logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Kisah Indah Istri Kontrak

Kisah Indah Istri Kontrak

Pundalisa


Chapter 1 Tak Terduga

Jalanan kota Jakarta begitu sepi, tidak ada yang berjalan sempoyongan karena mabuk seperti dia. Apalagi sekarang siang hari. Orang-orang terlihat sedang buru-buru dan menyebrang jalan. Mereka berkelahi dengan waktu untuk mendapatkan uang.
Sedangkan Ayu Suwarjo, menghabiskan waktu berharganya dengan berkeliaran, berusaha tetap berjalan lurus dalam keadaan mabuk.
Dia mencoba untuk tetap tersenyum, melihat sekeliling dan bertanya-tanya, mengapa orang-orang terlihat begitu sibuk, berbicara di telepon sambil berjalan begitu cepatnya. Dia bersyukur sebagai pengusaha yang baik--setidaknya begitulah dia menyebut dirinya sendiri.
Ayu Suwarjo menghela napas dalam, aroma bir masih menyengat di mulutnya. Dia meminumnya sejak jam istirahat siang tanpa alasan yang jelas. Meremas matanya agar bisa melihat dengan baik sambil berusaha keras agar tidak jatuh ke tanah, saat berulangkali para pejalam kali menabaraknya. Meraba-raba dinding dan bersandar di sana karena lelah. Dia menyesal, bahwa seharusnya tidak minum bir sebanyak itu . Kini tangannya terasa mati dan kakinya kehilangan tenaga.
"Gue pasti pingsan di sini jika gak nemu tempat istirahat," gumamnya.
Harapannya hilang ketika melihat jalan panjang penuh sesak, bahkan pandangannya kabur dan menjadi penghalang. Untungnya dia masih bisa berjalan sedikit dan menyadari bahwa tidak ada tempat untuknya beristirahat.
"Baiklah, gue istrihat di mana saja lah, kalau begitu."
Sambil menyipitkan mata, dia berjalan menuju toko terdekat dan menjatuhkan diri di anak tangga terbawah, mencoba untuk tetap mengangkat kepalanya. Jika kepalanya menunduk sedikit saja, pasti dia muntah saat itu juga. Ponselnya mulai berdering lagi. Dia tidak menjawab, karena tahu itu pasti dari ayahnya. Ayahnya sudah meminta untuk bertemu sejak minggu lalu. Jadi dia pikir akan meneleponnya besok, begitu kesadarannya telah kembali.
Sebenarnya Ayu Suwarjo sedang tidak ada masalah—cuma memang selalau seperti itu. Dia melakukan apapun yang terlintas di pikirannya tanpa pikir panjang. Ketika memesan botol pertamanya, dia beralasan ingin merayakan pamerannya yang akan datang. Botol yang kedua, dia pikir sedang merayakan kehidupan. Pada botol-botol berikutnya, pikiran tentang perayaan terbang ke luar jendela.
Dia berdiri setelah kepalanya sedikit ringan. Dia ingin meminum secangkir kopi, dan tahu tempat yang tepat. Kali ini dia berjalan cukup baik, dan bisa dengan mudah menemukan arah ke kedai kopi.
"Kepala gue banget nich, coba bikinin kopi yang kental," ucapnya pada wanita di belakang meja, saat memasuki toko.
"Mau kopi apa, Kak?"
Ayu menatap menu, tetapi huruf-hurufnya terlihat menyatu menjadi satu. "Udahlah, bikinin aja kopi yang kuat efeknya."
"Oke, satu cappuccino yang sangat kuat, yah," balas wanita seraya tersenyum.
Dia meraba-raba dompetnya untuk mencari beberapa lembar uang, menyerahkan segenggam kepada wanita itu dan berkata, "Lo hitung aja sendiri, gue masih gak bisa. Masih mabok."
Wanita itu menatapnya dengan rasa ingin tahu tetapi melakukan apa yang dia minta. Menyerahkan sisa uang itu kepadanya lalu berkata, "Saya bikinin dulu kopinya yah." Wanita itu masih memperhatikan Ayu yang sedang berjuang untuk tetap berdiri.
"Terima kasih. Mantap." Ayu pergi ke meja terdekat dan membuat dirinya nyaman, meletakkan dagu di tangan.
"Ayu Suwarjo?" sebuah suara laki-laki berkata di atasnya.
"Hmm?" Hanya itu yang bisa dia katakan. Dia merasakan beberapa gerakan di seberang meja dan ketika mengintip melalui kelopak matanya yang berat, dia memperhatikan bahwa seorang pria sedang duduk di kursi kosong yang menghadapnya.
"Saya Roy Punda. Ada yang ingin saya bicarakan denganmu."
"Haduh, lain kali aja lah, gue lagi pusing," celotehnya seraya menutup mata sekali lagi.
"Sekarang juga waktu yang terbaik." Suara pria itu mengiritasi matanya hingga membuatnya terbuka untuk melihat, mata hitamnya kini bertemu dengan mata coklat milik Roy.
"Waktu terbaik apaan, woy?" Ayu bertanya, tetapi tidak untuk mengobrol.
"Untuk memberimu penawaran, dan kamu tidak akan bisa menolak."
Atu mendengus, "Apaan tuh?"
"Jadi istri saya."
Alkohol yang mengalir dalam pembuluh darahnya seakan berhenti, lalu dia menatap pria tampan itu dengan rasa tak percaya.
"Heh, gue kasih tau lo ya. Bercanda lo itu gak lucu!" Ayu susah payah mengucapkan setiap kata secara terpisah. "Mentang-mentang gue mabok. Gue gak akan tertawa sama lelucon lo!"
Mata hitamnya menyipit menatap pria tampan itu. Dia berada dalam posisi canggung, lengan atasnya bertumpu di atas meja. Sedangkan lengan bawahnya membingkai kedua sisi wajahnya, dan tangannya membuat gerakan di atas kepalanya.
"Kamu beneran mabuk?" Roy bertanya karena tidak percaya.
Ayu tertawa terbahak-bahak, lalu membenamkan wajah di lengannya, "Ya Tuhan, lo benar-benar bodoh, ya!" makinya, suaranya teredam oleh anggota tubuhnya.
"Apa katamu?"
"Gak." Ayu menatapnya lagi dengan mata menyipit. "Mending lo cari orang lain buat diajak ngobrol sana, dasar gila! Gue pusing!"
Kopinya tiba. Ayu mengucapkan terima kasih kepada wanita yang buru-buru pergi kembali ke konter. Lalu menikmati perasaan hangat dari kopi yang tersaji, dia menyesapnya dengan hati-hati.
"Seperti yang sudah saya katakan tadi, saya di sini untuk berbicara denganmu," kata orang asing itu lagi, tetapi kali ini dengan nada tegas dan sabar.
Penglihatannm Ayu semakin jelas sekarang dan bisa memperhatikan pria itu. Dia berdiri tegak lalu menatap makhluk tampan di depannya. Dia menebak bahwa pria itu pasti berusia dua puluhan atau awal tiga puluhan, rambutnya cokelat dan berantakan—tapi itulah yang membuatnya terlihat tampan. Hidungnya sempurna dan bibirnya menggoda untuk dimakan. Dagunya terbelah dan tercukur bersih. Secara keseluruhan, wajahnya yang tegas dan mantel hitam berdasinya memberi aura kekuatan dan kesan percaya diri.
"Apa? Menikah?" Ayu terkekeh, akhirnya dia mengingat apa yang pernah dikatakan ayahnya sebelumnya. "Gak, itu gak akan terjadi."
"Serius, Ayu. Saya sudah mencoba untuk bersikap baik dan mengatakan penawaran, karena sebenarnya, kamu gak punya pilihan."
"Maksud lo apa gue punya pilihan? Oh iya, tadi namamu siapa gue lupa?" Ayu bersandar di lengannya.
"Roy Punda," jawabnya, seraya mencondongkan tubuh ke depan sehingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci saja. "Serius, kamu memang gak punya pilihan. Kontraknya sudah ditanda tangani."
Wajah Ayu berkerut kebingungan, kopi itu akhirnya memberikan efek jernih di matanya. "Tunggu dulu. Kontrak apaan tuh?"
Roy Punda tersenyum puas melihat reaksinya, lalu bersandar kemudian melipatkan tangan di dadanya. "Kontrak yang ditandatangani ayahmu, kami sudah membuat kesepakatan."
"Ayah? Kesepakatan? Apa yang lo maksud?" Saat itu kepanikan dan malapetaka mulai muncul di perutnya. Mendengar kata "ayah" membuatnya sadar bahwa pria yang duduk di depannya itu memang sedang tidak bercanda. "Kesepakatan apa?" Ayu mengulangi pertanyaan.
"Biasa aja kok," katanya. "Itu hanya kontrak untuk nrminjam uang, dan jaminannya kamu harus menjadi istriku."
Kata-kata yang diucapkan Roy merambat di udara dalam gerakan lambat, memasuki telinganya untuk diproses oleh otaknya. Ketika otaknya berhadil memecahkan kode pesan siara itu, mulutnya menganga dan pikirannya mencoba untuk menyangkal informasi. Namun, tiba-tiba terjadi ledakan kemarahan dan dia pun berteriak, "Gak! Itu gak masuk akal!" Ayu pun bangkit dan meninggalkan kopi beserta pria tampan yang gila itu.
Roy menghentikan Ayu dengan menarik pergelangan tangannya, agar berbalik menghadap ke arahnya. "Seperti yang sudah saya katakan, kamu gak punya pilihan," ucapnya pelan, suaranya sedikit bernada marah.
Ayu pun menanduk dada Roy, lalu mengutuk dirinya sendiri karena sakit ditambah alkohol masih bersarang di otaknya. Dengan mata yang tajam dia berkata, "Gue gak ada hubungannya dengan bisnis ayah gue jadi biarkan gue pergi."
"Ya, itu benar," dia mengangguk. Roy menatap matanya lalu mengencangkan cengkeramannya. "Tapi saya yakin kamu gak mau melihat ayahmu dipenjara, kan?"
"Gue yakin kesepakatan yang lo lakukan dengan ayah itu ilegal! Jadi biarkan gue mencari pengacara, ini negara hukum!."
"Terserah kamu saja," jawab Roy. Ayu mengabaikannya dan Roy kembali melanjutkan, "Kalau kamu mau, kamu bisa menelepon ayahmu. Saya yakin dia akan memberimu detailnya."
Ayu menarik tangannya tetapi Roy lebih kuat, "Biarkan gue pergi!"
"Gak! Sampai kamu setuju untuk mendengarkan."
"Gue gak perlu mendengarkan hal-hal bodoh yang lo katakan."
"Bahkan untuk menyelamatkan ayahmu dari rasa malu bertahun-tahun di penjara?"
"Ya Tuhan, gue sudah benci sama lo!"
"Saya sudah memberi pinjaman yang besar."
"Gue bayar! Gue punya banyak uang."
Roy menggeleng dan berkata, "Saya membuat kontrak karena suatu alasan, Ayu. Seperti yang kamu lihat, saya tidak membutuhkan uang lagi." Kemudia dia menatap Atu dengan serius. "Saya butuh istri, dan ayahmu sudah menandatanganinya. Yang harus saya lakukan sekarang hanyalah mengklaimnya."
"Emangnya lo butuh seorang istri?" Ayu bertanya seakan tidak percaya. Mungkin terlalu banyak minum dan hanya berhalusinasi. Ternyata, ini benar-benar nyata.
"Saya punya alasan," ucap Roy seraya mengangkat bahu. "Tapi saya belum mengatakannya padamu. Jadi silakan duduk," desaknya lembut tapi kuat pada saat yang bersamaan.
"Gak, gue mau pergi."
"Jika kamu pergi, saya gak punya pilihan selain menyeretmu kembali ke kursi dan mengikatmu di sana. Jangan kira aku bercanda." Ada sesuatu dalam cara dia berkata yang membuat Ayu percaya. Dengan enggan, dia melangkah kembali ke kursinya dan duduk dengan gusar. "Bagus, senang jika kita saling memahami."
"Heh, itu karena loancam gue. Silakan lanjutkan dan selesaikan ini, biar gue bisa pergi ke kantor polisi terdekat dan menangkap Anda."
Roy hanya mengabaikan lalu memulai pidatonya. "Pertama, saya ingin meminta maaf untuk-"
"Permintaan maaf gak diterima," potongnya. "Sekarang, silakan lanjutkan ke topik berikutnya."
Roy menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya yang mengamuk dan menuruti apa mau Ayu. "Seperti yang telah saya katakan, ayahmu menandatangani kontrak bahwa saat saya mentransfer uang ke rekening bisnisnya, saya akan menjadikanmu istri sebagai jaminannya." Roy segera mengangkat tangannya ketika Ayu hendak membuka mulutnya. "Biarkan saya selesai. Dalam kontrak, kami sepakat bahwa saat bisnis kembali berjalan, kamu bebas untuk pergi."
Ayu berusaha untuk memahami apa yang Roy maksud, lalu mengangguk singkat dan berkata, "Berapa lama bisnis bisa berdiri lagi?"
"Kontraknya berlaku sampai enam bulan." Roy menjawab secara formal, seperti sedang melapor dalam kegiatan bisnis. "Tentu saja, itu akan dimulai pada hari pernikahan."
"Dan jika gue menolak untuk menikahi sama lo?"
"Sederhana." Dia meletakkan tangannya di atas meja di dekat kopinya yang sudah dingin, "ayahmu akan kehilangan bisnisnya dan berakhir dengan banyak masalah hukum. Jika kamu membaca kontraknya, kamu akan tahu semuanya."
Ayu tidak benar-benar harus mengatakannya dua kali karena meskipun tidak memiliki pengetahuan tentang bisnis, dia sangat sadar bahwa kontrak hukum tertulis adalah legal, jadi harus membayar banyak harga jika melanggarnya.
Dia tidak menampik bahwa ayahnya akan melakukan apa saja untuk bisnis kesayangannya. Saat ini, dia benar-benar ingin terbang ke mana pun dan mencakar wajah ayahnya karena bertindak terlalu jauh. Bagaimana bisa ayahnya melakukan hal seperti itu pada putrinya sendiri? Daging dan darahnya sendiri?
"Gue gak lagi bermimpi, kan?"
"Tidak. Ini senyata mungkin."
"Ya Tuhan." Ayu menundukkan kepalanya karena kalah. Radanya ingin membunuh ayahnya sekarang. Dia tidak ingin kehilangan bisnis yang telah dia kerjakan dengan keringat dan darahnya, dan dia pasti tidak ingin dipenjara! Ibunya akan mati karena memikirkannya! "Tolong, semoga ini hanya mimpi."
Riu memilih untuk mengabaikan ekspresi emosionalnya lalu melanjutkan, "Kamu bicarakan ini dengan ayahmu. Saya yakin dia ingin menjelaskannya sebelum pernikahan."
Dia mengangkat kepalanya sekali lagi. "Pernikahan ... kapan ...." Ayu tidak bisa menyelesaikan pertanyaannya.
"Dua hari dari sekarang," jawab Roy dengan cepat. Kemudian Roy Punda berdiri dan menatapnya. "Dan tolong, jangan coba-coba kabur, Ayu Suwarjo."
Peringatan yang dia berikan sebelum pergi terngiang di otaknya berulang kali. Masih dalam keadaan linglung, dia melihat ke cangkir kopinya yang tinggal setengah, mencoba memikirkan setiap kemungkinan yang bisa dia lakukan, untuk melewati kekacauan yang dengan itu ayahnya rela menjual dirinya

Book Comment (127)

  • avatar
    HiaJulita

    baik

    1d

      0
  • avatar
    Tiara Ara

    Seruuu abiiissss❤️❤️

    12d

      0
  • avatar
    Koko Ucul

    Bagus ccc

    26d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters