logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Sebuah Cerita

Serangkai ledakan marah tiba-tiba meletus di sekitar meja. Ayu mendengar Rika terkesiap, "Luar biasa!"; Risa mengucapkan salah satunya seperti, "Pelacur kurang ajar," atau mungkin yang lain karena Ayu tidak bisa membayangkan Risa mengucapkan kata jalang; Jenar Punda hanya berkata, "Ya Tuhan ...." Lalu memejamkan mata.
Ayu di sisi lain tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat. Lagi pula, dia tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi. Syukurlah, meskipun Roy masih sadar, dia meraih bahu ramping gadis berambut coklat itu dan tidak mendorongnya terlalu lembut.
"Apa?" Yeyen bertanya dengan geli, tidak menyadari enam pasang mata yang melemparkan belati padanya.
"Kamu pikir apa yang kamu lakukan, Yen?" Roy membentak dan matanya secara naluriah mencari mata Ayu yang terkejut dan berkata, "Maaf tentang itu, Sayang." Dia memasang wajah kesal pada Yeyen lalu melanjutkan, "Yeyen sepertinya terlalu banyak minum."
"Saya ...." Ayu mulai berkata tetapi tidak tahu bagaimana melanjutkannya.
Kepala cantik Yeyen dengan cepat menoleh ke arah Ayu sambil meringis. "Jadi?" Dia terhuyung mundur dalam dua langkah kecil saat melihat ke arah Ayu. "Ini tunangan rahasia kecilmu?" Dia berbalik melihat Roy seolah gila lalu menambahkan, "Gue pikir dia seperti seorang dewi." Dia melihat kembali ke Ayu dan menekankan maksudnya, "Bodoh."
"Cukup, Yeyen," sela Ran, lalu memegang lengan temannya itu dan berbalik ke arah kelompok di sekitar meja, "Maaf Guys, saya gak bermaksud ini terjadi." Ran menoleh ke Ayu lalu berkata, "Saya akan senang bertemu denganmu dengan cara yang jauh lebih baik, tapi ...." Ran terdiam.
"Oh, ayolah, Ran!" Yeyen berteriak, menertawakan temannya. "Lo gak bisa bermaksud begitu!"
"Bawa dia pulang!" Suara berwibawa Jenar berbicara dari kepala meja.
"Saya tidak percaya kamu membawanya ke sini dalam kondisi mabuk, Ran," kata Rika kecewa.
"Bu, maafin. Dia minum lebih awal. Saya juga gak mau dia datang tetapi dia bersikeras, katanya gak akan membuat keributan jika saya tidak membiarkannya." Ran meminta maaf pada kelompok itu sambil menggendong temannya erat di lengan. "Saya akan membawanya pulang sekarang."
"Itu yang terbaik." Risa mengangguk, memandang Yeyen dengan benci.
"Tidak, saya mau makan malam dengan kalian," pungkas Yeyen.
"Gak, Yen, pulanglah." Suara dingin Roy menghentikannya dan Ayu hampir merasa kasihan pada wanita malang itu.
"Ayo pergi, Yen," Ran mengajak temannya mundur, malu dengan perhatian yang mereka dapatkan dari tamu-tamu lain di restoran itu. "Saya akan menebusnya untuk kalian," katanya sebagai pamit kepada kelompok itu sebelum membalikkan temannya.
"Masih ada waktu untuk mundur, Roy!" Yeyen berteriak tepat ketika Ran menyeretnya keluar dari ruangan.
Meja itu sunyi untuk waktu yang sangat lama.
"Saya sudah gak nafsu makan," kata Risa, meletakkan serbetnya di atas meja.
Rika meraih tangan Ayu di seberang meja dan meremasnya dengan lembut, "Maaf soal itu, Sayang. Dia tidak biasanya seperti itu."
"Gak apa-apa."
"Tentu saja gak apa-apa!" Risa mengamuk. "Gadis itu butuh obat."
"Sangat setuju." Jenar menggelengkan kepalanya perlahan saat mengatakan itu.
"Yeyen punya masalahnya sendiri." Rika tidak setuju. "Dia pernah menjadi gadis yang manis."
"Kurasa Ayu shock." Roy memperhatikan, menyeka mulutnya dengan serbet, "Mungkin kita harus pulang?"
"Tapi hidangan utama ...."
"Roy rasa gak ada yang bisa melanjutkan makan malam ini dengan energi yang sama seperti sebelumnya." Roy memotong protes ibunya.
"Ya, saya setuju," Jenar mengangguk. "Kita selalu bisa mengatur yang lain."
"Bukan," kata Roy terlalu cepat, "Maksud saya, kita masih bisa bersenang-senang di pesta pernikahan, kan?"
"Kita akan mengatur ulang tanggal besok," kata Risa kepada cucunya.
"Besok hari sebelum pernikahan dan banyak hal yang harus kita perbaiki." Dia meraih tangan Ayu dan tersenyum pada keluarganya, "Saya gak mau Ayu lelah."
"Oh, ya, tentu saja," kata Risa dengan penuh pengertian, "Kalau begitu, sampai jumpa di pesta pernikahan, Sayang. Jika kamu punya masalah besok, jangan ragu telpon kami, oke?" Rika tersenyum hangat pada Ayu.
Ayu mencoba balas tersenyum, tapi untungnya, kelompok itu mengerti bahwa dia tidak sanggup seperti lima menit yang lalu—meskipun itu semua hanya pura-pura. "Ya, oke, saya akan mengingatnya. Terima kasih dan sampai jumpa." Hanya itu yang bisa dia kumpulkan sebelum Roy membimbingnya berdiri. Dia menoleh ke Jenar dan Risa lalu memberi mereka senyum. Haruskah dia mencium mereka atau memeluk mereka? Oke, baiklah, senyum yang paling aman.
"Sampai jumpa di pesta pernikahan, Guys," kata Roy dan mereka berjalan keluar dari restoran bergandengan tangan.
Dia menyambar tangannya kembali saat yakin mereka tidak terlihat dan memelototi calon suaminya yang manis dan gila.
"Apa?" Ayu bertanya dengan jengkel menghadapnya, wajah mereka hanya beberapa inci sehingga hampir melemparkannya kembali ketika merasakan arus yang sama mengalir melalui dirinya lagi.
"Apa apa?" Rupanya, dia bisa menenangkan diri. Terlepas dari semua yang terjadi padanya dalam satu hari.
"Apa karena Yeyen?" Dia bertanya. "Jika kamu khawatir atau cemburu ...."
"Hah!" Ayu mendengus, memotongnya, "kecemburuan adalah hal terakhir yang akan kamu dapatkan dariku, Sayang."
"Lalu apa masalahnya?" Alis Roy menarik garis lurus.
"Ghe cuma mau menjelaskan bahwa setelah kita menikah, gue gak mau dipermalukan seperti itu lagi. Ghe gak peduli apa yang lo lakukan dengan gadis itu." Ayu berhenti dan menekankan pernyataan berikutnya, "pastikan untuk berhati-hati tentang hal itu."
Roy menatapnya tidak percaya. "Apa yang membuatmu berpikir saya akan melakukan sesuatu dengannya? Dia hanya seseorang yang ...."
"Terserah. Ingat saja apa yang gue bilang." Ayu mulai berjalan keluar restoran.
"Tunggu," ucap Roy meraih pergelangan tangannya dan memutarnya untuk menghadapnya, "Saya beneran gak memiliki hubungan apa pun dengan Yeyen."
"Kamu gak perlu menjelaskan."
"Berhenti ganggu gue," perintahnya Ayu kasar, "karena saya juga punya berita untukmu."
Dia tidak berani bertanya, jadi dia diam.
"Setelah kita menikah, gje gak mau lo melakukan hubungan seksual dengan siapa pun. Mengerti?"
Roy heran, "Seksual?"
"Kekasih, pacar, apa pun sebutannya," jelas Ayu.
"Lo bisa gak?" tanya Ayu lagi.
"Bisa apa?"
"Bisa punya kekasih, pacar, apa pun namanya." Ayu mengulangi kata-katanya.
"Mengapa saya membutuhkannya jika saya bisa memilikimu?" Kerutan di dahi Roy perlahan menghilang dan dia menyeringai padanya. Perubahan suasana hati tiba-tiba membuatnya bingung dengan cara yang tidak bisa dia jelaskan.
Ayu tersentak, "Dalam mimpinlo, Tuan Punda." Ayu meraih kembali tangannya dan berbalik, "itu salah satu hal terakhir yang harus lo lakukan dari pernikahan ini."
Ayu mendengar Roy tertawa dengan suara rendah di belakangnya yang membuat dia marah. Dia berjalan keluar dari pintu dan mencoba untuk mengabaikannya sebisa mungkin ketika pelayan mengarahkan mobil ke arah mereka. Saat mobil berhenti di depan mereka, Ayu berjalan ke pintu belakang, naik ke dalam dan membantingnya hingga tertutup.
Mereka mengemudi dalam diam.
"Parfummu terlalu kuat." Roy berkata sambil menghentikan mobil di lampu merah.
"Apa?"
"Parfummu terlalu kuat," ulangnya, melemparkan pandangan sekilas ke balik bahunya.
Terima kasih Tuhan untuk gelapnya malam, Roy tidak bisa melihat wajah Ayu memerah karena malu. "Gue menumpahkan setengah botol di tempat tidur dan sebagian besar jatuh ke gaun!" Ayu berbohong. Tidak mungkin Ayu mengatakan kepadanya bahwa gaunnya keluar dari kotak dua tahun lalu dan parfum adalah satu-satunya solusi.
Roy tampak memercayainya karena dia tidak mengatakan apa pun tentang aroma kuatnya; sebagai gantinya, dia mengubah topik, "Bebaskan harimu besok."
"Kenapa?" Ayu mencondongkan tubuh ke depan untuk menatapnya. Ayu berencana untuk melakukan beberapa lukisan yang belum selesai besok.
"Kalau kamu lupa, besok adalah hari sebelum pernikahan dan kamu belum punya gaun."
"Kenapa gue perlu gaun? Gue pikir cuma kita dan hakim lalu beberapa saksi?"
"Kamu menikah dengan seorang Punda, Ayu, dan kamu bertemu keluargaku. Mereka tidak akan pernah puas dengan pernikahan sederhana."
"Maksud lo, gue harus?" Ayu bertanya dengan ngeri.
Riy memandang kaca spion saat menyalakan mobil ketika lampu berubah menjadi hijau, "Keluarga saya mengira kita sudah merencanakan pernikahan ini selama setengah tahun."
"Apa?!" Ayu menangis tak percaya, "Lo membuat keluarga lo percaya bahwa lo akan menikah sejak lama?"
"Yah, tidak selama itu. Saya membocorkan berita sebulan yang lalu, sebelum menandatangani kontrak dengan ayahmu."
"Lo sudah memberi mereka nama gue sebulan yang lalu?"
"Ya, tentu saja."
"Lo begitu yakin bahwa lo bisa memiliki kontrak Sama ayah gue? Dan bagaimana kamu tahu tentang aku sebulan yang lalu?"
"Saya melakukan penelitian dan perencanaan sendiri. Berhentilah bertanya. Lebih baik kita memikirka cerita untuk diceritakan kepada keluarga saya."
"Cerita apa?"
"Di mana kita bertemu, bagaimana kita bertemu, kapan dan di mana saya melamar ...intinya hal-hal seperti itu." Roy menjelaskan, "nenek saya sangat spesifik dengan detail dan saya yakin dia akan mengajukan banyak pertanyaan cepat atau lambat kepadamu." Roy merogoh saku dadanya dan mengeluarkan secarik kertas. Dia menyerahkannya ke Ayu.
Ayu mengulurkan tangan untuk mengambilnya, "Apa ini?"
"Cukup banyak hal yang harus kamu ketahui tentang saya. Jangan khawatir tentang profilmu—ayahmu memberikannya ke saya saat kami menandatangani kontrak."
"Huh, sama sekali gak kaget gue," gumamnya sambil menjatuhkan kertas itu ke dalam tas tanpa membacanya. Ayu punya waktu sepanjang malam untuk melewatinya. "Jadi, tentang cerita kita?"
"Ya, ceritanya," katanya, mengingat topik awal mereka, "Saya memberi tahu mereka bahwa kita bertemu melalui seorang teman bersama di sebuah pesta di Bogor, berbicara, berkencan selama hampir dua tahun, tetapi hanya itu yang saya rahasiakan dari mereka sampai sekarang. Saya melamar di Jogja tahun lalu, kamu menjawab ya, dan sekarang kita akan menikah dalam dua hari."
Ayu terdiam beberapa saat untuk mencerna semuanya dan akhirnya bertanya, "Ceritakan lebih banyak tentang lamaran itu."
"Mengapa?"
"Orang-orang selalu ingin tahu setiap detail dari proposal itu," katanya, suaranya mengatakan kepadanya bahwa dia dan semua orang harus tahu itu.
"Kamu menambahkan detailnya, hanya itu yang saya katakan kepada keluarga dan sejauh ini, mereka menerimanya."
"Tentu saja mereka menerimanya karena mereka selalu menanyakan pengantin tentang lamaran, bukan pengantin pria."
"Lalu apa yang kamu sarankan tentang proposal itu?"
"Gue gak tahu, lo kasih tahu tahu gue. Gue kan gak ada di sana."
"Saya juga."
"Tapi lo sudah memikirkannya. Bukan masalah gue jika cerita kecil kita ini tercampur aduk."
Dia menghela nafas, "Baik. Saya melamar di dalam kafe, cincin itu dicampur dengan es krim, kamu menemukannya, lalu menangis, mengatakan ya, orang-orang bertepuk tangan dengan gembira dan hanya itu."
"Gue menangis? Gak, itu gak mungkin. Gue hanya tertawa bahagia, gak menangis."
"Yaudah, kamu tertawa gembira, sambil berlinang air mata."
"Ada apa dengan air mata? Gak, gak ada air mata. Gue hanya senang dan tertawa, mata saya kering."
Roy menggelengkan kepalanya, "Nenek tidak akan seperti itu. Dia lebih suka kamu menangis."
"Gue gak peduli, oke? Gue gak menangis. Titik."
"Bagus."
"Nah." Ayu membentak kembali.
Roy menghentikan mobil dan dia sadar sudah sampai di rumahnya. Saat keluar, dia berkata, "Saya akan menjemputmu tepat jam sepuluh pagi. Kamu harus menyesuaikan gaunmu dan kita harus mencicipi makanan."
"Oke, baiklah," jawab Ayu sambil membuka pintu.
"Sebelum saya lupa," suara Roy menghentikannya. Ayu berbalik menghadapnya dan melihat Roy meraba-raba di dalam saku dadanya sekali lagi. Ketika tangannya muncul kembali, ada sebuah kotak hitam kecil. Roy menyerahkannya. "Itu adalah cincin lamaran dari es krim. Untunglah hal-hal terjadi begitu cepat waktu makan malam tadi, sehingga gak ada yang ingat untuk menanyakannya."
Ayu mengambil kotak itu tanpa membukanya dan turun dari mobil tanpa sepatah kata pun. Lalu mulai berjalan ke rumah dan ketika sampai di sana, dia mendengar mobilnya berputar di jalan.
Ayu membuka pintun, menghela nafas, dan tidak begitu yakin bagaimana perasaannya. Hanya dalam satu hari, hidupnya berubah 180 derajat dan dia mencoba yang terbaik untuk bertahan. Dia menutup pintu, menyandarkan punggungnya ke sana dan menatap kotak hitam kecil di tangannya. Membukanya dan di sana dia melihat gelang perak sederhana dengan cincin berlian berpotongan bundar di atasnya. Batu itu berkilauan meskipun ruang tamunya gelap. Dengan tangan kanannya, dia mengambil cincin itu dari tempatnya meringkuk dengan aman, menyelipkannya ke bawah dengan satu jari ramping. Dia mengangkat tangan kirinya dalam kegelapan lalu tersenyum tipis.
Ini adalah kedua kalinya dia memakai cincin pertunangan.
Lampu ponsel berkedip terus-menerus, dan menyadarkannya kembali. Dia menyalakan lampu lalu menekan tombol untuk mendengarkan pesannya. Yang pertama adalah dari ibunya, memintanya untuk menelepon kembali sesegera mungkin. Yang kedua adalah dari orang yang paling tidak dia harapkan untuk dihubungi.
Ayu membeku, mengagumi cincin berlian di jarinya. Suara bariton yang dikenalnya berkata, "Ayu, ini gue, Soni. Uhh...sudah lama banget, tapi gue perlu bicara denganmu."
Saat itu juga, Ayu menyadari bahwa hari ini pastilah paling malang dan gila dalam hidupnya.

Book Comment (127)

  • avatar
    HiaJulita

    baik

    1d

      0
  • avatar
    Tiara Ara

    Seruuu abiiissss❤️❤️

    12d

      0
  • avatar
    Koko Ucul

    Bagus ccc

    26d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters