Ya Tuhan, Ibu bikin saya malu!"
"Ibu juga membawakanmu pil," lanjut ibunya, "kamu tahu cara menggunakannya, kan? Lihat ini...ada kencan ...."
"Mama!" Ayu tersentak saat ibu mengambil pil itu, "Saya ini sudah dua puluh tiga! Saya tahu cara menggunakan pil sialan itu!"
Ibunya memandang dengan bingung, "Mengapa kamu begitu ngeri? Ibu hanya menjagamu, Sayang. Ibu tahu bahwa wanita zaman sekarang gak mau terburu-buru membangun keluarga. Ibu hanya ingin mendukungmu dan Roy."
"Kalau begitu berhenti melakukan hal-hal seperti ini. Ya Tuhan, ini memalukan," Ayu melihat sekeliling. Meskipun dia tahu mereka sendirian, dia tetap ingin memastikan tidak ada orang lain yang menyaksikan percakapan mereka. "Apa itu?" Ayu bertanya saat melihat pakaian berwarna-warni di dalam kopernya.
"Pakaian dalam, pakaian dalam, dan banyak lagi."
Dia mengerang, menarik koper ke arahnya, melemparkan pil dan kotak kondom ke dalam lalu menutupnya. "Bu, hentikan, oke? Saya tahu apa yang harus dilakukan selama bulan madu."
"Lagipula kamu mau kemana?" Mata hitam ibunya menatap dengan gembira.
"Di suatu tempat," jawabnya.
"Tropis?"
"Sangat." Ibu tersenyum untuk pertama kalinya. Ayu mencoba memikirkan reaksi Roy begitu dia tahu. Oh, itu satu-satunya hal yang membuatnya pusing. "Sekarang, Bu, ayo pergi. Tidak ada lagi kotak dan pil, oke?"
"Oke, oke." Ibunya hanya mengangkat kedua tangannya.

Book Comment (127)

  • avatar
    HiaJulita

    baik

    1d

      0
  • avatar
    Tiara Ara

    Seruuu abiiissss❤️❤️

    12d

      0
  • avatar
    Koko Ucul

    Bagus ccc

    26d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters