logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Tak Tertolak

"Ayah, di mana sih sebenarnya?"
Ayu benar-benar berusaha agar tidak berteriak lebih keras. Hampir saja dia tersandung saat berjalan, tasnya dia gunakan untuk bertumpu pada tembok karena dia masih merasa sedikit mabuk.
"Pokoknya gue gak mau tau! Gue bakal pergi ke tempat Ayah sekarang jadi cepat beritahukan di mana Ayah sekarang! Atau gue bakal kabur dari kota ini naik pesawat. Pokoknya harus hari ini, gak mau besok. Sial banget sih, kanapa Ayah maksa gue nikah dalam waktu dua hari pula!" Ayu berbicara sendiri seperti orang gila. Seorang ibu yang berjalan di samping menutup telinga anaknya.
*****
Dia ingin sekali melukis wajah ayahnya saat melihatnya, tapi dia sedang tidak mood. Dirinya tidak seperti biasanya yang selalu percaya diri. Wajahnya tampak seperti ketakutan dan itulah alasan mengapa dia senang menempatkan wajah ayahnya itu di atas kanvas - tetapi tidak ada waktu memikirkannya sekarang karena terlalu marah pada lelaki tua itu. Ayu menyerbu ke seberang restoran, wajahnya memerah karena marah. Saat berjalan ke arah ayahnya yang berdiri di depan meja, dia melihat ayahnya berpakaian putih dengan gelas berisi anggur, lalu mempertimbangkan apakah dia akan mendorongnya sebelum mencakar wajahnya.
Tentu saja, Ayu tidak melakukannya. Ayahnya sudah tua, rapuh, dan banyak berkeringat. Mencakar kulitnya yang keriput adalah sebuah kejahatan. Mata hitam ayahnya tampak persis seperti miliknya, menatapnya dengan cemas saat Ayu berhenti di luar ruang pribadinya, dengan lengan disilangkan di dada.
Ayu mengetukkan sepatu botnya ke lantai dua kali seraya menunggu penjelasan, tidak repot-repot menuntut secara lisan.
“Sayang, duduk dulu, lah." Andi Suwarjo menunjuk kursi di sampingnya. Dia melihat sekeliling dan melihat beberapa pelanggan menatap dengan rasa ingin tahu, sendok makan mereka setengah masuk ke mulu. Masih melotot, Ayu meraba kursi dan duduk dengan kaku. Ayahnya melakukan hal yang sama. "Kamu mau makan apa?"
"Kenapa? Ayah mau menukar tubuh saya hanya demi modal jualan makanan?" Ayahnya tersentak mendengar kalimat Ayu. Sedangkan Ayu menyelipkan rambut hitamnya ke belakang telinga, lalu mencoba menenangkan diri.
"Ayu Sayang, tolonglah mengerti!"
"Saya sudah coba mengerti, Ayah, tapi saya gak bisa," bentaknya, "bagaimana bisa Ayah melakukan itu padaku, putrimu sendiri? Kenapa?"
"Ayah putus asa!" jawabnya sambil mengangkat tangan, "Dan Roy sangat baik bisa membantu saya di saat gak ada orang lain yang mau bantu!"
Amarah Ayu naik ke tenggorokan, "Baik? Baik apanya? Dia meminta putri Ayah sendiri dan Ayah dengan senang hati menyetujuinya? Ya Tuhan, saya pikir cuma ibu yang gila, tapi Ayah?" Ayu menggeleng tidak percaya.
"Sayang, dengarkan Ayah saja. Ini hanya untuk enam bulan. Kenapa kamu gak mau mencobanya? Kamu mau menikah dua tahun yang lalu, kan? Kenapa gak sekarang?"
Ayu ternganga, tidak begitu yakin apakah benar-benar dia berbicara dengan ayahnya sendiri, "Saya gak nayngka. Apakah ini karena kejadian dua tahun lalu? Apakah ibu yang membujuk kayak gini?"
"Enggak, tapi itu memang menjadi sedikit alasan."
"Ayah gak berhak menikahkanku hanya karena apa yang terjadi dua tahun lalu!" bentak Ayu.
"Tapi lihatlah apa yang kamu lakukan sejak saat itu! Ibu dan Ayah gak bisa melihat kamu menjalani kehidupan seperti sekarang. Roy mungkin pria yang tepat, selain itu dia pria yang baik."
"Maksud Ayah pengusaha itu baik karena bisa membujuk untuk membeli saya dengan uang?"
"Sayang, dengarkan dulu sebentar, oke? Ayah melakukannya untuk menyelamatkan perusahaan kita. Ini masa untuk masa depan kamu sendiri."
"Gak usah beralasan dengan masa depanku. Ayah melakukannya hanya demi menyelamatkan perusahaan saja, bukan? Saya gak sudi!"
"Tapi suatu hari nanti kamu akan mewarisinya."
"Ya. Mungkin. Lagi pula saya sudah membayarnya dengan tubuh saya sendiri!"
"Oke, Ayah tahu ini gak masuk akal, tapi Ayah mohon, kontrak itu hanya berlangsung selama enam bulan. Kamu bisa bercerai setelahnya, jika kamu mau."
Ayu tertawa sinis, mendapat perhatian dari orang-orang sekitar sekali lagi. "Ayah benar-benar merencanakannya dengan sangat baik. Sudah seperti membuat rencana strategis untuk bisnis sialan itu."
"Ayu, tolong, Ayah melakukannya untuk kamu dan ibu."
"Apa dia tahu tentang ini? Apa dia mendesakmu untuk melakukannya?" Ayu tidak akan terkejut jika jawabanya adalah "ya" tapi ternyata Ayahnya menjawab dengan menggekeng.
"Enggak, dia gak tahu apa-apa, jadi jangan beri tahu dia. Ayah ingin dia merasa senang mengetahui kamu akan segera menikah. Kamu tahu kan dia hancur sekali karena kejadian dua tahun lalu?"
Saat itulah Ayu menyadari bahwa ayahnya benar-benar putus asa sehungga menandatangani kontrak dengan Roy Punda. Meskipun ingin sekali meninggalkan dan pergi sejauh yang dalia bisa, Ayu tidak akan pernah bisa melakukan itu. Ayahnya adalah orang pertama yang Ayu cari saat sedang membutuhkan seseorang.
"Sebenarnya apa sih yang diinginkan Roy Punda? Dari semua hal, kenapa harus saya? Bukankah dia bisa membeli pulau Bali?
"Ayah gak tahu, Sayang. Ayah sendiri menanyakan pertanyaan yang sama padanya. Dia hanya mengatakan bahwa dia punya alasannya sendiri. Tapi jangan khawatir, Ayah membuatnya berjanji bahwa dia gak akan memaksamu untuk melakukan apa yang gak kamu mau."
"Tapi Ayah juga menandatanganinya?" Ayu bertanya dengan sinis.
Ayahnya menghela napas, "Enggak, tapi Ayah percaya kata-kata Roy. Dia salah satu orang yang paling Ayah percaya."
"Ya benar, saya percaya Ayah akan hal itu. Ayah bahkan mempercayainya dengan putri sendiri." Ayu tahu ayahnya menderita dengan ucapan sarkastiknya, tapi tetap saja Ayu tidak bisa menahannya.
Ayahnya mengulurkan tangan untuk memegang tangan Ayu di atas meja lalu meremasnya, "Kamu telah melalui banyak hal, Ayu, Ayah tahu itu. Tapi ini sudah dua tahun. Sudah waktunya kamu move on dan terjun. Pertimbangkan pernikahan ini dengan Roy, sebagai awal yang baru. Siapa tahu, dia orang yang tepat.
"Ayah, saya gak punya banyak pilihan di sini jadi hentikan omong kosong tentang Move On. Saya sudah Move On. Sebenarnya, saya sudah siap untuk awal yang baru, tapi gak dengan cara ini," ucapnya. Ayu melanjutkan, "Oke, saya akan melakukan ini tapi bukan berarti saya ikhlas."
Kalimat Ayu sudah cukup baginya dan dia mengangguk perlahan, tersenyum tipis sebagai rasa terima kasih.
"Saya mau pergi dulu. Saya perlu waktu untuk berpikir dan mengumpulkan logika. Saya gaj tahu apakah saya berada di abad yang tepat di mana perempuan telah mendapatkan hak-hak mereka dalam masyarakat dan keluarga," ucap Ayu seraya melepaskan tangan dari ayahnya. Kemudian Ayu bangkit dan berjalan keluar. Namun, setelah beberapa langkah Ayu berhenti.
"Kamu mau memberi tahu ibumu?" Ayahnya bertanya dengan ketakutan. Ayu hampir tertawa karena mengingat ibunya, wanita tua itu pasti melompat kegirangan jika tahu bahwa putrinya akan segera menikah, apa pun alasannya.
"Gak, Ayah, saya gak akan memberi tahu ibu. Karena saya ingin Ayah sedikit menderita karena menyembunyikan rahasia kotor darinya, yang resikonya bisa masuk penjara. Maaf ya karena udah berpikir seperti itu, tapi saya masih marah dan berharap Ayah mengerti. Tapi jangan khawatir, saya gak akan kabur. Saya akan berada di pernikahan itu jadi gak usah mengawasi. Sampai jumpa."
Setelah mengatakan itu, Ayu berbalik lalu berjalan keluar dari restoran. Dia tidak ingin melihat ke belakang, karena tidak ingin melihat luka di wajah ayahnya, tapi dia juga terluka di dalam, jadi cukup adil.
*****
Dia berjalan menyusuri jalan-jalan di Jakarta, merasakan angin yang menghembus dan saat itu dia berharap kembali ke masa lalu karena masuk ke dalam sebuah portal. Namun, itu tetap sebuah hayalan.
Teleponnya berdering dan bergetar di dalam tas. Dia meraba-raba untuk mengambilnya, lalu keningnya berkerut karena melihat nomor tidak terdaftar muncul di layar. Mungkin itu salah satu kliennya.
"Ayu Suwarjo," jawabnya.
"Ini Roy Punda," kata suara yang sangat familiar dari seberang sana.
"Oh, bagus, calon suami gue," katanya datar. "Untuk apa gue berutang kehormatan dari panggilan ini?"
"Berpakaianlah untuk makan malam malam nanti. Saya nanti tiba di depan pintumu pukul tujuh tepat. Kita makan malam bersama keluarga saya."
"Makan malam apa-" Ayu tidak sempat menyelesaikan pertanyaannya karena sambungan terputus begitu Roy mengucapkan kata keluarga.
Keluarga?
Wajahnya Ayu sedikit memucat.
Punda?
Tentu saja dia mengenal Punda, tetapi tidak terpikir olehnya menikahi salah satu dari mereka. Dia berdiri membeku di tengah trotoar, ketakutan dan kecemasan menjalari setiap sel tubuhnya. Akhirnya dia sadar bahwa sebentar lagi dia akan menikah dengan salah satu keluarga terkaya di negara ini.
"Gue belum siap untuk bertemu kalian!" Ayu berteriak dalam pikirannya.

Book Comment (127)

  • avatar
    HiaJulita

    baik

    1d

      0
  • avatar
    Tiara Ara

    Seruuu abiiissss❤️❤️

    12d

      0
  • avatar
    Koko Ucul

    Bagus ccc

    26d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters